Termenung saya pagi itu ketika melewati pintu masuk supermarket. Harusnya seperti biasa, begitu masuk saya berbelok ke bagian buah dan sayuran segar. Namun, naluri ternyata menuntun saya berjalan lurus mengarah ke botol-botol penuh warna yang tersusun rapi bertingkat di dekat ekskalator.
Dua tiga menit pandangan saya mengitari botol-botol tersebut. Warna-warninya membuat senang. Merah yang berjejer dengan oranye. Di sampingnya ada merah yang lebih tua. Ke samping lagi ada hijau. Lalu kembali oranye, tapi oranye yang lebih tua. Di ujung dijumpai yang warna putih. Di atasnya terpajang warna oranye, lalu kembali hijau, merah tua dan seterusnya.
Itu baru warnanya. Belum merek dan label rasanya. Semua saya kenali dengan baik. Bahkan, ada di antaranya yang sudah lekat sejak kecil.
Sejenak saya melihat ke atas meninjau langit-langit supermarket. Hiasan-hiasan bernuansa masjid telah bergelantungan. Tandanya Ramadan memang sudah di depan mata.
Memang 1 Ramadan belum resmi diputuskan. Sidang Isbat baru akan digelar oleh pemerintah beberapa hari lagi. Akan tetapi kita telah mewarisi "kearifan lokal" yang luar biasa lestari soal tanda datangnya Ramadan.
Cukup dengan melihat botol-botol sirup rasa orange, cocopandan, melon, dan sebagainya yang tertata manis di supermarket kita sudah paham bahwa Ramadan segera datang. Ketika iklan sirup di TV sudah lebih sering muncul dibanding tayangan breaking news yang hanya sejam sekali, kita juga sepakat bahwa Ramadan sudah menanti di depan.
Di antara berbagai macam sirup itu, ada satu merek yang sangat terkenal dan sejak sebulan terakhir iklannya mengisi sejumlah spot tayangan di TV. Unik sekali iklannya karena alurnya tak tertebak. Ketika pertama kali menontonnya baru di ujung adegan saya tahu kalau itu iklan sirup. Semakin kuat maknanya karena dalam musik latarnya terdapat unsur bunyi-bunyian padang pasir yang ditutup dengan tabuhan bedug.
"Sebotol kamu thok yang habisin!", begitu ibu biasanya berkomentar. Di antara keluarga kami memang saya yang paling boros sirup kala sedang berkumpul di rumah. Sejak pertama kali mencecapnya dulu, sirup rasa orange telah membuat saya meyakini kalau rasanya adalah yang terbaik di antara sirup-sirup lainnya.
Tak ingat kapan persisnya. Yang jelas sudah sejak kecil sirup orange menjadi salah satu alasan saya semangat berpuasa. Segelas sirup orange dan es batu yang dihadiahkan ibu bagaikan pengakuan atas keberhasilan menahan ujian lapar dan haus seharian. Padahal, puasa semasa kecil saya sering bolong dan bohong. Padahal, saya mudah sakit kalau minum es.
Sebotol sirup adalah saksi keriaan Ramadan dan kehangatan lebaran bersama keluarga.
Begitu senangnya saya pada sirup rasa orange, baik dicampur es maupun diseduh hangat, minuman itu hampir selalu tersedia di rumah. Tak hanya pada saat Ramadan atau lebaran, tapi pada hari-hari biasa.
Kalau saya sedang ada di rumah, sirup itu tak lagi ditaruh di kulkas. Ibu meletakkannya di atas meja makan atau dijejer bersama gelas dan termos di meja minuman. Katanya agar saya tak terlalu sering membuka kulkas karena itu membuat listrik semakin boros.
Ah, intinya banyak sekali yang mengalir dari sebotol sirup. Setiap Ramadan dan lebaran, sirup orange membangkitkan romansa masa kecil, keluarga, dan kampung halaman. Dekat lebaran manisnya sirup bertambah dua kali lipat. Lalu saat lebaran tiba puncak manis dan segarnya sirup rasa orange saya rasakan di tengah kehangatan keluarga. Sambil ditemani sepiring opor, semangkuk bakso, dan tentu saja diselingi kacang.
Entahlah tahun ini. Saya yang terpaksa tidak akan mudik masih yakin kalau sirup rasa orange tetap yang terbaik di antara sirup-sirup lainnya. Namun, sepertinya manis dan segarnya tak lagi sama.
Seorang pegawai supermarket lewat sambil mendorong tumpukan keranjang berisik sayuran yang hendak ditata di etalase bahan segar. Ia berhenti di samping saya. Langkahnya tertahan sejenak karena saya berdiri agak menghalangi jalannya. "Permisi, kak", kata-katanya membangunkan saya. Satu botol sirup rasa orange buru-buru saya raih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H