Dalam pemilihan calon anggota legislatif dan kepala daerah, masyarakat sebaiknya tidak memilih koruptor atau mantan koruptor. Sementara itu, para ulama diperbolehkan tidak menyolati jenazah koruptor.
Pengkultusan sosok yang hanya berdasarkan atribut, penampilan luar, atau jabatan perlu diperbaiki agar koruptor tidak terus dihormati hanya karena ia terlihat alim. Umat Islam harus bersikap kritis terhadap modus-modus yang dilakukan oleh para koruptor yang berusaha "membersihkan" perbuatannya dengan menyumbangkan hasil korupsi untuk kegiatan amal, menyumbang rumah ibadah, dan kegiatan sosial keagamaan lainnya. Allah tidak menerima sedekah dari hasil korupsi.
"Koruptor Itu Kafir" juga menekankan perlunya ormas-ormas Islam, lembaga keagamaan, dan masjid-masjid untuk menjaga dan membersihkan diri dari unsur-unsur korupsi. Masjid-masjid yang tersebar di seluruh penjuru negeri perlu lebih giat memberdayakan umat untuk memberantas korupsi.
![](https://assets.kompasiana.com/items/album/2019/03/19/koruptor4-5c90886195760e7ec2337ff2.jpg?t=o&v=555)
Berbagai paradoks serta ironi seperti di atas semestinya tidak ada di negara yang mencantumkan Ketuhanan pada dasar negara dan masyarakatnya menjadikan agama sebagai sesuatu yang sangat penting. Sekali lagi, korupsi bertentangan dengan agama. Korupsi merupakan dosa besar dan koruptor adalah kafir.Â