Dari sini pula tampak bahwa tradisi berpikir ilmiah kita masih lemah. Bahkan, cenderung mengalami distorsi karena sejak dulu kita cenderung meremehkan pemberdayaan cipta, rasa, dan karsa secara utuh.Â
Setiap hari orang mengalami pendidikan, setiap tahun bertambah banyak orang-orang yang lulus sekolah, masyarakat pun semakin melek pendidikan. Namun, semua itu tidak diikuti oleh kapasitas nalar ilmiah yang memadai.
Pada masyarakat yang demikian kehobongan mudah diterima dan argumentasi mudah diikuti tanpa melalui proses pencernaan yang tuntas. Banyak orang terdidik, tapi menganut pemahaman sesat. Banyak orang berpendidikan, tapi mudah dikecoh dengan tawaran yang tidak masuk akal.
Nalar yang tumpul juga seringkali membuat upaya penyadaran terhadap para pelaku dan korban menjadi tidak mudah atau akan terulang lagi kejadian yang serupa di kemudian hari. Sejumlah warga kerajaan palsu tetap meyakini kebenaran dan eksistensi kerajaannya.Â
Sama halnya dengan  korban penipuan investasi MeMiles yang tetap percaya bahwa dengan menyetor uang 2 juta rupiah, ia akan mendapatkan sepeda motor setelah 40 hari hanya dengan cara mengklik iklan pada smartphone.
Pada saat bersamaan berlangsung pelemahan-pelemahan dari berbagai sisi. Praktik pendidikan, politik, hingga pergaulan sosial kita direduksi sekadar adu gengsi, gelar, pangkat, jabatan, kekuasaan dan pengakuan. Sedangkan prinsip-prinsip kebajikan hanya dijadikan sampingan. Maka seiring tumpulnya nalar ilmiah, terjadi pula degenerasi nalar moral.
Degenerasi naral moral ini terdeteksi dari orang-orang yang tidak malu menciptakan kebohongan dan membohongi orang lain secara besar. Ambang batas moral semakin tipis sehingga perbuatan-perbuatan yang salah dan tidak pantas tetap dilakukan terus menerus sampai kemudian terlihat pantas dan benar.
Sejauh ini kita bisa menyaksikan kontribusi tumpulnya nalar ilmiah dan nalar moral pada kerajaan-kerajaan palsu tersebut. Tentu saja dengan tidak mengabaikan faktor lain. Misalnya masalah psikologi di mana para warga kerajaan itu mungkin orang-orang kesepian yang menghendaki perhatian.
Seorang petinggi Sunda Empire di televisi berulang kali menjelaskan dengan penuh gelora tentang eksistensi imperiumnya sebagai lanjutan dari imperium Alexander Agung.Â
Termasuk soal istilah, panitia, dan seragam yang disebutnya terdaftar di PBB dan diakui NATO sehingga ia mengingatkan kepada orang-orang agar tidak meremehkan Sunda Empire.Â
Itu menjadi contoh bagaimana degenerasi nalar ilmiah dan nalar moral hadir secara bersamaan dan saling "menguatkan". Pada masyarakat kita hal-hal serupa banyak dan sering terjadi dengan tingkat dan kejadian yang bermacam-macam. Maka di masa depan pun kerajaan-kerajaan palsu atau komunitas-komunitas eksklusif serupa sangat mungkin akan terus bermunculan.