Mohon tunggu...
Hendra Wardhana
Hendra Wardhana Mohon Tunggu... Administrasi - soulmateKAHITNA

Anggrek Indonesia & KAHITNA | Kompasiana Award 2014 Kategori Berita | www.hendrawardhana.com | wardhana.hendra@yahoo.com | @_hendrawardhana

Selanjutnya

Tutup

Hukum Artikel Utama

Hoaks, Mustofa Nahra, dan Sisi Lemah Jokowi

28 Mei 2019   08:40 Diperbarui: 28 Mei 2019   09:58 3968
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mustofa Nahrawardaya (foto: kumparan).

Salah satu mesin hoaks dan ujaran kebencian paling produktif, Mustofa Nahrawardaya, baru saja diringkus polisi pada Minggu (26/5/2019). Banyak yang mengapresiasi secara positif penangkapan itu. Namun, tak sedikit pula yang mengkritisi penangkapannya. Bukan menolak, tapi menganggap tindakan tegas kepadanya semestinya sudah dilakukan sejak lama. 

Lewat media sosial entah sudah berapa kali MN melontarkan berita bohong ke hadapan kita selama ini. MN juga kerap menyisipkan agitasi dan ujaran kebencian dalam hoaks-hoaks yang dimuntahkannya. Maka bila "curriculum vitae" media sosialnya dibedah, barangkali akan dijumpai sebuah rangkuman karya lengkap berbagai jenis hoaks, ujaran kebencian, dan propaganda.

Hebatnya, meski jejak onarnya tidak sedikit, tapi selama itu pula ia tak terjerat hukum. Pembiaran terhadap sepak terjangnya membuatnya semakin leluasa beraksi. Bahkan, ia lolos sebagai calon anggota legislatif walau gagal terpilih. 

Secara menakjubkan dalam beberapa kejadian MN juga tampil di TV sebagai narasumber multilatenta. Ia bisa berbaju sebagai pengamat terorisme, analis politik, pakar media sosial, dan sebagainya. Patut dipertanyakan pula apa agenda stasiun TV yang kerap memberinya panggung.

Bisnis Hoaks

Penangkapan MN hanyalah bagian kecil dari realita bahwa sekarang kita bernafas dalam lingkup udara yang semakin hari semakin tercemar oleh polutan baru bernama hoaks. Hoaks begitu masif dan pekat melingkupi ruang-ruang kehidupan kita saat ini.

Mencermati tumbuh suburnya hoaks di tengah masyarakat selama beberapa tahun terakhir juga terlihat bahwa persoalan hoaks tidak sekadar transmisi kebohongan yang biasa-biasa saja. Fenomena hoaks di Indonesia telah menampilkan realita lain bahwa berita bohong adalah komoditas yang memiliki nilai jual.

Terungkapnya jaringan Saracen beberapa waktu lalu dengan jelas memperlihatkan adanya bisnis jual beli hoaks. Jaringan penyedia hoaks yang terdiri dari produsen, perantara, buzzer, dan penyebar, ibarat pabrik yang memproduksi aneka jenis hoaks sesuai kebutuhan pembeli atau pengguna.

Berbagai macam paket hoaks tersedia menurut tujuan atau sasarannya. Setiap paket hoaks memiliki tarif tertentu. Tentu saja semakin keji dan semakin luas dampaknya, harga paketnya semakin mahal. 

Rahma Sugiharti, pengajar S-3 dari FISIP Universitas Airlangga, dalam artikelnya di Harian Kompas (29 Agustus 2017) menduga kuat bahwa selain Saracen masih ada kelompok lain yang menjalankan bisnis hoaks. Kelompok ini menjadikan hoaks sebagai sumber uang dengan memanfaatkan euforia media sosial serta situasi terkini seputar politik dan lain sebagainya. Sementara itu, peneliti senior CSIS, J Kristiadi memunculkan istilah "hoaks transaksional" yang mungkin di dalamnya termasuk bisnis jual beli hoaks.

Pragmatisme penyedia bisnis hoaks bertemu dengan kepentingan pihak-pihak yang memiliki agenda tertentu. Hasilnya adalah hoaks yang semakin masif dan ganas. Hoaks-hoaks baru terus diproduksi. Sedangkan hoaks lama dikemas ulang dan disebarkan lagi dengan daya transmisi yang diperkuat.

Pemerintah Lemah

Meski jaringan dan rantai komodifikasi hoaks teramat rapi, tapi tetap bisa dilacak dengan menganalisis sumber hoaks, konteks situasi, dan pihak-pihak yang paling mungkin diuntungkan dari penyebarannya. Banyak pula akun media sosial yang secara terang-terangan terus menayangkan hoaks. 

Pertanyaannya, apakah pemerintah dan aparat telah mendayagunakan kemampauan serta wewenangnya secara maksimal untuk memberantas hoaks? Sejauh mana penegak hukum memiliki kepekaan dalam memandang hoaks sebagai ancaman mengerikan?

Beberapa hari lalu seorang dosen di Sumatera Utara yang diadili dalam kasus hoaks ternyata lolos dari tuntutan penjara dan hanya dikenakan hukuman percobaan. Ini jelas sebuah kenyataan pahit. 

Ditangkapnya MN pun masih menyisakan tanda tanya soal ketegasan dan konsistensi aparat penegak hukum dalam menangangi hoaks ke depannya. Belum ada jaminan yang konsisten bahwa penangkapan produsen dan penyebar hoaks akan disertai keberlanjutan proses hukum dan pengadilan yang tegas. Kita masih punya sarana yang ideal untuk menilainya dengan melihat akhir dari pengadilan kasus hoaks Ratna Sarumpaet nanti.

