Begitu senangnya saya pada sirup rasa orange, baik dicampur es maupun diseduh hangat, minuman itu hampir selalu tersedia di rumah. Tak hanya pada saat Ramadan atau lebaran, tapi pada hari-hari biasa.
Kalau saya sedang ada di rumah, sirup itu tak lagi ditaruh di kulkas. Ibu meletakkannya di atas meja makan atau dijejer bersama gelas dan termos di meja minuman. Katanya agar saya tak terlalu sering membuka kulkas karena itu membuat listrik semakin boros.
Ah, intinya banyak sekali yang mengalir dari sebotol sirup. Setiap Ramadan dan lebaran, sirup orange membangkitkan romansa masa kecil, keluarga, dan kampung halaman. Dekat lebaran manisnya sirup bertambah dua kali lipat. Lalu saat lebaran tiba puncak manis dan segarnya sirup rasa orange saya rasakan di tengah kehangatan keluarga. Sambil ditemani sepiring opor, semangkuk bakso, dan tentu saja diselingi kacang.
Entahlah tahun ini. Saya yang terpaksa tidak akan mudik masih yakin kalau sirup rasa orange tetap yang terbaik di antara sirup-sirup lainnya. Namun, sepertinya manis dan segarnya tak lagi sama.
Seorang pegawai supermarket lewat sambil mendorong tumpukan keranjang berisik sayuran yang hendak ditata di etalase bahan segar. Ia berhenti di samping saya. Langkahnya tertahan sejenak karena saya berdiri agak menghalangi jalannya. "Permisi, kak", kata-katanya membangunkan saya. Satu botol sirup rasa orange buru-buru saya raih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H