Sejak pemilu langsung digulirkan di Indonesia pada 2004, semenjak itu pula beberapa aspek dalam pemilihan presiden berubah secara mencolok. Salah satunya adalah pandangan dan posisi wakil presiden.
Kita tahu bahwa selama orde baru pemilihan presiden sebagai mandataris MPR tak lebih dari sekadar sandiwara penuh formalitas yang telah dikondisikan untuk terus melanggengkan tahta Soeharto. Meskipun setiap lima tahun digelar pemilu, analisis dan prediksi sama sekali tidak dibutuhkan untuk hanya menebak siapa presidennya.
Diketahui juga bahwa wakil presiden sekadar hiasan dinding yang diletakkan secara pasif di samping foto presiden. Ada wakil presiden yang lebih kelihatan seperti ajudan presiden, ada yang terlihat sebagai murid, dan seringkali peran yang tampak hanya ban serep. Itu pun fungsinya jarang menonjol karena ban serep memang tidak selalu digunakan.Â
Namun, wakil presiden berubah menjadi lebih agung sejak 2004. Para calon presiden atau partai politik yang memiliki jagoan untuk dimajukan sebagai capres harus berpikir jeli dan teliti untuk menentukan pendampingnya. Kecuali saat SBY memilih Boediono untuk masa jabatan Presiden SBY yang kedua, penentuan cawapres pada pemilu langsung menjadi bagian yang penuh dinamika.
Cawapres telah menjelma jadi faktor yang dianggap sebagai penentu kemenangan. Capres yang elektabilitasnya kurang meyakinkan bisa melejit jika mendapat cawapres yang unggul. Sebaliknya, capres yang pada mulanya diunggulkan bisa terhempas jika salah memilih pendamping.
Kini posisi dan nilai tawar cawapres lebih menggiurkan dibanding capres. Itu bisa dilihat dari pragmatisme parpol yang berlomba hingga saling sikut untuk menyodorkan cawapres. Para tokoh dan politisi pun lebih bercita-cita menjadi wapres. Mereka tidak segan menawarkan dan menjual dirinya agar dipinang oleh capres tertentu.
Sementara itu bagi seorang capres perhitungan untuk memilih cawapres bisa jadi lebih memusingkan dibanding merancang strategi kampanye. Urusan program dan kampanye mudah diatur, tapi cawapres harus cermat diukur.
Drama pemilihan Sandiaga Uno oleh Prabowo Subianto menunjukkan betapa posisi cawapres dianggap sangat vital. Banyak intrik dan tarik ulur dalam penetapan Sandiaga hingga memancing riak perselisihan di antara koalisi Prabowo sendiri. Satu yang paling kita ingat adalah konflik "Jenderal Kardus" pada detik-detik menjelang penetapan Sandiaga Uno sebagai pendamping Prabowo.
Dinamika yang tak kalah menguras emosi dan tensi politik juga terjadi di kubu Jokowi. Dengan sangat dramatis Ma'ruf Amin tiba-tiba menggusur Mahfud MD pada sepersekian detik sebelum pengumuman cawapres Jokowi. Barangkali ini adalah salah satu adegan politik paling tidak lucu dalam penetapan cawapres pemilu 2019.
Pertimbangan dipilihnya cawapres Sandiaga oleh Prabowo barangkali demi kelancaran logistik, dana kampanye, dan tentu saja menggaet kaum milenial. Sementara cawapres Ma'ruf Amin dimajukan untuk menetralisir serangan SARA kepada Jokowi sekaligus memaksimalkan dukungan suara kalangan muslim.
Meski kedua pertimbangan tersebut tampak berbeda, tapi sama-sama berangkat dari premis bahwa posisi cawapres akan bisa mengunci kemenangan. Mana yang terbukti lebih mampu memenangkan perlu kita tunggu sampai hari pemilihan nanti.
Hal yang pasti adalah pada debat III pilpres yang akan digelar pada 17 Maret 2019, baik Sandiaga maupun Ma'ruf akan all out untuk membuktikan keandalan mereka sebagai cawapres yang menentukan. Mengapa debat tersebut akan sangat penting sehingga wajar jika kedua cawapres akan semaksimal mungkin untuk "caper"?
Pertama adalah tema debat yang meliputi topik pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, sosial, dan budaya. Cukup mengherankan bahwa topik-topik utama tersebut justru disodorkan kepada cawapres.
Kita tahu bahwa banyak persoalan pokok bangsa saat ini berkutat pada masalah pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, dan seterusnya. Hal-hal yang mendasar itu lebih pas jika diperdebatkan oleh capres atau oleh pasangan capres dan cawapres secara bersamaan.
Namun, di sinilah mungkin kita akan sekali lagi melihat bahwa cawapres adalah "sang penentu". Ketika persoalan penting dan mendasar diperdebatkan oleh Sandiaga dan Ma'ruf, maka baik Prabowo maupun Jokowi merasa wajib untuk hadir langsung menyaksikan para pendampingnya beradu gagasan dan visi.
Sementara bagi masyarakat, baik-buruknya performa Sandiaga maupun Ma'ruf dalam membahas tema debat bisa jadi lebih berpengaruh dibanding debat antara Prabowo dan Jokowi.
Alasan kedua mengapa debat cawapres bisa sangat menentukan selain karena topik dan tema yang diangkat sangat mendasar adalah kebuntuan kedua pasangan itu sendiri. Di kubu Jokowi-Ma'ruf, meski menurut sebagian besar survey elektabilitasnya masih lebih unggul, tapi pertumbuhannya tidak sebanding dengan harapan di awal.Â
Ma'ruf Amin memang bisa mendatangkan dukungan dari sejumlah kelompok muslim. Namun, sosoknya yang eksklusif membuat jangkauannya tidak luwes. Ditambah ia terlanjur menimbulkan resistensi di beberapa segmen pendukung Jokowi.
Kemudian disadari atau tidak, Ma'ruf dianggap menjauhkan Jokowi dari kelompok minoritas yang sebelumnya banyak menaruh harapan pada kepemimpinan Jokowi. Pasangan Jokowi-Ma'ruf menjadi lebih sibuk mengurus suara "orang-orang Islam".
Sementara itu, pasangan Prabowo-Sandi juga mengalami stagnasi. Upaya Sandi yang sejak awal menempatkan diri secara inklusif dan mencoba luwes dengan mendekati emak-emak serta kaum milenial ternyata belum meyakinkan. Selain ia merupakan tokoh yang "serba tanggung", kampanye Sandi juga kurang kreatif. Padahal di tengah sulitnya memoles citra Prabowo, sosok Sandi-lah yang diagungkan.
Sebulan menjelang pemilihan, tim pemenangan masing-masing mungkin sudah menangkap gejala bahwa produktivitas Jokowi-Ma'ruf dan Prabowo-Sandi sama-sama lambat. Belum ada yang benar-benar nyaman dan yakin bisa mengunci kemenangan.
Debat III yang diikuti cawapres nanti bisa jadi menciptakan loncatan di satu pihak dan longsoran di pihak lain. Â Maka inilah waktunya bagi cawapres untuk tebar pesona semaksimal mungkin sebagai sang penentu.
Di saat suara pemilih mengambang bisa mengalir ke mana saja dengan begitu cepat dan di saat suara pemilih rasional tiba-tiba bisa berubah haluan. Seperti yang terjadi pada dua orang dalam keluarga saya. Tiba-tiba Om dan Bu De saya beralih mendukung Prabowo dan Sandiaga. Alasannya karena Sandiaga masih muda dan cakep.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H