Babak penyisihan grup Piala Dunia 2018 berlangsung menarik sekaligus diwarnai kejutan. Beberapa tim besar yang diunggulkan kewalahan di pertandingan pertama. Ada yang susah payah meraih kemenangan hingga menit terakhir, ada yang ditahan tim underdog, dan ada pula yang apes meski berstatus sebagai tim favorit dan juara bertahan seperti Jerman yang dikalahkan oleh Meksiko.
Sama menariknya dengan keriuhan yang ditimbulkan perangkat teknologi bernama VAR atau Video Assistant Referee. Rusia 2018 sebagai piala dunia yang pertama kali menggunakan VAR menjadi saksi mata betapa inovasi ini secara signifikan menghadirkan (sebagian orang mengatakan menghilangkan) pertunjukkan baru di lapangan. Perangkat VAR menciptakan hasil-hasil baru, setidaknya setelah wasit mengambil pilihan untuk melihat video sebagai pertimbangan untuk mengkonfirmasi keputusannya.Â
Panggung VAR. Begitulah kira-kira salah satu penggambaran piala dunia kali ini. Setidaknya sudah ada 4 pertandingan penyisihan grup di mana VAR mengambil peran signifikan pada keputusan wasit maupun hasil akhir pertandingan. Pertama adalah pertandingan Perancis melawan Australia. Melalui tayangan VAR wasit Andreas Cunha mengambil keputusan untuk memberikan penalti kepada Perancis yang berhasil dieksekusi oleh Antoine Griezmann.Â
VAR juga membuahkan penalti untuk Peru saat melawan Denmark. Sayang "hadiah" itu disia-siakan oleh Peru. VAR pula yang berkontribusi atas kemenangan penting Swedia atas Korea Selatan saat pada menit ke 65 wasit menghentikan pertandingan untuk sejenak melihat video VAR di pinggir lapangan sebelum kemudian memutuskan menghukum Korea Selatan dengan sebuah penalti untuk Swedia.
VAR tidak hanya membuahkan hukuman penalti. Saat Kosta Rika melawan Serbia, pertandingan sempat terhenti saat mendekati akhir waktu. Saat itu wasit meninjau VAR untuk keperluan red card review. Wasit membutuhkan konfirmasi layak tidaknya pelanggaran yang baru terjadi diganjar kartu merah. Hasilnya hanya sebuah kartu kuning.
***
Tatkala beberapa tim mendapat keuntungan atau "hadiah" dari VAR, tim-tim lainnya harus merasakan yang sebaliknya. Namun, berbeda dengan di Indonesia yang saat salah satu tim merasa dirugikan lalu bertingkah seolah dizalimi dunia akhirat, mengejar wasit, dan masuk ruang ganti kemudian mogok bermain, tim-tim dunia menunjukkan penerimaan yang lapang atas keputusan wasit. Meski mungkin mereka pun merasa aneh dengan kehadiran VAR, tapi setidaknya mereka tak mengumpat: "wasit goblok!".Â
Kekecewaan, ketidaksenangan, dan umpatan terhadap VAR memang terdengar keras di ruang-ruang penonton, di acara nonton bareng, dan di perkumpulan suporter. Pada umumnya VAR dianggap menghilangkan "drama" alami sepakbola. Meski sebenarnya tidak jelas juga apa definisi "drama" dalam sepakbola.Â
Penggunaan VAR oleh wasit di tengah-tengah pertandingan dinilai berpotensi mengganggu jalannya keseruan permainan. Sedikit dalam hal ini bisa diterima karena pertandingan Korea melawan Swedia memperlihatkan gangguan tersebut.Â
Namun, menganggap bahwa VAR sebagai sesuatu yang tidak perlu dalam sepakbola modern jelas salah. Pandangan bahwa teknologi ini telah merusak "seni" permainan sepakbola tampak bias dan teriakan suporter tentang hal itu terdengar ambivalen. Hari ini  para suporter menginginkan drama, tapi kemarin mereka mengutuk drama-drama. Kemarin kita mengeluh dan marah karena tim kesayangan didzalimi, tapi hari ini kita menolak wasit yang ingin mengupayakan keadilan.Â
Di masa lalu kita menyesali gol Inggris ke gawang Jerman yang "tidak dianggap" oleh wasit. Apakah hari ini kita menyesali VAR dan ingin kembali ke masa lalu?