Mbah Hari sudah berjualan dawet lebih dari 50 tahun. "Dari dulu, (tahun) 65 atau 66-an", demikian jawabnya mencoba mengingat-ngingat tahun pasti pertama kali menjual dawet. "Sebelum menikah (ketika itu)", sambungnya.
Hingga kini ia masih setia menyajikan minuman tradisional tersebut. Setiap pagi, dimulai dari pukul dua dinihari ia menyiapkan semua bahan. Sepintas bahan dawet memang tidak terlalu rumit. Namun, jangan remehkan kesetiaan dan kecintaan yang membuat seseorang terus bertahan pada satu hal selama puluhan tahun.
Setelah cincau dan dawet dituangkan ke dalam mangkuk, ia menambahkan santan yang sudah tercampur es batu. Saya amati Mbah Hari begitu sering menuangkan santan ke dalam wadahnya.
Rupanya itu untuk menjaga kekentalan santan karena setiap saat es batu yang dicampurkan ke dalam wadah santan akan segera mencair.Â
Selanjutnya dituangkannya juruh kental berwarna coklat kehitaman. Juruh ini adalah gula merah cair yang dicampur dengan potongan nangka. Aromanya benar-benar wangi dan menggoda. Seperti halnya santan, juruh ini pun ditempatkan di sebuah gerabah atau gentong kecil dari tanah liat.
"Monggo", katanya mempersilakan. Tentu saja senang hati saya menerima samangkuk dawet itu.Â
Satu sendok pertama langsung mengalirkan kesegaran ke kerongkongan. Santannya tidak pekat, tapi rasa manisnya terasa berlipat-lipat. Saya merasa ini bukan karena intensitas gulanya, tapi dari potongan nangka yang rasa dan aromanya merembes menyatu dengan dawet.
Apalagi nangkanya masih segar dan terdengar bunyi "kres" saat dikunyah.
Sambil menghabiskan semangkuk dawet, saya perhatikan Mbah Hari terus tekun meracik dawet. Ayunan tangannya berpindah dari satu wadah ke wadah lainnya. Terbayang semua itu sudah dilakukannya sejak puluhan tahun lalu.Â