Munculnya kerajaan-kerajaan palsu di beberapa daerah yang mengundang kontroversi penting untuk dicermati. Apalagi setelah terungkapnya Keraton Agung Sejagat, ikut pula terkuak kerajaan dan negara palsu lainnya seperti Sunda Empire dan Negara Rakyat Nusantara, serta tidak menutup kemungkinan daftar namanya akan bertambah lagi.
Sebagian masyarakat tidak ambil pusing dan menganggap kerajaan-kerajaan palsu itu hanya ekspresi budaya yang perlu "diarahkan". Sementara ada yang terhibur melihat polah para raja, ratu, serta pengikutnya yang dianggap sedang bermain "raja-rajaan". Namun, banyak pula yang terkejut atau heran dengan kemunculan kerajaan-kerajaan itu.Â
Apakah Keraton Agung Sejagat dan Sunda Empire layak membuat kita terkejut?
Mungkin ada wajarnya demikian. Akan tetapi sebenarnya tidak terlalu mengejutkan andai saja kita tidak mudah lupa pada kejadian-kejadian: investasi bodong, penipuan travel umroh, dukun pengganda uang, pengujar ajaran sesat, teori bumi datar dan sebagainya yang sudah lebih dulu berkembang biak di sekitar kita selama ini.
Sekilas kejadian-kejadian tersebut berbeda ruang dan konteksnya dengan Keraton Agung Sejagat dan Sunda Empire. Memang sepintas tak ada benang merah yang bisa ditarik sebagai simpul hubungan antara kerajaan-kerajaan palsu dengan investasi bodong atau antara keraton fiktif dengan eksistensi teori nyeleneh yang betapapun ngawurnya tetap dipercaya banyak orang.
Namun, jika kita berpikir lebih dalam dan oleh karena itu kita perlu melepas kaca mata dangkal yang sering kita pakai, akan tergali realitas tentang nalar sebagian masyarakat Indonesia.
Munculnya kerajaan-kerajaan palsu berpangkal pada masalah yang sama dengan maraknya penipuan bermodus pelipatgandaan harta dan uang yang berulang kali menjerat banyak korban. Pangkal terdalam masalah itu ialah tumpulnya nalar masyarakat.
Pada semua kasus tersebut, khususnya kemunculan kerajaan-kerajaan palsu, terpantul degenerasi nalar. Realitas yang mirip dengan pesatnya perkembangan industri hoax di tengah-tengah masyarakat kita selama beberapa tahun terakhir.
Bedanya, jika industri hoax sering dikaitkan dengan rendahnya tingkat literasi, maka kemunculan-kemunculan kerajaan palsu dengan segala seluk beluknya memperlihatkan krisis lebih lanjut dari rendahnya literasi, yakni degenerasi yang menumpulkan nalar.
Itu bisa dideteksi melalui fakta bahwa kerajaan-kerajaan palsu memiliki banyak pengikut dan tidak sedikit di antaranya merupakan orang-orang berpendidikan atau tokoh masyarakat (seperti halnya korban investasi bodong atau penganut teori-teori nyeleneh seringkali merupakan orang-orang pintar).Â
Nalar para "warga kerajaan" berhenti pada angan kenikmatan, kenyamanan, dan kebanggaan, tanpa kesanggupan untuk berpikir lebih lanjut secara mendalam. Serupa dengan orang-orang yang meskipun sudah berulang kali membaca berita tentang kebohongan-kebohongan dan modus-modus tawaran umroh murah, investasi bodong, dan lain sebagainya, tapi tetap tergiur dan menjadi korban.
Dari sini pula tampak bahwa tradisi berpikir ilmiah kita masih lemah. Bahkan, cenderung mengalami distorsi karena sejak dulu kita cenderung meremehkan pemberdayaan cipta, rasa, dan karsa secara utuh.Â
Setiap hari orang mengalami pendidikan, setiap tahun bertambah banyak orang-orang yang lulus sekolah, masyarakat pun semakin melek pendidikan. Namun, semua itu tidak diikuti oleh kapasitas nalar ilmiah yang memadai.
Pada masyarakat yang demikian kehobongan mudah diterima dan argumentasi mudah diikuti tanpa melalui proses pencernaan yang tuntas. Banyak orang terdidik, tapi menganut pemahaman sesat. Banyak orang berpendidikan, tapi mudah dikecoh dengan tawaran yang tidak masuk akal.
Nalar yang tumpul juga seringkali membuat upaya penyadaran terhadap para pelaku dan korban menjadi tidak mudah atau akan terulang lagi kejadian yang serupa di kemudian hari. Sejumlah warga kerajaan palsu tetap meyakini kebenaran dan eksistensi kerajaannya.Â
Sama halnya dengan  korban penipuan investasi MeMiles yang tetap percaya bahwa dengan menyetor uang 2 juta rupiah, ia akan mendapatkan sepeda motor setelah 40 hari hanya dengan cara mengklik iklan pada smartphone.
Pada saat bersamaan berlangsung pelemahan-pelemahan dari berbagai sisi. Praktik pendidikan, politik, hingga pergaulan sosial kita direduksi sekadar adu gengsi, gelar, pangkat, jabatan, kekuasaan dan pengakuan. Sedangkan prinsip-prinsip kebajikan hanya dijadikan sampingan. Maka seiring tumpulnya nalar ilmiah, terjadi pula degenerasi nalar moral.
Degenerasi naral moral ini terdeteksi dari orang-orang yang tidak malu menciptakan kebohongan dan membohongi orang lain secara besar. Ambang batas moral semakin tipis sehingga perbuatan-perbuatan yang salah dan tidak pantas tetap dilakukan terus menerus sampai kemudian terlihat pantas dan benar.
Sejauh ini kita bisa menyaksikan kontribusi tumpulnya nalar ilmiah dan nalar moral pada kerajaan-kerajaan palsu tersebut. Tentu saja dengan tidak mengabaikan faktor lain. Misalnya masalah psikologi di mana para warga kerajaan itu mungkin orang-orang kesepian yang menghendaki perhatian.
Seorang petinggi Sunda Empire di televisi berulang kali menjelaskan dengan penuh gelora tentang eksistensi imperiumnya sebagai lanjutan dari imperium Alexander Agung.Â
Termasuk soal istilah, panitia, dan seragam yang disebutnya terdaftar di PBB dan diakui NATO sehingga ia mengingatkan kepada orang-orang agar tidak meremehkan Sunda Empire.Â
Itu menjadi contoh bagaimana degenerasi nalar ilmiah dan nalar moral hadir secara bersamaan dan saling "menguatkan". Pada masyarakat kita hal-hal serupa banyak dan sering terjadi dengan tingkat dan kejadian yang bermacam-macam. Maka di masa depan pun kerajaan-kerajaan palsu atau komunitas-komunitas eksklusif serupa sangat mungkin akan terus bermunculan.
Yang perlu diwaspadai ialah pada tingkat lebih lanjut tumpulnya nalar ilmiah dan moral bisa mengikis sikap dan wawasan kebangsaan kita. Pengingkaran pada jati diri bangsa hingga penolakan terhadap kesepakatan berbangsa bisa saja tumbuh dan berkembang biak melalui medium kerajaan palsu.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI