Bagi Sumadi, hidup selalu biasa saja. Setiap hari setelah bangun dan menyaksikan  sinar matahari merambat mengenai tubuhnya dan semua di sekitarnya, apa yang ia kerjakan tidak banyak berubah.Â
Selama hampir 40 tahun ia tetap menggosok tempurung kelapa untuk membuat centong atau sendok sayur. Pekerjaan itulah yang telah menghidup dirinya serta menafkahi keluarganya.
Sumadi adalah seorang perajin limbah kelapa di Kelurahan Purbalingga Wetan, Kecamatan Purbalingga, Jawa Tengah. Di kampungnya itu, Sumadi yang saat ini berusia 66 tahun bisa dikatakan sebagai perajin tertua yang masih aktif. Rata-rata perajin di Purbalingga Wetan saat ini berusia 35-45 tahun.Â
Berbeda dengan kebanyakan perajin di kampungnya yang berkumpul di bangunan bekas SD Negeri 2 Purbalingga Wetan sebagai pusat pembuatan kerajinan, Sumadi memilih bagian samping rumahnya yang sederhana sebagai tempat bekerja.Â
Di tempat yang sempit itu terserak tempurung dan potongan kayu. Dua lembar seng yang sudah karatan menjadi pelindungnya dari terik matahari atau hujan saat sedang bekerja.
Sumadi mulai aktif membuat kerajinan dari limbah kelapa sejak tahun 1981. Ia mengikuti orang tuanya yang juga perajin. Keterampilan membuat kerajinan limbah kelapa juga ia pelajari hanya dengan melihat orang tuanya dulu membuat.Â
Kerajinan limbah kelapa di Purbalingga Wetan memang sudah berlangsung sejak lama dan diwariskan dari generasi ke generasi. Namun, hanya sedikit yang terus mempertahankannya hingga kini. Generasi muda setempat kurang tertarik pada kerajinan limbah kelapa. Dua anak Sumadi pun memilih pekerjaan yang lain.
Meski hampir setiap hari membuat irus, Sumadi sudah jarang menerima pesanan dalam jumlah banyak atau dengan tenggat waktu yang singkat. Ia tidak ingin memaksakan kondisinya untuk mengerjakan pesanan yang memberatkan.
Hasil produksinya setiap hari dikumpulkan di rumah sambil menunggu pedagang pengepul datang mengambil. "Yang penting buat, nanti kalau ada yang ambil ya seadanya itu", katanya. Kadang produksinya bisa lebih banyak jika kedua anaknya ikut membantu setelah pulang dari tempat mereka bekerja.
Saat ini Sumadi mengandalkan pedagang pengepul untuk memasarkan hasil produksinya ke luar daerah seperti Purwokerto, Yogyakarta, dan Jakarta. Berbeda dengan beberapa puluh tahun lalu saat ia masih muda dan sanggup bepergian hingga ke Bandung dan Jakarta untuk menjual sendiri produk buatannya.Â
Keberadaan pedagang pengepul memang membantu, meski itu membuat perajin seperti Sumadi kurang leluasa menentukan harga. Saat ini harga irus di tingkat perajin rata-rata hanya Rp2000. Bahkan, harga borongan per kodi (isi 20) kadang lebih rendah lagi.
Selama puluhan tahun sudah tak terhitung berapa banyak irus yang ia buat. Sepanjang itu pula ia terus menggosok tempurung kelapa sampai halus, lalu disatukan dengan gagang kayu hingga menjadi irus. Bisa jadi irus di rumah dan di warung langganan kita adalah buatan Sumadi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H