Selasa (7/4/2020), saya belanja ke supermarket langganan. Ini selang seminggu setelah kedatangan saya sebelumnya untuk urusan yang sama. Dan ini sudah kesekian kalinya saya bersama para pengunjung supermarket yang lain menjalankan protokol kesehatan sebelum, selama, dan sesudah berbelanja.
Hampir sebulan social dan physical distancing diterapkan bersama aturan-aturan lainnya. Ada sejumlah hal yang saya amati dan rasakan mulai berbeda.Â
Pertama-tama jika minggu lalu tiap-tiap orang diberi waktu satu jam untuk berbelanja, sekarang waktunya dipangkas. Saya dan semua pengunjung dibatasi waktunya di dalam supermarket maksimal selama 45 menit saja.
Pembatasan waktu belanja yang lebih ketat mendorong kami berbelanja seefisien mungkin. Segala yang hendak dibeli baiknya dicatat lebih dulu agar tak terlewat atau lupa saat belanja. Saya pun jadi mulai terbiasa membuat daftar belanjaan yang lebih rinci. Dengan cara demikian belanja bisa dilakukan lebih cepat.
Hal yang berubah lainnya ialah semua orang yang hendak berbelanja sudah lebih paham bagaimana harus menjalankan aturan jaga jarak di supermarket. Sebelumnya masih terlihat beberapa orang kebingungan untuk mengambil antrean dan seterusnya.
Sekarang semuanya sudah seperti bertindak otomatis. Tiap-tiap yang datang segera mengambil nomor lebih dulu dan tahu di mana atau kepada siapa mereka bisa meminta nomor.
Pada pagi hari nomor dibagikan oleh petugas keamanan supermarket di depan pintu masuk. Jika datang siang pengambilan nomor dilakukan di gate parkir.
Selanjutnya setiap orang akan antre untuk cuci tangan. Wastafel portabel yang sebelumnya hanya ada satu kini tersebar di tiga sudut area yang jaraknya lumayan renggang. Setelah cuci tangan, tiap-tiap orang kembali harus antre untuk diukur suhu tubuhnya lalu masuk ke supermarket.
Ia berdiri amat dekat dengan saya seolah tidak sabar atau khawatir ketinggalan antrean. Pernah pula terjadi ketika antre di kasir. Meski ada tanda posisi berdiri yang jaraknya sekitar satu meter, dua orang pembeli di depan saya tetap mengabaikannya.
Saat itu entah mereka belum paham atau tidak peduli dengan aturan tertib yang ditujukan untuk keselamatan bersama tersebut. Namun, bisa pula dipandang sebagai proses pembiasaan yang masih berjalan dan belum sempurna.
***
Ya, pandemi Covid-19 memang telah membuat kehidupan kita seolah-olah dibanjiri aturan-aturan baru. Wabah Corona membuat kita seakan terasing dari lingkungan dan keluarga. Tiba-tiba kita terkungkung dan tidak bebas, bahkan untuk melakukan aktivitas yang sepele sekalipun.
Kalau direnungkan berbagai perangkat aturan dan protokol yang sekarang sedang mengintervensi kehidupan kita hari demi hari sesungguhnya bukan hal yang luar biasa. Beberapa tindakan seperti cuci tangan merupakan tuntunan yang telah kita kenal dan pelajari sejak kecil. Setiap orang tahu bagaimana melakukan cuci tangan.
Namun, harus diakui perilaku semacam itu belum sempat menjadi bagian yang lebur dalam budaya keseharian kita. Seperti halnya antre dianggap belum melebur seutuhnya pada kesadaran masyarakat Indonesia.
Oleh karena itu, ketika mengantre untuk masuk ke supermarket kemarin sempat saya bertanya pada diri sendiri. Akankah semua ini pada akhirnya membuat saya dan masyarakat Indonesia memiliki kesadaran baru sebagai masyarakat yang lebih disiplin, tertib dan semakin menghargai sesama?
Pandemi Covid-19 telah menjadi rangsangan yang menuntut tanggapan dan reaksi dalam bentuk perilaku. Mungkinkah jika aturan-aturan ketat selama pandemi Covid-19 dilaksanakan sampai berbulan-bulan lamanya mampu menimbulkan resapan baru yang mendorong perilaku masyarakat kita menjadi semakin berbudaya dan beradab?
***
Budaya dan keadaban bukan bangunan megah yang serba jadi. Keberadaannya bertumpu pada seperangkat perilaku yang konsisten. Sementara perilaku dibentuk melalui proses pembelajaran.
