Pada masa pandemi, setiap informasi memiliki pengaruh dan kekuatan yang besar. Informasi positif tetap perlu dikelola dengan baik dan hati-hati. Jangan sampai kabar baik justru membuat masyarakat buta pandemi.
Saya mengamatinya pertama kali pada Selasa (14/4/2020) pagi  sekitar pukul 06.30 ketika melangkah menuju gerai ATM di Jalan Kaliurang Km 5. Berjalan melewati sejumlah toko, kedai kopi dan restoran cepat saji 24 jam saya lumayan terkejut mendapati diri susah menyeberang jalan. Lumayan "hidup" jalanan pagi itu.
Sebenarnya ramainya Jalan Kaliurang merupakan hal lumrah. Di kala situasi normal, jalan ini menghubungkan Sleman dengan Kota Yogyakarta, sekaligus menjadi akses transportasi dari dan menuju jalan lingkar utara Yogyakarta. Namun, sejak pertengahan Maret seiring mewabahnya Covid-19 jalanan ini mendadak lengang seperti yang saya ceritakan pada artikel-artikel sebelumnya. Orang mudah menyeberang jalan dan pada pagi hari jalanannya menjadi lintasan jalan kaki yang minim gangguan.
Akan tetapi kondisi sekarang seperti mulai bergerak ke sedia kala. Kendaraan sudah lebih ramai sejak pagi hari, baik dari arah utara maupun selatan. Tapi dari arah utara terlihat lebih banyak.
Kondisi serupa dijumpai pada Kamis (16/4) dan Jumat (17/4) pagi. Jalanan jauh lebih ramai dibanding waktu-waktu sebelumnya selama pandemi. Di lampu merah antrean kendaraan terlihat rapat. Di persimpangan jalan mengalir kendaraan dari berbagai arah.
Barangkali ini hanya kesan subyektif atau kondisi khusus yang kebetulan teramati sesaat. Akan tetapi rupanya ramainya jalanan juga diamati oleh beberapa teman di sejumlah tempat lain di Yogyakarta.
Lalu saya teringat kondisi serupa yang dikabarkan oleh netizen di Surakarta pekan lalu ketika diberitakan semua pasien positif Corona di salah satu rumah sakit di Surakarta dinyatakan sembuh. Bersamaan dengan itu jalanan di Surakarta dikabarkan kembali ramai. Banyak orang kembali ringan melangkah ke luar rumah dan beraktivitas seolah ancaman Covid-19 telah berlalu.
Atau malah ini "efek samping" dari pemberitaan positif seputar bertambahnya pasien sembuh secara nasional dan tidak adanya lonjakan pasien positif Covid-19 di Yogyakarta sehingga banyak orang mengambil kesimpulan bahwa wabah mulai bisa dikendalikan. Masyarakat jadi terlena. Seakan-akan Corona tidak lagi cukup berbahaya. Maka kondisi masyarakat yang kembali banyak beraktivitas di luar rumah bisa membuka kran Corona mengalir lebih deras.
Buta Pandemi
Ada yang salah dengan Indonesia. Ada yang salah dengan kita jika sementara gelombang Corona diprediksi sedang bergerak menuju puncak pada Mei hingga Juni dan Covid-19 masih memakan korban hari demi hari, kita justru mulai mengabaikan darurat kesehatan masyarakat.
Kondisi ini memperlihatkan sebuah fakta. Soal menangani bencana alam kita memang cukup berpengalaman dan eruji, tapi terkait bencana non alam dan pandemi kita masih buta.
Kesan buta pandemi tampak pada level penentu kebijakan sampai masyarakat. Pada level pemerintah pusat kita menyaksikan maju mundur langkah penanganan Covid-19, kebijakan yang saling kurang sinkron antar lembaga, hingga adu keinginan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Sementara buta pandemi di level masyarakat dipengaruhi kesenjangan komunikasi dan pengetahuan. Bagi ahli kebencanaan, ahli kesehatan atau pakar epidemi, bencana Covid-19 dipahami dari sudut pandang ilmiah. Sementara bagi banyak masyarakat Indonesia bencana yang penyebabnya tidak kasar mata sering dipandang secara subyektif dengan pengaruh kebiasaan dan keyakinan seperti wabah adalah ujian, takdir, dan teguran Tuhan. Bebannya semakin bertambah manakala pemerintah terlalu kukuh memandangnya dari sudut pandang ekonomi.
Tingkatkan Kapasitas
Secanggih apapun teknologi, sebanyak apapun kamar rumah sakit yang disiapkan, dan seterampil apapun tenaga medis, tidak akan optimal jika kapasitas dan kesadaran masyarakat rendah.
Menarik jika menganalisis pendekatan awal yang dilakukan oleh pemerintah untuk mendorong respon masyarakat terhadap pandemi Covid-19. Narasi-narasi Presiden Jokowi, Menteri Kesehatan, dan tim Gugus Tugas pada awal wabah menerpa Indonesia memperlihatkan upaya persuasi yang mengharapkan kesadaran individu dan komunitas. Ini terlihat sekali pada dua minggu pertama.
Upaya tersebut bisa dipahami karena pendekatan komunitas memberi peluang besar untuk melawan pandemi. Syaratnya masyarakat harus memiliki kapasitas yang baik untuk memahami, menanggapi, dan mencegah penyebaran Covid-19.
Oleh karena itu, sosialisasi gencar dilakukan oleh pemerintah dibantu banyak pihak melalui berbagai cara dan beragam media. Aparat di lapangan juga terus menerus berusaha menanamkan kesadaran pada masyarakat. Tujuannya ialah meningkatkan kapasitas dan kesiapsiagaan masyarakat agar mau bersama-sama menciptakan budaya keselamatan dan saling melindungi di tengah bahaya Covid-19.
Namun, pola pikir dan perilaku reaktif-kuratif masyarakat Indonesia membuat banyak orang cenderung baru akan sadar jika dirinya atau keluarganya sudah terserang. Oleh karena itu, pemerintah lalu mulai menempuh pendekatan lain yang lebih "menakutkan". Salah satunya dengan membuka data jumlah pasien dan ODP secara nasional. Harapannya masyarakat yang buta pandemi akan semakin sadar.
Sayangnya, pemerintah juga belum menampilkan kapasitas yang optimal. Mulai dari pengambilan keputusan hingga kerja sama antar kelembagaan terlihat adanya ketidakcukupan dalam mengelola pandemi. Beberapa arahan yang disampaikan oleh Presiden Jokowi memang tegas. Namun, pada tingkat sistem dan kebijakan sering dengan mudah terlihat adanya ketidaksesuaian dengan tujuan yang ingin dicapai.
Informasi positif memang menjadi kabar baik. Akan tetapi informasi positif yang tidak terkendali bisa membentuk persepsi bahwa kondisi sudah aman. Ini bisa mempengaruhi masyarakat untuk keluar rumah tanpa bersikap waspada. Kondisi jalanan Yogyakarta yang mulai ramai lagi boleh jadi dipengaruhi oleh persepsi keliru semacam itu.
Maka kabar baik dan informasi positif pun perlu dikelola secara tepat dan hati-hati. Jangan sampai kabar baik justru membutakan masyarakat. Berjalan seiring, diperlukan tindakan yang lebih tegas dalam Pembatasan Sosial Berskala Besar.Â
Suka atau tidak suka harus tetap dikatakan kepada masyarakat Indonesia kalau Corona masih mewabah dan sangat berbahaya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H