Nyatanya masyarakat Indonesia saat ini memang butuh tayangan yang sehat dan sportif. Kenyataannya pula dalam keberagaman masyakarat Indonesia saat ini, generasi milenial dan gen Z begitu besar jumlahnya di mana mereka gandrung pada sepakbola dan sedang demam bulutangkis. Mereka juga perlu dilayani dan TVRI menangkap kebutuhan tersebut.
Demikian pula program tayangan wisata, budaya, serta dokumenter dan pendidikan seperti Discovery Channel. Semua perlu dipandang sebagai cara TVRI menjawab kehendak publik. Mana ada stasiun TV swasta yang memberikan tayangan dokumenter ilmiah dengan porsi dan kualitas yang baik saat ini? Di sinilah hadir TVRI.
Oleh karena itu, kita mestinya bersyukur dan memberi apresiasi karena misi kepublikan TVRI ternyata bisa diupayakan secara lebih baik meski dihadapkan pada keterbatasan-keterbatasan.
Sayangnya kemajuan TVRI dalam melayani kehendak publik serta memenuhi misi kepublikannya dikerdilkan oleh kekuatan dari dalam sistem mereka sendiri. Oleh Dewan Pengawas, misi kepublikan TVRI mengalami pendangkalan melalui dikotomi "produk asing-non asing", "butuh rating vs tidak butuh rating", dan yang paling absurd ialah "jati diri bangsa".
Dewan Pengawas TVRI seakan memiliki kekuasaan dan kemampuan dari langit sehingga secara luar biasa mampu menentukan kualitas ke-jati diri-an  hanya melalui sebuah tayangan. Itupun tayangan olahraga yang notabene sudah menjadi bagian dari budaya masyarakat dunia.
***
Apa benar Liga Inggris yang giat mempromosikan kesetaraan ras, menolak kekerasan, dan rasisme bertentangan dengan "jati diri" bangsa Indonesia? Kita pantas bertanya-tanya, bagaimana "jati diri" yang sesuai "selera" Dewan Pengawas itu?
Argumen "jati diri" bahkan cenderung memperlihatkan bahwa Dewan Pengawas sebenarnya tak paham dan tak punya alasan apapun. Ini seperti kita jika berdebat buru-buru menyodorkan argumentasi "takdir Tuhan".
Jika dibiarkan, pengkerdilan misi kepublikan sangat merugikan TVRI dan akan menjadikan TV publik ini mati suri. Pada saat bersamaan hak dan kepentingan publik untuk mendapatkan tayangan bermutu ikut dilanggar.
Jangan-jangan liga sepakbola sesuai kriteria "jati diri" yang dimaksud adalah Liga Tarkam yang penuh "kebersamaan" serupa "gotong royong". Liga Tarkam yang kemenangan sebuah tim seringkali ditentukan secara "bersama-sama" bukan hanya oleh para pemain dan pelatih, tapi juga para pejabat klub, dan tangan-tangan tak terlihat yang penuh kuasa.
Liga Tarkam yang menganut "solidaritas buta" di mana ketika klub kalah maka para suporternya siap menyerbu lapangan dan menghadang di jalanan sampai kemudian nyawa-nyawa hilang tanpa ada pertanggungjawaban.