Lemahnya sikap pemerintah juga berkontribusi terhadap menguatnya eksistensi hoaks. Jika mesin-mesin pelontar hoaks selama ini leluasa memuntahkan racun kebohongan dan lepas dari jangkauan hukum, itu tidak sepenuhnya karena mereka licin atau cerdik. Ada andil dari sikap ragu-ragu pemerintah yang terlalu baik hati dan lemah menghadapi hoaks.

Presiden Jokowi yang selama ini terus menerus menjadi sasaran serangan hoaks memiliki "ketabahan" yang luar biasa. Itu menunjukkan kepribadian pemimpin yang matang.

Sayangnya ketabahan itu juga memperlihatkan sisi kelemahan dalam menangani hoaks. Ada kecenderungan pemerintahan Jokowi memandang serangan hoaks yang ditujukan pada pemerintah adalah serangan kepada presiden sebagai pribadi. Motif serangan hoaks juga cenderung dinilai sebagai motif politik semata.

Tanpa disadari sikap melokalisir hoaks semacam itu telah mengurangi kepekaan dan kewaspadaan pada ancaman hoaks yang sesungguhnya. Pada saat bersamaan pemerintah jungkir balik menyampaikan kebenaran soal isu Presiden Jokowi adalah PKI dan sebagainya. 

Masyarakat, pemerintah, dan aparat tidak boleh bersikap santai dan terus membiarkan para pengabdi hoaks merajalela (dok. pri).
Masyarakat, pemerintah, dan aparat tidak boleh bersikap santai dan terus membiarkan para pengabdi hoaks merajalela (dok. pri).
Kerepotan yang dialami oleh pemerintah dalam menangkal sejumlah hoaks mestinya mampu memunculkan keinsyafan bahwa hal itu tak lepas dari pembiaran-pembiaran yang dilakukan selama ini. Pemerintah lemah menghadapi serangan hoaks. Bersamaan dengan itu pemerintah terkesan mengambil kompromi terlalu besar dengan kelompok-kelompok yang memaksakan hegemoni SARA. Padahal kita tahu, hoaks sering disertai dengan narasi kebencian, agitasi, dan propaganda yang berlatar SARA.

Oleh karena itu, pemerintahan Jokowi perlu segera meninggalkan pendekatan lamanya dalam menangani hoaks. Harus disadari secara mendalam bahwa fenomena hoaks di Indonesia tidak lagi sebatas upaya untuk memanipulasi opini, membohongi masyarakat, dan menjatuhkan lawan politik, tapi juga mengarah ke upaya memecah belah persatuan bangsa dan negara.

Pada era sekarang hoaks digulirkan dengan motif politik, agama, dan materi sekaligus. Tidak ada perbedaan hoaks kecil dan hoaks besar. Tidak ada pula hoaks "receh" atau "enteng-entengan" sehingga semestinya tidak ada alasan untuk terus membiarkan para pelaku hoaks bebas membuat kerusakan.

Kita harus bisa membuka mata untuk menyaksikan bahwa hoaks di Indonesia saat ini telah berkembang ke taraf yang merusak mental dan moral masyarakat. Perilaku memproduksi dan menyebarkan hoaks dianggap "halal". Mulai banyak orang menganggap hoaks sebagai masalah kecil karena terbiasa dan dibiarkan.

Pembuktian Jokowi?

Semua kecenderungan dan fenomena di atas tidak bisa dibiarkan. Merupakan ironi besar besar dari negara demokrasi yang suara rakyatnya harus berbagi ruang dengan suara-suara kebohongan yang seringkali lebih nyaring. 

Harus ada revolusi mental yang menyentuh langsung pemerintah, aparat penegak hukum, dan segenap bangsa Indonesia dalam memandang serta menangani hoaks. Kita mestinya tidak bersikap santai, apalagi hanya menunggu proses penyadaran masyarakat agar lebih rasional dalam memahami informasi. Kita tidak boleh hanya menunggu hasil dari pendidikan literasi dengan harapan masyarakat akan semakin kritis terhadap informasi-informasi yang beredar. 

Pembelajaran dan literasi informasi memang penting. Namun, semua itu membutuhkan penguatan berupa penegakan hukum yang tegas dan konsisten.  Untuk menuntaskan kasus hoaks yang saat ini sedang ditangani, tidak ada pilihan yang lebih baik selain mengusut tuntas dan menjadikannya secara maksimal sebagai efek jera. Selain produsen dan penyebar hoaks, konsumen dalam jaringan bisnis hoaks harus pula diungkap dan dihukum berat.

Dibutuhkan kesadaran bersama bahwa melawan dan memberantas adalah bentuk perjuangan mempertahankan keutuhan bangsa dan negara. Mayoritas orang Indonesia tentu siap turut serta dalam perjuangan tersebut. Akan tetapi perjuangan selalu membutuhkan pemimpin yang berani dan tidak terlalu banyak berkompromi.

Penangkapan MN dan pembatasan akses media sosial beberapa hari yang lalu semoga bentuk pembaharuan pendekatan dan keberanian yang lebih baik dari pemerintah, Presiden Jokowi, serta aparat dalam melawan dan memberantas hoaks di Indonesia. 

Membiarkan praktik hoaks, termasuk yang melibatkan para elit politik, sama artinya dengan menyiapkan jalan menuju kehancuran bangsa. 

Kita berharap Presiden Jokowi membuktikan ucapannya beberapa waktu lalu. Presiden mengatakan sudah tidak memiliki beban dan siap memutuskan apa pun sepanjang demi kebaikan masyarakat, bangsa, dan negara. Salah satu bentuk dari pernyataan itu semoga berupa strategi dan tindakan yang lebih garang dalam "menggebuk" para pengabdi hoaks.

***

Baca juga: Pengumbar Hoaks dan Kebencian Tidak "Puasa", Kita Harus Berbuat!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun