Seminggu terakhir saya merasa kecanduan. Selera lidah bergeser. Tidak menyentuh nasi dan lebih memilih bubur. Saya jadi rajin "nyabu" alias nyarap bubur.
Bukan bubur ayam, karena saya tidak suka dengan bubur jenis ini. Sepanjang hidup baru sekali saya mencecap bubur ayam dan semenjak itu saya memutuskan untuk tak menikmatinya lagi sampai sekarang.
Beda halnya dengan bubur sumsum, mutiara dan atau bubur kacang ijo. Bubur-bubur tersebut sangat saya sukai sejak kecil. Bubur sumsum jadi favoritnya.
Mungkin karena cuaca yang dingin akibat hujan yang kembali deras beberapa hari terakhir atau lidah sedang bosan dengan nasi, sehingga selera saya beralih pada bubur yang lembut.
Begitulah budaya Indonesia. Keragaman kulinernya bukan hanya dalam bahan, komposisi, dan wujud, tapi juga seringkali tampil dalam penamaan makanan dan minuman yang serupa atau mirip.
Di Yogya penjual jenang sudah eksis sejak pagi-pagi sekali. Ada yang berkeliling dengan sepeda dan sepeda motor. Ada pula yang menetap di beberapa tempat, biasanya di sekitar pasar tradisional.
Hingga Minggu (26/1/2020) lidah saya masih belum berubah keinginannya. Masih saja menginginkan bubur untuk sarapan. Maka melangkahlah saya kembali pagi itu untuk mencari bubur.Â
Kali ini tempat yang saya tuju sedikit lebih jauh, yakni Pasar Kranggan di sebelah barat Tugu Pal Putih Yogyakarta. Jaraknya sekitar 150 meter dari landmark kota Yogyakarta tersebut.Â
Sambil menunggu untuk memastikan hal itu, saya berjalan-jalan ke area belakang pasar. Dibandingkan area depan, suasana di area belakang jauh lebih ramai.Â