Purwokerto, kota kecil di selatan Jawa Tengah itu sedang agak mendung saat saya datang pada akhir pekan pertengahan Oktober lalu. Suasana Stasiun Besar Purwokerto sangat ramai.Â
Tukang becak, tukang ojek, dan mobil-mobil angkutan umum berebut mencari penumpang yang baru turun dari kereta. Kendaraan-kendaraan pribadi pun memenuhi halaman parkir stasiun.
Dari pintu keluar bagian timur saya meninggalkan stasiun melewati semua keramaian tersebut. Selanjutnya Jalan Pemuda dan Jalan Gatot Subroto saya susuri dengan berjalan kaki. Jaraknya sekitar 750 meter.Â
Di Pasar Manis Purwokerto yang merupakan pertemuan antara ruas Jalan Pemuda dan Gatot Subroto saya berhenti. Di depan pasar terdapat halte bus Trans Jateng koridor Purwokerto-Purbalingga. Saya ingin mencoba menaikinya untuk pertama kali.
Trans Jateng di Purwokerto baru diluncurkan pada pertengahan Agustus 2018. Ini menjadi bagian dari sistem transportasi publik Bus Rapid Transit (BRT) Jawa Tengah. Sebelum beroperasi di Purwokerto, Trans Jateng telah lebih dulu meluncur di Kota Semarang dan Kabupaten Semarang.
Jadi saya harus menyiapkan uang sebesar Rp 4.000 untuk dibayarkan kepada kondektur di dalam bus. Tarif Rp 4.000 itu berlaku jauh dekat untuk semua tujuan yang masih berada dalam satu rute koridor.
Setelah 15 menit menunggu, bus Trans Jateng akhirnya muncul. Seperti Trans Jateng Semarang, bus Trans Jateng Purwokerto juga berwarna merah. Namun, ukurannya lebih kecil seperti bus Trans Jogja. Badan bus dihiasi gambar bermotif batik dan tulisan Trans Jateng.
Bus melaju dan penumpang yang baru naik seperti saya menyerahkan uang pembayaran kepada kondektur. Sebagai bukti pembayaran penumpang mendapatkan karcis yang dicetak melalui alat seperti EDC yang dipegang oleh kondektur.Â
Di halte berikutnya penumpangnya semakin bertambah dan mayoritas adalah ibu-ibu serta anak-anak. Setelah memberikan tempat duduk ke seorang penumpang, saya mengambil posisi berdiri di bagian belakang.Â
Meski harus berdiri sepanjang perjalanan tapi masih terasa nyaman karena kondisi bus yang masih sangat baru sehingga semua fasilitas, termasuk pendingin udara berfungsi baik.
Membelah Kota Purwokerto bus melaju dengan kecepatan sedang. Sesaat sebelum sampai di setiap halte, pengumuman terdengar di dalam bus sehingga penumpang bisa turun tepat sesuai halte yang terdekat dengan tujuannya.Â
Sepanjang pengamatan sopir Trans Jateng di Purwokerto tidak ugalan-ugalan dan mematuhi rambu-rambu lalu lintas. Sejenak saya membandingkannya dengan bus Trans Jogja yang sopirnya suka ugalan-ugalan. Semoga performa sopir Trans Jateng ini bisa dipertahankan, bahkan ditingkatkan.
Bus yang saya naiki pun memasuki Terminal Bulupitu atau terminal bus Purwokerto untuk transit. Semua penumpang diwajibkan turun terlebih dahulu dan menunggu di halte.Â
Bus kemudian berhenti tak jauh dari halte. Sopir dan kondekturnya beristirahat di bawah pohon, sementara bus dibersihkan oleh beberapa petugas. Di tempat itu juga ada beberapa bus Trans Jateng lain yang sedang dalam antrean untuk melaju kembali setelah transit.
Selama transit, penumpang yang masih akan melanjutkan perjalanan wajib menyimpan tiket yang telah ditandai oleh kondektur. Tiket itu akan diminta saat penumpang kembali menaiki bus dari terminal.Â
Soal perjalanan lanjutan, bus Trans Jateng Purwokerto melayani rute yang cukup panjang hingga ke Kabupaten Purbalingga. Di Purbalingga rute Trans Jateng mencapai wilayah Bukateja.Â
Bukan tidak mungkin jika Bandara Jenderal Sudirman di Purbalingga telah selesai dibangun dan beroperasi secara komersil, Trans Jateng ini pun akan menjadi transporasti penghubung ke bandara.
Jadi, penumpang bisa menaiki Trans Jateng dari Purwokerto hingga Purbalingga hanya dengan membayar Rp 4.000. Ongkos yang sangat murah dibandingkan jika menumpang taksi sekitar Rp 70.000-100.000 atau ojek daring sekitar Rp 25.000-40.000.Â
Namun, waktu perjalanan dengan bus Trans Jateng lebih lama karena harus berhenti di sejumlah halte dan transit di terminal.Â
Akan tetapi Trans Jateng Purwokerto masih memiliki beberapa kekurangan. Di antaranya adalah halte yang terlalu kecil dan kurang memadai sebagai tempat menunggu.Â
Misalnya, saat sedang hujan halte yang ada saat ini kurang melindungi penumpang dari hujan. Oleh karena itu, bentuk dan ukuran halte Trans Jateng koridor Purwokerto-Purbalingga perlu diperbaiki.
Pembayaran dengan uang elektronik juga perlu diterapkan. Cara tersebut mempermudah penumpang untuk melakukan pembayaran. Apalagi saat ini uang elektronik, baik yang berbasis kartu maupun dompet digital berbasis aplikasi sudah banyak digunakan oleh masyarakat.Â
Di jenis bus rapid transit lainnya, seperti Trans Jogja, ruangan di depan pintu tidak dipasangi kursi penumpang secara rapat sehingga tersedia cukup ruang bagi penyandang disabilitas agar mereka lebih mudah masuk dan keluar.Â
Sementara di bus Trans Jateng koridor Purwokerto-Purbalingga area terdekat pintu penuh dengan kursi. Mengingat ukuran bus yang kecil dan kursi yang rapat, penyandang disabilitas dan pengguna kursi roda akan kesulitan mendapatkan tempat di bus.
Semoga dalam waktu dekat pelayanan Trans Jateng di Purwokerto dan Purbalingga dapat ditingkatkan. Bagaimanapun juga transportasi publik yang nyaman dan terjangkau telah menjadi kebutuhan bersama.