Indonesia selalu diasosiasikan dengan kehidupan yang harmonis mengingat begitu beragamnya negeri ini, tapi rakyatnya bisa hidup berdampingan. Pujian sebagai masyarakat yang toleran membuat orang Indonesia bangga.Â
Namun, begitu seringnya dianggap sebagai percontohan negeri yang penuh toleransi tampaknya malah membuat kita kehilangan kepekaan pada masalah intoleransi. Perusakan tempat ibadah, pembubaran kegiatan peribadatan, dan propaganda mengenai hari besar agama tertentu tidak dianggap sebagai masalah besar. Buktinya hal itu terus terjadi dan berulang seolah dibiarkan.
Memang sebagian besar negeri ini masih dinaungi nafas toleransi dan masih menikmati berkah kerukunan. Ada toleransi dan kesakinahan dalam kehidupan masyarakat dari Sabang sampai Merauke. Akan tetapi tidak sedikit saudara-saudara sebangsa yang dicekam ketidaktenangan dalam beragama dan beribadah.
Intoleransi membayangi langkah mereka saat berjalan menuju kelenteng. Kecemasan menyeruak di pikiran kalau-kalau gereja mereka tiba-tiba didatangi massa yang meminta ibadah mereka dihentikan dengan alasan menganggu "ketenangan".Â
Itu belum seberapa karena ada tindakan yang lebih menyedihkan lagi, yakni gereja ditutup karena dianggap tidak berizin atau berdiri di tengah pemukiman mayoritas muslim.
Menyaksikan realitas seperti demikian, tidak berlebihan jika kita memandang masa depan toleransi Indonesia dengan penuh kekhawatiran.
Harapan sempat melambung bahwa pemerintah akan tampil berani menghadapi kelompok-kelompok intoleran. Ada keyakinan bahwa pemimpin kita akan lebih peduli pada hak-hak minoritas yang berulang kali dilanggar.
Sayangnya semakin hari justru yang tampak adalah sebaliknya. Manakala dihadapkan pada aksi-aksi intoleran serta menghadapi perilaku pincang kelompok-kelompok tertentu, sang pemimpin kelihatannya berhitung.Â
Awalnya seperti berhati-hati atau menimbang agar tidak terjadi amarah yang lebih besar. Supaya tidak terjadi aliran aksi demo berjilid-jilid. Lalu mulai berkompromi sambil berharap kelompok-kelompok itu bisa direbut hatinya atau berubah menjadi lebih toleran.
Kenyataannya virus intoleransi tidak gampang diobati dan dibuat insaf. Sebuah kompromi malah membuat sang pemimpin terperosok pada langkah-langkah berikutnya yang menyedihkan dan mengkhawatirkan.Â
Pemerintah, pemimpin beserta aparatnya, menjadi "gagu" di hadapan intoleransi. Bukan hanya kurang tegas, tapi dalam beberapa kejadian terkesan membiarkan dan baru mengambil sikap setelah muncul protes atau gejolak di masyarakat.
Bagi negara yang menjadikan Ketuhanan dan kebebasan beragama sebagai bagian tak terpisahkan dari dasar negara, intoleransi sekecil apapun semestinya tak boleh dibiarkan dan harus ditolak.
Sikap kompromi, ditambah lemahnya komitmen bersama untuk mengatasi aksi-aksi intoleransi yang selama ini muncul, menjadi pembenaran bagi kelompok-kelompok lain di daerah untuk melakukan hal serupa. Benih-benih intoleransi menemukan cara dan jalan untuk berkecambah, lalu tumbuh menjadi benalu di tengah kehidupan masyarakat.
Sekalipun imbauan untuk bersatu sudah tak terhitung lagi berapa banyak diucapkan dan kata toleransi berulang kali didengungkan, tapi apalah artinya jika yang sebenarnya terjadi adalah kegaguan.
Di Indonesia kita telah beberapa kali diperlihatkan bahwa satu bentuk intoleransi kecil sudah lebih dari cukup untuk menimbulkan ketidaknyamanan bersama. Oleh karenanya membiarkan benih-benih intoleransi bertumbuh dan berkembang sama saja memulai jalan menuju kehancuran.Â
Jadi, sampai kapan praktik-praktik intoleransi akan terus dibiarkan? Sampai berapa lama pula kita bersikap masa bodoh? Atau jangan-jangan kegaguan para pemimpin kita telah menulari banyak rakyatnya. Kita menjadi toleran terhadap intoleransi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H