Kalau pembeli minumannya tidak ingin banyak es atau bahkan tidak menghendaki es, maka ia menuangkan lebih banyak Badeg. Itu berarti semakin sedikit Es Badeg yang bisa dibuatnya dari setiap liter Badeg.
Hari itu Pak Suwarto membawa 15 liter Badeg yang disimpannya dalam tiga wadah dari potongan bambu. Badeg sebanyak itu biasanya baru habis terjual dalam 2 hari.Â
Meskipun demikian, ia tetap berjualan Es Badeg sebagai penyambung hidup. Apalagi setelah ia berhenti menjadi sopir. Dulu ia bekerja sebagai sopir truk pengangkut BBM di sebuah agen distributor minyak. "Kalau jualan dawet modalnya besar", kata Pak Suwarto menjelaskan alasannya memilih berjualan Es Badeg sejak 2015.
Awalnya Pak Suwarto berjualan dengan cara berkeliling. Ia berjalan kaki mendorong gerobaknya ke terminal Purwokerto, Taman Andang Pangrenan, hingga ke tengah kota Purwokerto.
Namun, kondisi kakinya yang sakit membuatnya kini menempuh cara lain. Dua tahun belakangan ia tak lagi berkeliling dan memilih berjualan di sebelah barat Pasar Manis Purwokerto.
Lokasi itu berada di ujung Jalan Gatot Subroto yang berbatasan langsung dengan Jalan Pemuda menuju Stasiun Purwokerto. "Mulai (jualan) jam 10 di sini (samping Pasar Manis). Nanti habis dzuhur sampai jam 3 di samping stasiun, dekat (kantor) Herona", jelasnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H