Mohon tunggu...
Hendra Wardhana
Hendra Wardhana Mohon Tunggu... Administrasi - soulmateKAHITNA

Anggrek Indonesia & KAHITNA | Kompasiana Award 2014 Kategori Berita | www.hendrawardhana.com | wardhana.hendra@yahoo.com | @_hendrawardhana

Selanjutnya

Tutup

Kurma Artikel Utama

Hidup dalam Selingkung Covid-19 di Zona Merah Yogyakarta

5 Mei 2020   14:38 Diperbarui: 7 Mei 2020   03:52 1141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Peringatan berada di zona merah Covid-19 dikirim ke smartphone melalui aplikasi PeduliLindungi (dok. pri).

"Hati-hati! Anda Berada di Zona Merah Penyebaran Covid-19"

Begitulah smartphone saya selalu bergetar dan menampilkan pesan peringatan setiap kali saya melangkah. Ke manapun, sejauh apapun, meski hanya bergeser 5 meter, peringatan itu pasti muncul di layar smartphone.

Ketika beranjak sedikit lebih jauh, misalnya ke supermarket untuk berbelanja, peringatan yang sama kembali saya terima. Diikuti petunjuk dan imbauan agar saya segera menyudahi aktivitas di luar, kembali ke rumah, selalu jaga jarak dan seterusnya.

Berbagai peringatan itu muncul dari aplikasi PeduliLindungi. Aplikasi ini memberi informasi penting kepada pengguna tentang kondisi dan status penyebaran Covid-19 di lingkungannya. Kita bisa mengetahui apakah di lingkungan tempat tinggal kita sudah terdapat kasus penularan Covid-19 atau belum.

Sudah sejak pertengahan April saya memasang aplikasi PeduliLindungi mengingat saya tinggal di sebuah episentrum kecil penyebaran Covid-19. Kecamatan Depok tempat saya tinggal mencatat kasus positif Covid-19 terbanyak se-Kabupaten Sleman, DIY.

Dalam radius 5 km dari tempat saya tidur setiap hari, sampai 4 Mei 2020 sudah ada 14 pasien terkonfirmasi positif Covid-19, 116 PDP, dan 558 ODP. Dengan kata lain saya berada di zona merah paling menonjol di Yogyakarta.

Hidup dalam selingkung Covid-19 dan menjalankan puasa di tengah pandemi seperti sekarang menuntut kelapangan hati untuk menerima bahwa wabah telah ada di sekitar kita dan setiap orang punya potensi yang sama untuk terjangkit. Sulit untuk tidak merasa cemas menghadapi kondisi semacam ini.

Bahkan, pada pertengahan Maret lalu sehari usai menumpang kereta api dari Jakarta saya menderita flu, demam, hingga diare. Saya memilih berdiam secara mandiri. Syukurlah setelah sepekan tubuh saya memulihkan dirinya sendiri.

Hari-hari setelahnya seperti orang kebanyakan, saya pun mencoba beradaptasi dengan segala macam perubahan yang nyata dan ketat. Tidak salat berjamaah di masjid, menahan diri untuk tidak bersalaman, membatasi interaksi, selalu menggunakan masker, dan menjaga jarak saat berbicara sekalipun dengan orang yang sangat akrab. Masuk ke supermarket wajib mencuci tangan dan diukur suhu tubuhnya, belanja dibatasi 45 menit dan seterusnya.

Sebagian wilayah Kecamatan Depok di Sleman, termasuk mencakup kawasan kampus UGM ini telah menjadi sangat sepi selama pandemi Covid-19(dok. pri).
Sebagian wilayah Kecamatan Depok di Sleman, termasuk mencakup kawasan kampus UGM ini telah menjadi sangat sepi selama pandemi Covid-19(dok. pri).
Pelan-pelan perubahan dan pembiasan seperti itu mulai bisa diterima. Bagaimanapun hidup perlu terus berlanjut meski dengan cara dan kebiasaan yang harus diatur ulang.

Saya harus terbiasa dengan senyapnya lingkungan tempat tinggal. Memang sebuah keanehan besar melihat jalan-jalan yang biasanya ramai dengan lalu lalang orang dari dan menuju kampus, padat dengan kendaraan, dan dipenuhi penjual makanan, kini hanya menyisakan satu warung padang, seorang penjual jajanan pasar, dan seorang penjaja telur gulung.

Ramadan kali ini saya pun kehilangan segelas es cincau untuk berbuka puasa karena penjual es langganan yang biasanya berjualan kini tak tahu entah di mana. Begitu pula para penjual takjil dan gorengan yang biasanya berjejer, sekarang hanya tersisa lapaknya yang kosong.

Riuh ramai semacam itu kini digantikan dengan suara patroli aparat desa yang rutin berkeliling untuk mengingatkan warga agar patuh menggunakan masker dan mencuci tangan. Pada Senin, 4 Mei lalu patroli lewat pada siang hari. Sedangkan seminggu sekali datang petugas untuk melakukan penyemprotan di tiap-tiap rumah dan lingkungan sekitar.

Meski demikian, bagi saya hal paling sulit yang harus coba diterima dengan lapang hati dan penuh kesabaran sekarang ialah kenyataan bahwa semua orang telah dilarang mudik atau pulang kampung.

Tak ada lagi keramaian penjual takjil. Hanya menyisakan satu penjaja jajanan pasar ini (dok. pri).
Tak ada lagi keramaian penjual takjil. Hanya menyisakan satu penjaja jajanan pasar ini (dok. pri).
Tidak mudik memang bukan berarti menjauhkan kita dari keluarga. Namun, perjumpaan fisik jelas belum bisa digantikan oleh video call, apalagi pesan whatsapp. Meski bisa memahami, kadang hati dan batin ini masih memberontak melawan larangan mudik. Saya merasa harus ada di tengah-tengah keluarga, paling tidak segera setelah lebaran nanti.

Mengetahui ibu sedang jatuh sakit rasanya seperti ingin punya sayap agar bisa dengan mudah dan cepat menjangkau rumah.

Beberapa hari lalu sempat ibu mengirim sebuah pesan yang isinya singkat, tapi tersirat harapannya agar saya bisa pulang. Demikian pula ketika kakak memberitahu perkembangan kondisi ibu, seolah menyiratkan harapan yang sama.

Namun, harapan itu harus ditahan karena pandemi.  Sering setelah berbuka puasa kami sekeluarga melakukan video call dan semua seperti terlihat biasa. Akan tetapi masing-masing dari kami saling tahu ada kepedihan yang ditutupi, ada sakit yang ditahan, dan ada kerinduan yang dipendam dalam-dalam.

Bersama kakak dan adik, sampai kemarin malam kami bertiga masih membicarakan kemungkinan bisa mudik. Kakak yang biasa bertugas ke Solo dan Yogyakarta membuka opsi untuk menjemput saya.

Akan tetapi sebagai orang yang tinggal di zona merah Covid-19 saya sadar ada risiko sangat besar yang harus ditanggung dari perjumpaan fisik di kampung halaman nanti.

Semoga Ramadan mendatangkan keajaiban luar biasa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun