Mohon tunggu...
Hendra Wardhana
Hendra Wardhana Mohon Tunggu... Administrasi - soulmateKAHITNA

Anggrek Indonesia & KAHITNA | Kompasiana Award 2014 Kategori Berita | www.hendrawardhana.com | wardhana.hendra@yahoo.com | @_hendrawardhana

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Manuskrip Nusantara untuk Indonesia yang Lupa Ingatan

24 Oktober 2018   07:57 Diperbarui: 24 Oktober 2018   10:58 1124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Salah satu bagian dari manuskrip yang berisi informasi kejadian gempa dan likuifaksi yang terjadi di masa lampau (dok. pri).

Manuskrip-manuskrip itu ditulis puluhan, bahkan ratusan tahun yang lalu. Isinya beragam dan menyentuh persoalan-persoalan seputar kehidupan masyarakat Nusantara sehari-hari. Esensinya diyakini masih sangat relevan dengan kondisi bangsa saat ini

***

Secara historis ada banyak bukti bahwa Nusantara memiliki dasar peradaban yang maju. Keberadaan manuskrip atau naskah tulisan kuno adalah salah satu buktinya.

Sejak semula dalam kehidupan masyarakat Nusantara telah berkembang budaya berpikir yang dinamis melalui menulis dan mengkomunikasikan pengetahuan. 

Manuskrip-manuskrip itu menunjukkan bahwa masyarakat Nusantara telah memiliki inisiatif untuk mendokumentasikan fenomena atau kejadian secara rinci dalam bentuk tertulis. Bahkan, ada sejumlah manuskrip Nusantara yang ditulis dengan alas naskah dari kulit kayu yang dibuat jauh sebelum adanya kertas Eropa, sehingga muncul hipotesis bahwa budaya literasi nenek moyang bangsa kita tidak kalah dengan Eropa.

Kompasiana on loc di Museum Sonobudoyo Yogyakarta bertujuan untuk mengenal manuskrip Nusantara (dok. pri).
Kompasiana on loc di Museum Sonobudoyo Yogyakarta bertujuan untuk mengenal manuskrip Nusantara (dok. pri).
"Jadi kalau selama ini dikatakan bangsa kita baru pandai beraksara atau tulis menulis saat masa kolonial, menurut saya itu adalah pembodohan", kata Prof. Dr. Oman Faturohman. Guru Besar Filologi dan Studi Islam dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah yang kini menjabat sebagai Staf Ahli Bidang Manajemen Komunikasi dan Informasi Kementerian Agama RI itu hadir sebagai pembicara utama dalam diskusi "Mengenal Peradaban Melalui Manuskrip" yang diadakan oleh Kementerian Agama bersama Kompasiana di Museum Sonobudoyo Yogyakarta pada Sabtu, 20 Oktober 2018. 

Narasumber lainnya adalah Kepala Biro Humas Kementerian Agama, Mastuki, dan Kepala Seksi Koleksi dan Konservasi Museum Sonobudoyo, Ery Sustiyadi.

Oman menyebutkan betapa Indonesia memiliki kekayaan manuskrip yang besar dan beragam. Tidak hanya di dalam negeri, manuskrip Indonesia juga dijumpai di beberapa negara. Dari segi bahasanya ada 18 kelompok bahasa yang digunakan untuk menulis manuskrip Indonesia.

Manuskrip Indonesia yang berasal dari periode pra Islam, Islam, hingga masa penjajahan memiliki arti penting karena menjadi bagian dari lintasan sejarah bangsa. Sayangnya banyak manuskrip rusak dan lenyap sebelum sempat dipelajari. 

Di sisi lain beberapa manuskrip yang bisa diakses melalui koleksi pada sejumlah lembaga seperti museum, kurang menarik perhatian masyarakat seperti halnya minat terhadap museum yang masih rendah. Kondisi ini menyebabkan informasi yang terkandung di dalam manuskrip-manuskrip itu belum tergali sepenuhnya.

Salah satu bentuk manuskrip adalah prasasti (dok. pri).
Salah satu bentuk manuskrip adalah prasasti (dok. pri).
Meskipun kajian filologi telah tumbuh dalam beberapa tahun terakhir, kesadaran dan perhatian masyarakat Indonesia terhadap manuskrip Nusantara masih perlu ditingkatkan. Masyarakat harus diajak kembali mengenali warisan nenek moyang yang salah satunya berupa manuskrip.

Senada dengan Oman, Mastuki juga menekankan perlunya mengangkat kembali manuskrip Nusantara untuk memperluas pandangan masyarakat Indonesia tentang peradaban bangsanya. Upaya itu diharapkan bisa mengatasi sifat inferior bangsa Indonesia yang terbentuk akibat tekanan penjajahan.

Di sisi lain penjajahan juga telah mencabut dan memisahkan masyarakat Indonesia dari ingatannya tentang akar budaya bangsa. Lama-kelamaan sifat lupa itu menjadi sumber dari berbagai krisis yang melanda Indonesia saat ini.