Disadari atau tidak pembelajaran telah berlangsung sekarang. Kita sedang didorong berjalan di atas jalur-jalur pembelajaran selama pandemi Covid-19.
Jalur pertama ialah pembiasaan. Ini cara belajar paling mendasar yang sudah berperan sejak awal munculnya budaya-budaya primitif manusia.
Pembiasaan sering harus dimulai dengan paksaan atau kondisi terpaksa agar kesadaran bisa berkecambah lalu tumbuh menjadi pohon berbuah unggul bernama budaya. Begitulah yang terjadi sekarang.Â
Kita dipaksa lebih rajin mencuci tangan dan dituntut untuk melakukan tindakan-tindakan "aneh" seperti menutup mulut dengan siku ketika batuk atau bersin.
Pembiasaan tidak selalu bertujuan untuk membentuk perilaku yang sepenuhnya baru. Seperti disebutkan di awal, ajaran mencuci tangan pada dasarnya sudah kita terima sejak kecil, tapi gagal mengalami internalisasi.Â
Demikian pula menutup mulut saat batuk dan bersin juga bagian tatakrama yang bagi orang Indonesia bukan produk baru. Namun, benih perilaku-perilaku yang telah berkecambah itu sama-sama tidak selesai tumbuh.
Maka penerapan aturan-aturan selama masa darurat kesehatan pandemi Covid-19 sebenarnya merupakan pembiasaan ulang atau latihan ulang yang perlu dibiasakan. Harapannya kita akan akan memiliki perilaku yang lebih konsisten berupa kebiasaan menutup mulut saat bersih atau batuk. Harapannya terjadi pembaruan budaya cuci tangan yang selama ini masih setengah-setengah kita lakukan.
Jalur pembelajaran berikutnya ialah pengondisian karena pembiasaan saja belum cukup. Berbagai protokol dan aturan yang seolah-olah membatasi keleluasaan kita selama pandemi Covid-19 disertai banyak pengondisian.
Kita mungkin tidak menyadarinya. Namun, keharusan jaga jarak, mengantre saat berbelanja, pemeriksaan suhu tubuh, dan kewajiban memakai masker merupakan contoh pengondisian yang sengaja diciptakan untuk memproduksi perilaku kolektif.Â
Waktu belanja yang dibatasi dan dilakukan secara bergiliran juga bentuk pengondisian. Tujuannya untuk menghindari kerumunan serta mencegah pembelian secara berlebihan.Â
Ini agar masyarakat yang belum mendapatkan atau masih mengantre di luar masih kebagian bahan kebutuhan. Nilai utamanya ialah bagaimana kita menghargai kebutuhan orang lain di saat sama-sama membutuhkan.
Pengondisian pandemi Covid-19 juga menekankan dorongan-dorongan positif. Kewajiban jaga jarak dan menggunakan masker, misalnya, memiliki dorongan positif bahwa hal itu bisa melindungi kita dari paparan virus, menyelamatkan nyawa orang lain dan menolong bangsa untuk lepas dari wabah. Pengondisian tersebut pada dasarnya hendak memajukan kesadaran kita menjadi lebih beradab dengan mampu menghargai hidup sesama.
Lalu apakah pembiasan dan pengondisian yang sedang kita jalani sekarang sampai berapa bulan ke depan bisa merintis pembaruan budaya kita menjadi lebih beradab? Apakah nantinya kita bisa mewarisi budaya tertib antre yang lestari meski tanpa ancaman corona? Mungkinkah perilaku-perilaku positif yang serba terpaksa saat ini kelak menjadi perilaku normal layaknya kebiasaan?
Belum mudah untuk memastikannya dan mesti bergantung pada faktor-faktor lain. Akan tetapi sejauh mana pembiasaan dan pengondisian yang asing ini mampu menimbulkan kesadaran yang lebih kuat menjadi indikator baik.
Paling tidak hari ini pelan-pelan kita semakin paham betapa berharganya kebersihan, ketertiban, dan kedisiplinan. Sekarang kita hidup, tapi seperti diasingkan. Itu membuat kita lebih menghargai kehidupan.Â
Mata kita dibukakan dan melihat betapa hidup ini ternyata amat rentan. Kita dibuat mengerti bahwa hidup kita menentukan sekaligus ditentukan oleh orang-orang di sekeliling. Maka tak ada pilihan bagi kita selain saling menjaga dan melindungi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H