Mohon tunggu...
Hendra Wardhana
Hendra Wardhana Mohon Tunggu... Administrasi - soulmateKAHITNA

Anggrek Indonesia & KAHITNA | Kompasiana Award 2014 Kategori Berita | www.hendrawardhana.com | wardhana.hendra@yahoo.com | @_hendrawardhana

Selanjutnya

Tutup

Foodie Artikel Utama

Legenda Dawet Mbah Hari, Segar Sejak 1965

23 Desember 2019   08:03 Diperbarui: 24 Desember 2019   01:00 531
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mbah Hari sedang ngobrol dengan pembeli dawetnya di Pasar Beringharjo pada Sabtu, 21 Desember 2019 (dok. pri).

Mbah Hari sudah berjualan dawet lebih dari 50 tahun. "Dari dulu, (tahun) 65 atau 66-an", demikian jawabnya mencoba mengingat-ngingat tahun pasti pertama kali menjual dawet. "Sebelum menikah (ketika itu)", sambungnya.

Hingga kini ia masih setia menyajikan minuman tradisional tersebut. Setiap pagi, dimulai dari pukul dua dinihari ia menyiapkan semua bahan. Sepintas bahan dawet memang tidak terlalu rumit. Namun, jangan remehkan kesetiaan dan kecintaan yang membuat seseorang terus bertahan pada satu hal selama puluhan tahun.

Dawet dan cincau hijau (dok. pri).
Dawet dan cincau hijau (dok. pri).
Santan dan
Santan dan
Cepat saja Mbah Hari meracik es dawet yang saya pesan. Mula-mula dengan centong ia mengambil cincau dan dawet warna-warni dari baskom besar di depannya. "Dari pati", begitu ia menjawab sekaligus meralat tebakan saya yang mengira dawet itu terbuat dari beras.

Setelah cincau dan dawet dituangkan ke dalam mangkuk, ia menambahkan santan yang sudah tercampur es batu. Saya amati Mbah Hari begitu sering menuangkan santan ke dalam wadahnya.

Rupanya itu untuk menjaga kekentalan santan karena setiap saat es batu yang dicampurkan ke dalam wadah santan akan segera mencair. 

Selanjutnya dituangkannya juruh kental berwarna coklat kehitaman. Juruh ini adalah gula merah cair yang dicampur dengan potongan nangka. Aromanya benar-benar wangi dan menggoda. Seperti halnya santan, juruh ini pun ditempatkan di sebuah gerabah atau gentong kecil dari tanah liat.

"Monggo", katanya mempersilakan. Tentu saja senang hati saya menerima samangkuk dawet itu. 

Satu sendok pertama langsung mengalirkan kesegaran ke kerongkongan. Santannya tidak pekat, tapi rasa manisnya terasa berlipat-lipat. Saya merasa ini bukan karena intensitas gulanya, tapi dari potongan nangka yang rasa dan aromanya merembes menyatu dengan dawet.

Apalagi nangkanya masih segar dan terdengar bunyi "kres" saat dikunyah.

Mbah Hari sedang ngobrol dengan pembeli dawetnya di Pasar Beringharjo pada Sabtu, 21 Desember 2019 (dok. pri).
Mbah Hari sedang ngobrol dengan pembeli dawetnya di Pasar Beringharjo pada Sabtu, 21 Desember 2019 (dok. pri).
Satu demi satu pembeli berdatangan. Saya menggeser duduk demi memberi ruang yang lebih lega pada pembeli yang baru datang. Di antara pembeli ada yang memesan tanpa es dan ada pula yang memilih untuk dibungkus. Semangkuk atau sebungkus harganya Rp5000 saja. 

Sambil menghabiskan semangkuk dawet, saya perhatikan Mbah Hari terus tekun meracik dawet. Ayunan tangannya berpindah dari satu wadah ke wadah lainnya. Terbayang semua itu sudah dilakukannya sejak puluhan tahun lalu. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun