Kesan pertama saya mendengar mereka berbincang adalah suaranya yang keras dan sering disertai tawa yang kencang. Ibu-ibu ini tak segan terbahak-bahak dan itu berlangsung cukup lama sampai pada akhirnya saya merasa terganggu.Â
Bukan saja karena suara dan tawa mereka yang kencang dan berulang. Namun, lebih pada isi pembicaraan mereka yang menyinggu soal kehidupan rumah tangga dan "pelakor". Ya, ada momen ketika mereka tertawa keras seolah sedang bercanda tentang pelakor. Pada saat itu saya melihat penumpang di kursi depan dan seberang saya ikut terkejut.
Saya merasa rombongan penumpang itu sudah cukup menganggu. Bukan hanya saya yang terganggu, tapi pastilah penumpang lain di sekitarnya juga merasa kurang nyaman. Pada situasi itu saya memutuskan mencoba mendiamkan para penumpang tersebut. Mendiamkan yang saya maksud bukan mengabaikan atau membiarkan tanpa peduli. Namun, mendiamkan dalam arti membuat jadi diam.
Maka menengoklah saya ke belakang. Pandangan saya mencari sebuah papan yang biasa terpasang di dekat pintu. Beruntung saya menemukan informasi  nama dan nomor kondektur yang bertugas.
Segera saya mengirim sms ke sang kondektur. Isinya seperti berikut:
"Selamat siang. Mohon untuk ditegur sekelompok penumpang ibu-ibu di Joglosemarkerto gerbong 6 kursi 15 ABCD dan 16 ABCD. Selalu tertawa keras-keras dan mengganggu. Penumpang di sekitarnya banyak anak dan balita. Terima kasih."
Harapannya sms itu diterima dan ditanggapi sehingga papan yang terpasang terbukti bukan hanya hiasan. Ternyata sms saya direspon oleh sang kondektur dengan membalasnya:
"Tks informasinya segera kami tangani. selamat siang"
Sekitar lima menit kemudian, seorang laki-laki berseragam petugas kereta api memasuki gerbong 6. Ia berdiri tepat di antara baris kursi nomor 15 dan 16. Posisi berdirinya tepat menghadap saya.
Segera ia menyapa ibu-ibu yang masih asyik mengobrol. Saya merasa perlu menyebutkan apa yang diucapkan oleh sang kondektur karena isi dan caranya menegur sangat unik. Begini kurang lebih yang ia ucapkan: