Ada dua tipe kepemimpinan yang penting untuk direnungkan oleh kita yang hidup dalam selingkung bencana.
Kita tahu bahwa bencana, khususnya di Indonesia, dipengaruhi berbagai aspek yang kompleks. Mulai dari hidrometeorologi, geologi, biologi, lingkungan, hingga teknologi. Faktor yang membauri setiap aspek tersebut juga tidak sedikit dan saling terkait.Â
Selain itu ada satu aspek yang tidak bisa dikeluarkan dari daftar "penanggung jawab" bencana, yaitu manusia. Bencana tak bisa dilepaskan dari faktor manusia dan budayanya.Â
Bencana bisa bermula dari kegagalan pembangunan yang dilakukan oleh manusia. Pembangunan tidak hanya wujud bangunan fisik, tapi juga pembangunan budaya, kapasitas, intelektualitas, dan kesadaran insani dalam mengelola risiko bencana.Â
Dalam konteks ini faktor manusia atau kepemimpinan manusia memainkan peran yang sangat vital. Apalagi, kita sudah tiba pada masa kejadian bencana yang cenderung meningkat, baik frekuensinya maupun keparahannya.
Maka dari itu ada dua tipe kepemimpinan. Tipe pertama adalah kepemimpinan bencana, yaitu kepemimpinan yang memungkinkan penguatan kapasitas budaya ketahanan bencana.Â
Kepemimpinan bencana mendorong segenap potensi yang ada untuk bisa mencegah, mengurangi, dan menanggapi risiko/situasi bencana. Dalam kepemimpinan bencana, pencegahan dan penanganan bencana dijadikan salah satu prioritas yang membutuhkan tidak hanya kesadaran dan niat yang sungguh-sungguh, tapi juga kerja keras secara benar.
Dalam kepemimpinan bencana, pemimpin menjadikan pencegahan dan pengurangan risiko bencana sebagai salah satu kebutuhan penting. Apalagi di daerah atau wilayah yang memiliki kerawanan tinggi sehingga bencana bisa memberikan dampak yang lebih hebat.Â
Seorang pemimpin mungkin tidak ahli bencana dan bukan pakar menata kota. Akan tetapi karena sadar akan kepemimpinan bencana dan menjadikan pencegahan bencana sebagai kebutuhan, maka tenaga, pikiran, modal dan potensi yang ada di sekelilingnya akan didayagunakan secara konsisten dan maksimal untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
Pemimpin yang memiliki kualitas kepemimpinan bencana bisa diteladani dari sikap, perkataan, atau kebijakan-kebijakannya. Keteladanannya itu diarahkan untuk memberdayakan masyarakat dan lingkungan agar lebih sadar bencana.Â
Kepemimpinan bencana yang baik paham bahwa kondisi semesta akibat pemanasan global telah memicu cuaca ekstrem dan hujan deras. Namun, ia tidak pasrah. Ia juga tidak akan melenakan masyarakat dengan menyuruh masyarakat agar menerima bencana begitu saja seperti memerintahkan umat menerima takdir Tuhan.Â
Kepemimpinan bencana akan siap dengan mitigasi dan "payung-payung" sebelum hujan mengguyur. Payung memang tidak akan mencegah datangnya hujan, tapi bisa mengurangi kemungkinan basah kuyup akibat guyuran hujan.Â
Oleh karena itu, dalam kepemimpinan bencana selalu ada payung-payung. Payung-payung itu memiliki fungsi dan kegunaan yang bisa diukur. Lebih penting dari itu, payung-payung tersebut memang konkret adanya.
Tipe kedua adalah bencana kepemimpinan yang merupakan kebalikan sebagian atau seluruhnya dari kepemimpinan bencana.
Jika dalam kepemimpinan bencana hadir niat dan motivasi yang tinggi untuk menjadikan pencegahan bencana sebagai prioritas, maka bencana kepemimpinan bisa bermula dari ketidakpedulian pada hal tersebut.Â
Karena tidak ada niat dan motivasi yang tinggi, maka bencana ditunggu tanpa disertai upaya yang cukup untuk mencegah, mengantisipasi, dan mengurangi dampaknya.
Bencana kepemimpinan adalah malpraktik kepemimpinan dalam berpikir, bersikap, dan bertindak. Bentuknya bisa kebijakan, perkataan, sikap maupun tindakan-yang disadari atau tidak disadari justru melemahkan ketahanan bencana.Â
Pemimpin yang membahagiakan warganya dengan membiarkan pembangunan hunian di pinggir sungai pada dasarnya sedang melemahan ketahanan dan kesadaran bencana. Disadari atau tidak hal itu sama saja menjerumuskan masyarakat untuk mendekati mulut bencana.
Kepemimpinan yang kurang termotivasi untuk mencegah bencana akan menempatkan wilayah atau daerah pada situasi yang semakin rawan bencana.Â
Tentang banjir misalnya, alih-alih mendayagunakan potensi, modal, dan kesadaran semaksimal mungkin untuk mencegah atau mengurangi dampak banjir, yang terjadi justru mempromosikan sikap penerimaan dan toleransi terhadap bencana layaknya keniscayaan yang menyertai hujan.
Di sinilah bahaya dari bencana kepemimpinan karena merusak kesadaran, kultur, dan kewaspadaan terhadap bencana.
Dalam bencana kepemimpinan tak ada gagasan jalan keluar yang sungguh-sungguh diyakini. Bencana dipandang akan tuntas sendirinya dengan kata-kata. Padahal bukan kata-kata atau wacana yang akan mengubah keadaan. Malahan kata-kata bisa membuat bencana kian cepat dan hebat.
Payung-payung berlabel megah, mulai dari drainase vertikal sampai naturalisasi pun tak cukup mengembang ketika hujan turun. Mungkin bukan tidak bisa mengembang, tapi karena sebenarnya tak pernah ada payung yang disediakan sebelum hujan.
Jadinya hanya terus mengutuk cuaca, air laut, dan air lokal. Jadinya cuma menunggu keajaiban cekungan tanah naik dengan sendirinya dan air bisa diajak bicara dari hati ke hati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H