Hari demi hari semakin bertambah daerah, baik tingkat provinsi, kota, maupun kabupaten yang menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) untuk mengendalikan penyebaran Covid-19. Sejauh ini daerah yang menerapkan PSBB kebanyakan di pulau Jawa. Sementara sejumlah daerah lainnya menyusul satu demi satu mengajukan PSBB ke Kementerian Kesehatan.
Meski demikian tidak semua daerah dan kota besar di Jawa menerapkan PSBB. Daerah Istimewa Yogyakarta salah satunya. Hingga 20 April 2020 belum satu pun kabupaten dan kota di DIY yang mengajukan penerapan PSBB. Barangkali karena DIY memang belum memenuhi kriteria dan indikator kegentingan penyebaran Covid-19. Hingga hari ini kasus terkonfirmasi positif Covid-19 di DIY memang relatif lebih rendah dibandingkan provinsi lainnya di Jawa.
Tingkat kesadaran dan pemahaman masyarakat DIY bisa jadi memberi sumbangan bagi pengendalian penyebaran COvid-19. Memang, seminggu belakangan mulai tampak kebosanan yang bisa dilihat dari jalanan yang kembali lebih ramai. Akan tetapi pada saat bersamaan aparat keamanan hampir setiap hari, terutama menjelang malam hingga subuh, terus giat melakukan patroli dan sosialisasi di tempat-tempat strategis di Yogyakarta.
Bahkan pada siang hari pun beberapa waktu yang lalu ketika saya mampir ke Gramedia Sudirman Yogyakarta, sejumlah petugas polisi berkunjung ke Gramedia untuk melakukan sosialisasi jaga jarak dan segera kembali ke rumah jika sudah mendapatkan apa yang dicari di Gramedia. Sedikit banyak gencarnya sosialiasi dan patroli petugas tersebut meski tidak dalam kapasitas PSBB, telah membangkitkan pemahaman dan kesadaran masyarakat tentang bahaya Covid-19.
Baca juga: Buta Pandemi, Jalanan Yogyakarta Mulai Ramai Lagi Meski Corona Makin Mewabah
Selain itu, inisiatif warga di sejumlah kampung dan perumahan untuk menerapkan "local lockdown" tampaknya juga menyumbang peran dalam menahan penyebaran Covid-19. Meski secara resmi daerahnya tidak menerapkan PSBB, tapi penjagaan-penjagaan pintu masuk di sejumlah kampung di DIY bisa dimaknai juga sebagai "pembatasan sosial" skala kecil.
Di sekitar tempat tinggal kami sekarang semakin banyak gerbang dan mulut gang yang ditutup. Jika sebelumnya hanya gerbang dan mulut gang yang menghadap langsung ke jalan raya yang ditutup, kini gerbang dan gang masuk di lingkup RT serta blok-blok di dalam perumahan juga dibatasi akses masuknya.
Spanduk-spanduk berukuran besar dan kecil bertuliskan sejumlah pesan dan himbauan semarak dijumpai. Akses masuk utama pun dijaga oleh beberapa orang selama 24 jam. Pernah pada suatu siang terlihat polisi singgah untuk memantau kondisi sekitar.

Akan tetapi kini sebuah perintang dari bambu telah terpasang. Spanduk bertuliskan "Mohon maaf jalan ditutup" terbentang di portal bambu. Tak jauh dari akses yang ditutup itu juga ada gang lainnya yang dipagari dengan bambu dan spanduk serupa. Penutupan tersebut membuat semua kendaraan yang hendak masuk harus memutar dan melewati satu-satunya jalan terdekat yang masih dibuka, yakni di samping restoran McDonalds.
Saya sendiri pagi tadi bertindak agak nakal dengan tidak berjalan memutar. Saya memilih menerobos portal bambu. Caranya dengan merunduk rendah melalui celah di antara portal bambu dan spanduk. Namun saat kembali saya memilih tertib untuk berjalan memutar melalui akses yang telah ditentukan.
Penerapan "local lockdown" yang semakin banyak dijumpai di sejumlah kampung di DIY seperti ini bukan tanpa konsekuensi. Tujuan baiknya bisa dirasakan, tapi juga punya "efek samping".
Warga setempat yang hafal dengan akses keluar masuk tempat tinggalnya tidak akan terlalu kesulitan. Hanya perlu sedikit pembiasaan untuk bisa menyesuaikannya.
Namun, sepertinya lain cerita dengan ojek daring. Dua kali sudah saya menjumpai ojek daring yang terkendala "local lockdown" manakala harus menjemput dan mengantar pesanan makanan. Suatu kali saya menelepon seorang pengemudi ojek daring yang sedang mengantar makanan ke alamat saya.
Saya amati di peta pada aplikasi ia berputar-putar untuk waktu yang agak lama. Padahal lokasinya sudah dekat. Ia tidak melalui jalan raya dan memilih melalui gang-gang perumahan. Mungkin niat semula untuk memangkas jarak dan waktu.

Kepadanya saya beri petunjuk akses lain yang kemungkinan masih dibuka. Tak berapa lama sang pengemudi tiba di alamat saya. Ia sempat berkata kalau dirinya habis "disemprot" saat melewati akses masuk yang dijaga warga.
Lain hari saya alami lagi kejadian yang mirip. Kali ini bukan saat mengantar makanan, tapi ketika sang pengemudi hendak menuju tempat di mana saya memesan makanan. Rupanya jalan terdekat ke lokasi tempat makan ditutup sehingga ia harus berkendara lurus ke utara lebih dulu sebelum kemudian memutar dan mengambil jalan ke arah timur.
Ya, apa mau dikata. Kondisi sekarang memang sedang tidak biasa. Semua orang dituntut untuk memahami keterbatasan dan menerima segala pengetatan. Mungkin tidak ada yang paling dirugikan kecuali semua ikut merasakan dan menanggung.
Demi kebaikan bersama, sekarang kita harus hidup dengan menjalankan sejumlah laku prihatin. Sembari berdoa dan tetap bergotong royong melawan Corona agar secepatnya bangsa kita sehat seperti sedia kala.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI