Salah satu sebabnya ialah karena Semaan akan selalu ditutup dengan makan bersama sehingga membutuhkan persiapan lebih awal. Hidangan untuk makan bersama merupakan hantaran sukarela para warga.
Siapapun boleh menyumbang makanan atau minuman. Maka setiap orang bisa mendapatkan makanan yang berbeda. Biasanya berupa nasi bungkus yang isinya bermacam-macam. Kecuali nasi tumpeng atau nasi kotak pada Semaan hari pertama biasanya disiapkan secara khusus.
Adanya makan-makan barangkali menjadi salah satu daya tarik yang mengudang warga, terutama anak-anak untuk mengikuti Semaan. Meski demikian hal itu tak dipermasalahkan. Selagi Semaan berjalan khusyuk, kegayengan yang menyertai setelahnya dianggap sebagai perekat silaturahmi antar warga.
Setelah itu Semaan dimulai dengan lantunan ayat-ayat suci Alquran yang dipandu oleh seorang kyai atau ulama lokal. Seringpula anak laki-laki dari imam mushola yang juga santri sebuah pondok pesantren di Magelang yang memimpin pembacaan ayat suci.
Selanjutnya kyai menjelaskan tafsirannya. Tak lupa disertai wejangan yang isinya juga diambil dari kandungan ayat suci.
Agar warga lebih paham, biasanya tafsir dan wejangan disampaikan dalam bahasa campuran Jawa dan Indonesia. Kadang kyai mengulang kembali penekanan pada hal tertentu agar pemahaman yang diterima oleh warga tidak keliru.
Inilah keutamaan dari tradisi Semaan karena dengan mengkaji ilmu agama secara bersama-sama dengan bimbingan seorang guru atau kyai, tafsirannya bisa terjaga. Dengan kata lain menghindari kesalahan tafsir yang sering timbul jika ilmu dipelajari sendiri.
Sambil makan bersama, warga atau jamaah yang hadir larut dalam keakraban. Maka dari itu tradisi Semaan selalu disambut antusias oleh warga. Dan bagi warga di perantauan seperti saya, Semaan di mushola dekat rumah akan selalu dirindukan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H