Oman mencontohkan bagaimana manuskrip-manuskrip yang berkembang pada periode Islam di Nusantara tidak meniadakan warisan atau pengaruh periode Hindu-Budha. Bahkan, ada manuskrip periode Islam yang mengutip dan menyalin cerita tentang dewa-dewa dengan tujuan untuk mengabadikan khasanah karya yang pernah berkembang sebelumnya.

Kenyataan tersebut mengandung makna bahwa perkembangan Islam di Nusantara sejak awal telah disertai dengan semangat toleransi. Masyarakat pada zaman dahulu telah menyadari bahwa dakwah Islam di Nusantara tidak bisa dilakukan dengan pemaksaan paham halal-haram dan kegiatan-kegiatan yang disertai pengrusakan atau pemusnahan warisan budaya pra-Islam.

Salah satu bagian dari manuskrip yang berisi informasi kejadian gempa dan likuifaksi yang terjadi di masa lampau (dok. pri).
Salah satu bagian dari manuskrip yang berisi informasi kejadian gempa dan likuifaksi yang terjadi di masa lampau (dok. pri).
Keterbukaan terhadap perbedaan dan pengakuan terhadap kesetaraan sebenarnya telah menjadi karakteristik perkembangan agama di Indonesia. Namun, pemahaman pada nilai-nilai semacam itu memudar. 

Pengetahuan dan kearifan yang ada di dalam manuskrip  dilupakan dan tidak lagi diwariskan karena berbagai sebab. Padahal pengetahuan tentang perkembangan Islam di Indonesia bisa menjadi instrumen penting untuk mencegah berkembangnya bibit-bibit intoleransi dan menangkal ektremisme agama yang akhir-akhir ini menguat di tengah-tengah masyarakat.

Contoh lainnya adalah mengenai Islamisasi Jawa dan Jawanisasi Islam. Menurut Oman ada manuskrip Jawa yang mengandung informasi berharga tentang berkembangnya sufi di lingkungan Keraton Yogyakarta. 

Sayangnya pengetahuan itu tidak banyak diketahui masyarakat. Bahkan, kesan yang selama ini terlanjur berkembang adalah kaum priyayi dari keraton jauh dari sifat-sifat kesantrian.

Bukan hanya soal perkembangan agama, pengetahuan seputar bencana alam juga telah disampaikan oleh nenek moyang Indonesia melalui manuskrip. Oman kemudian menunjukkan sebuah catatan mengenai gempa bumi dan fenomena likuifaksi yang terjadi di daerah di Indonesia pada masa lampau. 

Andai pengetahuan dalam manuskrip tersebut diwariskan dan terus dipelajari, dampak dan korban dari setiap bencana di Indonesia bisa ditekan. Mitigasi bencana pun bisa diperkuat.

***

Berbagai dilema dan permasalahan yang menyangkut kehidupan sosial, budaya, keagamaan, dan lain sebagainya yang muncul saat ini adalah dampak dari ketidakpahaman kita terhadap warisan masa lampau. 

Kita seolah lupa pada pijakan dan tempat berdiri yang sebenarnya telah disiapkan sejak ratusan tahun lalu.

Salah satu manuskrip Nusantara yang ditulis dalam bahasa Jawa menggunakan huruf Arab (dok. pri).
Salah satu manuskrip Nusantara yang ditulis dalam bahasa Jawa menggunakan huruf Arab (dok. pri).
Oleh karena itu, kesadaran dan ingatan bangsa Indonesia perlu dibangkitkan. Salah satunya dengan mempelajari manuskrip agar tumbuh kembali pemahaman tentang peradaban dan falsafah bangsa Indonesia yang sebenarnya.

Harus diakui upaya mengaktualisasikan manuskrip-manuskrip Nusantara tidak mudah. Selain masih terkendala minat terhadap studi filologi, tantangan lainnya adalah cara menyampaikannya kepada masyarakat. 

Perlu kolaborasi antara berbagai pihak untuk mengolah serta mentransformasikan kandungan manuskrip menjadi produk penyampaian yang kreatif dan menarik. Ruang-ruang pertemuan dan diskusi juga perlu diperbanyak karena hal itu akan membuka wawasan masyarakat terhadap manuskrip Nusantara. 

Oman pun mengapresiasi Kompasiana On Loc di Museum Sonobudoyo karena untuk pertama kalinya manuskrip diperbincangkan dalam forum diskusi untuk masyarakat umum. Selama ini manuskrip hanya dibedah dan didiskusikan secara terbatas untuk kepentingan akademik melalui seminar maupun forum ilmiah lainnya.

Esensi manuskrip-manuskrip Nusantara adalah modal untuk menghadapi tantangan masa kini dan masa depan. Maka sudah seharusnya kita memulihkan ingatan kolektif tentang siapa diri kita, di mana kita hidup, dan bagaimana semestinya kita hidup.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun