Badannya tegap, tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu besar. Kulitnya coklat kekuningan. Ia menatap ke arah depan dengan pandangan yang tampak begitu dalam. Semakin diamati lebih dekat, ternyata wajahnya sangat mirip dengan Jokowi.
Pameran Sastra Rupa "Gambar Babad Diponegoro" yang berlangsung di Jogja Gallery, 1-24 Februari 2019 benar-benar istimewa dan penuh kejutan. Untuk kali pertama, Babad Diponegoro yang telah ditetapkan sebagai Warisan Ingatan Dunia oleh UNESCO "dialihwahanakan" dalam bentuk visual.Â
Sebanyak 51 lukisan dibuat secara khusus dengan mengacu pada pupuh-pupuh yang termuat dalam naskah Babad Diponegoro. Pemilihan kisah yang diangkat melibatkan para akademisi dan sejarawan.Â
Sementara para pelukisnya merupakan seniman pilihan yang juga melakukan riset dan mengumpulkan informasi untuk mencipta lukisan. Hasilnya adalah lukisan-lukisan yang secara naratif menceritakan riwayat hidup Pangeran Diponegoro sejak kelahirannya.
Di antara semua lukisan yang dipamerkan, ada lukisan yang memiliki daya pikat khusus sehingga segera menarik perhatian manakala pertama kali manatapnya. Pertama adalah lukisan "Merapi Meletus dari Awang-awang" karya Nasirun.Â
Lukisan tersebut dibuat dengan mengacu pada pupuh ke-19 dan 20 yang mengisahkan Pangeran Diponegoro bersama istrinya Maduretno  sedang menyaksikan letusan Gunung Merapi. Situasi pada saat letusan terjadi disertai gempa bumi dan pijar api yang terlontar ke angkasa.Â
Pangeran Diponegoro dan Maduretno pada lukisan itu digambarkan dalam dua sosok wayang di sudut bawah bidang lukisan. Sementara fasad Gunung Merapi memenuhi seluruh bidang lukisan seolah menunjukkan betapa agungnya gunung ini.Â
Lukisan kedua yang sangat istimewa adalah "Abdulrohim Jokowibowo Namaku". Sigit Santoso membuatnya dengan cat minyak di atas kanvas berukuran 115x185 cm. Dibuat dengan mengacu pada pupuh ke-14 dari naskah Babad Diponegoro, lukisan ini memuat sosok pemuda berusia 20 tahun bernama Abdulrohim yang merupakan nama samaran Pangeran Diponegoro.
Nama Abdulrohim digunakan sang pangeran saat menuntut ilmu di pesantren. Pada masa itu pula Abdulrohim rajin melakukan perjalanan rohani untuk menemukan makna diri sendiri dengan cara bertapa dan berkelana dari hutan ke hutan. Berkat berbagai laku tersebut Pangeran Diponegoro bisa memiliki kepekaan kepada alam sekitar. Bersamaan dengan kecerdasannya  yang terus berkembang, intuisi dan nalurinya pun semakin tajam.