Telepon saya bergetar Selasa pagi kemarin. Lumayan mengagetkan karena jam masih menunjukkan pukul 04.00 lewat beberapa menit. Untung saya sudah bangun dan sepenuhnya sadar. Jika tidak panggilan itu pasti akan terlewat dan sesuatu yang amat berharga mungkin tak bisa segera saya dapatkan.
Di ujung telepon seorang laki-laki bertanya. "Dengan Mas Hendra? Ini ada paket. Saya sudah di depan". Begitu mendengarnya saya buru-buru meraih jaket, menuju ke depan, dan melangkah keluar.
Seorang laki-laki terlihat berdiri di belakang sebuah mobil. Meski pagi masih gelap, tapi cahaya dari lampu pinggir jalan dan sekitarnya menyorot semua yang ada di depan.
Mengetahui saya bergerak ke arahnya, lak-laki itu segera mengangkat kardus besar yang semula diletakkan di dekat kakinya. Setelah ngobrol sebentar, memastikan nama, alamat dan isi paket, kardus tersebut berpindah ke gendongan saya. Laki-laki itu beserta mobilnya kemudian berlalu. Saya sempat menyerahkan untuknya selembar masker kain dan sebotol hand sanitizer.Â
Keluarga, terutama ibu, terkejut karena paket tiba begitu cepat di luar perkiraan dan dihantar langsung saat matahari belum terbit. Sayapun lumayan kaget. Barangkali karena mobil ekspedisi yang khusus mengangkut paket-paket besar itu melewati jalanan dekat tempat kami tinggal, jadi diputuskan paket langsung "didrop" begitu mobil memasuki Yogyakarta. Tak ada biaya tambahan untuk pengiriman ekspres subuh itu.
Sopir yang mengangkut mungkin juga berspekulasi menelepon saya pada pagi buta. Siapa tahu saya sudah bangun sehingga dengan demikian paket bisa langsung diserahterimakan. Jika saya tidak mengangkat teleponnya maka paket akan dihantar siang atau sore harinya.
Sesaat setelah menerimanya, kardus paket langsung saya semprot dengan disinfektan dan saya biarkan di luar. Baru sekitar pukul 05.00 paket itu saya buka.
Seperti diberitahukan oleh ibu sebelumnya, isinya bermacam-macam. Ada keripik tempe, singkong, serta kerupuk kesukaan saya. Kemudian kacang goreng, kukis gandum, bumbu pecel, dan bumbu ulek serba guna. Ibu juga mengirimkan empat kotak berisi kering tempe dan ayam goreng lengkap dengan serundeng. Masih ditambah satu bungkus ayam ungkep bumbu yang bisa disimpan di kulkas sebagai persediaan dan bisa digoreng kapan saja.
Semua itu sebagai bekal persiapan puasa. Beberapa makanan praktis tersebut ditujukan agar saya dan adik lebih mudah menyiapkan lauk saat berbuka maupun sahur nanti. Belakangan kakak pun menawarkan untuk mengirimkan jajajan. "Mau apa? nanti dikirim", begitu katanya di grup whatsapp keluarga.
Sebenarnya kalau soal akses kebutuhan ada beberapa tempat yang bisa kami tuju dengan mudah untuk mendapatkan makanan atau bahan makanan. Ambil contoh, dalam radius kurang dari 700 meter, cukup dengan berjalan kami bisa mencapai beberapa restoran cepat saji yang tetap buka selama wabah Corona. Ada  warung-warung ayam goreng, restoran sushi, warung padang serta warung-warung lainnya yang buka hingga malam hari. Penjual sayur juga masih membuka lapaknya setiap pagi hingga jelang siang. Tiga supermarket di sekitar kami tetap buka hingga malam hari.
Sedangkan Yogyakarta yang belum menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) memberi kemudahan sekaligus dilema bagi masyarakat dalam menyiapkan kebutuhan Ramadan. Saya katakan memberi kemudahan karena setidaknya banyak toko, supermarket, dan penjual masih boleh beroperasi.
Namun, menjadi dilema karena masyarakat harus memenuhi sebagian besar kebutuhannya secara mandiri dengan cara keluar rumah dan tidak ada bantuan. Â Wabah Corona dan "local lockdown" di sekitar tempat tinggal kami juga telah membatasi banyak aktivitas, termasuk dalam hal keleluasaan berbelanja.
Di sisi lain sejak dulu saya bukan penikmat makanan di restoran-restoran cepat saji. Saya pun belum tahu bagaimana kondisi menjelang buka puasa yang tinggal menghitung hari ke depan. Apakah orang-orang akan tetap berburu takjil? Bagaimana saat sahur nanti? Apakah para penjual dan pemilik warung masih akan melayani?
Oleh karena itu, datangnya "bantuan" dari keluarga mendatangkan kenikmatan tersendiri. Saya bisa ngemil kering tempe yang dimasak khusus oleh ibu. Dari dulu kering tempe ini jadi favorit kami sekeluarga.Â
Ketika rindu menyantap pecel kesukaan, saya cukup merebus sayuran dan menyiramnya dengan bumbu pecel yang dikirim ibu. Saat hendak menggoreng tempa atau tahu, saya pun bisa menggunakan bumbu ulek serba guna racikan ibu. Bisa saja saya membuat bumbu itu  sendiri karena komposisinya mudah, tapi jejak tangan ibu jelas tak ada gantinya.
Memang makanan, jajanan, dan bumbu yang dikirimkan tersebut tidak akan bertahan sampai lebaran. Akan tetapi maknanya sangat berarti bagi saya. Meski tidak bisa berbuka puasa bersama dan tidak bisa berkumpul saat lebaran nanti, saya tetap bisa mencecap hangatnya suasana keluarga melalui ayam goreng, kering tempe, bumbu ulek dan sebagainya itu.Â
Saya percaya, segera nanti kita semua akan bisa berkumpul bersama dengan keluarga masing-masing di satu ruang tanpa terentang jarak lagi. Selamat berpuasa Ramadan, Kompasiana dan Kompasianer!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H