Ada keinginan untuk melakukan sesuatu yang kurang lebih sama seperti Nila. Namun, pada saat bersamaan berbagai keraguan muncul. Saya merasa belum mampu untuk melakukan hal seperti demikian. Bepergian ke daerah-daerah terpencil, mendirikan taman bacaan dan membawa buku untuk anak-anak. Waktu, uang, dan kemampuan saya masih  sangat terbatas.Â
Obrolan panjang saya dengan Bunda Ayik pada suatu sore ternyata cukup membekas. Diam-diam saya tergugah karenanya. Kebaikan besar yang dihadirkan oleh KAGEM berawal dari langkah sederhana yang dilakukan Bunda Ayik melalui sebuah taman bacaan di ruang tamu rumahnya.Â
Pada 2012 Bunda Ayik mengumpulkan buku-buku bacaan, baik dari koleksi pribadi maupun sumbangan rekan-rekannya. Buku-buku itu kemudian ia letakkan di ruang tamu dan mempersilakan anak-anak dari keluarga marginal di sekitar tempat tinggalnya untuk datang dan membaca. Ia percaya bahwa dengan membaca buku anak-anak bisa mendapatkan banyak hal positif dan waktu mereka tidak akan terbuang hanya untuk bermain tanpa arahan. Selain ilmu dan pengetahuannya bertambah, anak-anak juga akan terbentuk karakternya karena belajar dari hal-hal baik yang ditemukannya dalam bacaan.
Dari beberapa buku di ruang tamu itulah KAGEM kemudian lahir. Kini KAGEM telah tumbuh menjadi komunitas sosial dan rumah belajar yang melayani puluhan anak-anak. Di sana mereka mendapatkan bimbingan belajar gratis dan berbagai bentuk edukasi lainnya dari para relawan mahasiswa.
Lakukan Saja!
Inspirasi dari karya dan perbuatan Nila Tanzil serta Bunda Ayik itulah yang turut menyadarkan saya bahwa Indonesia membutuhkan lebih banyak kebaikan dari orang-orang yang bersedia memberikan waktu, tenaga, pikiran, dan materi untuk mengatasi permasalahan bersama. Jika memiliki waktu yang terbatas, seseorang bisa menyumbang pemikiran dan ide. JIka tenaganya kurang memungkinkan, seseorang barangkali mempunyai kelebihan materi yang bisa dimanfaatkan. Intinya, lakukan saja sesuai kemampuan.
Dalam hal membangun mimpi anak-anak Indonesia lewat buku, setiap orang bisa menjadi perantara untuk ikut membangun atau menghantarkan mimpi-mimpi itu dengan cara yang sederhana. Sekalipun saya tidak bisa seperti Nila Tanzil atau Bunda Ayik, dan memang tidak harus menjadi seperti mereka, saya bisa melakukannya dengan cara mengirimkan buku-buku untuk dibaca.Â
Tanggal 17 Januari 2018 adalah pertama kalinya saya mengirimkan paket buku ke sebuah taman bacaan di Waingapu, Nusa Tenggara Timur. Ketika buku itu sampai seminggu kemudian dan pengelola taman bacaan mengirimkan pesan beserta foto anak-anak Waingapu sedang membaca buku-buku yang saya kirimkan, rasanya senang bukan main. Itu membuat saya semakin bersemangat mengirimkan buku lagi. Pada bulan-bulan berikutnya saya mengirimkan ke Maluku, kemudian untuk pegiat motor pustaka dan taman bacaan di Banyumas, Purbalingga, dan Malang.Â
Oleh karena itu, mengirimkan buku ke sejumlah daerah terpencil saya maknai sebagai upaya untuk ikut serta membagikan energi baik dan juga membangun mimpi bagi anak-anak di pelosok negeri. Bulan ini saya akan menunggu lagi kabar baik dari tempat yang berbeda. Kabar bahwa buku-buku yang saya kirimkan telah sampai dan dibaca dengan gembira oleh anak-anak.