Mohon tunggu...
Hendra Wardhana
Hendra Wardhana Mohon Tunggu... Administrasi - soulmateKAHITNA

Anggrek Indonesia & KAHITNA | Kompasiana Award 2014 Kategori Berita | www.hendrawardhana.com | wardhana.hendra@yahoo.com | @_hendrawardhana

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Warung Makan dan Ketidakyakinan Puasa

25 Mei 2018   19:41 Diperbarui: 25 Mei 2018   19:52 1170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebenarnya sudah menjadi hal yang biasa di negeri kita selama bulan Ramadan warung-warung makan, restoran-restoran, berukut para penjual makanan keliling berhenti berjualan.

Biasanya mereka menggeser waktu usaha dan pelayanannya, dari yang biasanya buka sejak pagi, menjadi baru buka pada sore hari menjelang waktu berbuka puasa hingga sahur. Atau banyak yang tetap melayani seperti biasa tapi menutup sebagian pintu dan jendela warungnya sehingga aktivitas bersantap makanan dan minuman tidak terlihat langsung dari luar.

Ini adalah bentuk penghormatan, juga sikap simpati kepada masyarakat muslim yang berpuasa.

Yang menjadi tidak simpatik adalah ketika warung-warung makan itu dipaksa untuk tutup atau berhenti berjualan sepenuhnya selama Ramadan. Sebabnya barangkali ada  orang-orang yang merasa terganggu ibadah puasanya ketika menghirup wangi masakan padang. Merasa terancam kekhusyukan puasanya ketika melihat botol-botol minuman dingin. Mereka lalu beramai-ramai memeriksa warung dan restoran, meminta pelayanannya dihentikan.

Tidak menjadi masalah kalau permintaan itu disampaikan secara sopan sebagai himbauan. Tapi kalau pemilik warungnya diancam, pelayan penyaji makanan ditakut-takuti, makanannya disita dan warungnya ditutup paksa, itu baru masalah.

Salah satu alasan yang sering dikemukakan sebagai pembenaran bahwa warung dan restoran perlu berhenti berjualan saat Ramadan adalah demi toleransi. Satu pihak yang menginginkan toleransi mungkin berlogika bahwa makan minum di siang hari selama puasa adalah dilarang, maka segala bentuk yang berasosiasi dengan kegiatan makan dan minum itu juga perlu dihentikan. Mereka yang masih menampilkan asosiasi makan dan minum dianggap tidak menghargai. Dianggap sebagai bentuk kesengajaan untuk mengganggu ibadah puasa.

Bahkan, ada kecenderungan yang tampak belakangan untuk menjadikan masalah warung yang buka saat Ramadan sebagai materi propaganda yang ditujukan untuk menyerang kelompok masyarakat lain. Misalnya melalui pernyataan: "Kalau hari raya Nyepi semua harus tutup, listrik mati, bandara berhenti. Tapi giliran yang Islam puasa, kok warung-warung tetap buka? Katanya toleransi??"

Jelaslah ini menunjukkan bahwa kita semua perlu lebih dalam lagi memahami dan menggali apa itu toleransi. Toleransi tidaklah didirikan atas sebuah tuntutan bahwa yang satu harus melakukan ini atau yang ini harus melakukan yang itu.

Dalam hal warung yang tetap buka saat puasa, harus dipahami pula bahwa para penjual dan pemilik warung juga memiliki hak untuk tetap berjualan, padanya juga ada kebutuhan masyarakat lain yang tidak berpuasa. Mereka tentu tidak ada maksud untuk merusak ibadah puasa kita.

Sudah cukup baik warung-warung itu menutup jendela atau pintunya dengan tirai atau buka sedikit lebih siang. Itu merupakan penghargaan, sebuah toleransi, sehingga tidak seharusnya kita memaksa mereka untuk berhenti berjualan sambil melabeli dengan sebutan "intoleran", "tidak menghargai Islam" dan lain sebagainya.

Jika perilaku-perilaku demikian selalu berulang dan kalau setiap bulan Ramadan kita selalu memaksa pemilik-pemilik warung untuk tutup dan berhenti berjualan, apalagi disertai rasa benci penuh curiga bahwa mereka yang tetap berjualan saat Ramadan telah sengaja menodai kekhusyukan Ramadan, rasanya ada yang perlu direnungkan ulang ke dalam hati kita masing-masing.

Jangan-jangan kekhawatiran bahwa warung-warung itu akan menggoda puasa kita bersumber dari belum tuntasnya niat ibadah puasa kita? Jangan-jangan puasa kita selama ini hanya memperlihatkan ketidakteguhan hati dan ketidakyakinan kita dalam menjalankan ibadah?

Kalau demikian adanya, maka ada sebuah pertanyaan penting lagi: sejauh mana puasa kita akan diterima oleh Allah jika selama ini kita menjalaninya dengan dengan penuh rasa curiga dan ketidakyakinan?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun