Mohon tunggu...
Hendra Wardhana
Hendra Wardhana Mohon Tunggu... Administrasi - soulmateKAHITNA

Anggrek Indonesia & KAHITNA | Kompasiana Award 2014 Kategori Berita | www.hendrawardhana.com | wardhana.hendra@yahoo.com | @_hendrawardhana

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Dua Hari Berjalan Menjelajah Solo, Nyaman dan Asyik Berkat "Terapi Hangat" Geliga

4 Januari 2018   11:30 Diperbarui: 4 Januari 2018   11:33 1296
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Terapi hangat dengan Geliga Krim membuat saya nyaman dan asyik menjelajah Solo (dok. pri).

Akhir tahun menjadi momen yang tepat untuk pergi berlibur. Itu pula yang saya lakukan pada 16-17 Desember 2017 yang lalu dengan melancong ke Solo. Banyaknya destinasi menarik di sekitar pusat kotanya menjadi alasan saya memilih Solo. Kota asal Presiden Jokowi ini menawarkan berbagai pengalaman wisata yang relatif terjangkau, baik dari segi waktu, tempat, dan biaya.

Selama dua hari di Solo saya mengunjungi beberapa tempat dengan berjalan kaki. Sejak awal saya memang merencanakan liburan ini sebagai penjelajahan kecil. Terbayang asyiknya menikmati Solo sambil meninggalkan jejak-jejak kaki. Melangkah dari satu tempat ke tempat lain sembari menikmati suasana dan wajah kotanya saat ini.

Menyusuri City Walk Hingga Pasar Malam

Perjalanan ke Solo ini  saya rencanakan sejak akhir November. Mulai dari menetapkan tanggal dan waktu keberangkatan, memesan penginapan, menentukan destinasi, serta rute yang akan dilalui. Saya juga menyiapkan perbekalan praktis untuk mendukung kenyamanan dan kelancaran saat menjelajah Solo, salah satunya adalah Geliga Krim.

Sabtu, 16 Desember 2017, kereta api Prameks yang mengantar saya tiba di Solo sekitar pukul 11.15. Stasiun Purwosari menjadi pintu masuknya karena dari tempat ini saya langsung menjelajahi Solo melalui City Walk Slamet Riyadi yang panjangnya mencapai 4,5 km.

Deretan kursi di City walk Slamet Riyadi (dok. pri).
Deretan kursi di City walk Slamet Riyadi (dok. pri).
Loji Gandrung Solo (dok. pri).
Loji Gandrung Solo (dok. pri).
City walk Slamet Riyadi sangat nyaman untuk dipijak. Trotoarnya lebar, bersih, serta ramah bagi pejalan kaki dan kaum disabilitas. Tak ada pedagang kaki lima yang menjajah area ini. Padahal di sekitarnya berjejer banyak pusat perekonomian seperti toko, mal, perkantoran, bank, dan hotel berbintang. Pepopohan di sepanjang Jalan Slamet Riyadi menambah kesejukan city walk.  Terdapat pula kursi-kursi di jumlah titik sebagai tempat istirahat dan bersantai.

Menyusuri City Walk Slamet Riyadi menghadirkan pengalaman yang menyenangkan bagi saya. Sambil terus berjalan pandangan saya menikmati beberapa obyek menarik. Saat sampai di depan Loji Gandrung, saya mampir ke halaman rumah dinas Walikota Solo tersebut. Bangunan bergaya lama itu masih difungsikan dan terawat. Tentu saja Presiden Jokowi saat masih menjadi Walikota Solo pernah berada di sini.

Selesai dari Loji Gandrung, tempat pertama yang saya masuki adalah Museum Radya Pustaka di Jalan Slamet Riyadi. Di museum pertama di Indonesia ini saya melihat banyak koleksi berharga dan bersejarah, antara lain Wayang Purwa berusia ratusan tahun, jam panggung yang berusia lebih dari 2 abad, hiasan Perahu Rajamala dari tahun 1788-1820, dan patung Durga Mahesa Suramardhini dari abad VII-X Masehi. Ada pula koleksi uang kuno, guci, keris, pedang, dan tombak. Hadiah dari Napoleon Bonaparte I untuk Paku Buwana IV juga tersimpan di museum.

Museum Radya Pustaka (dok. pri).
Museum Radya Pustaka (dok. pri).
Sebagian koleksi Museum Radya Pustaka (dok. pri).
Sebagian koleksi Museum Radya Pustaka (dok. pri).
Pasar Triwindu (dok. pri).
Pasar Triwindu (dok. pri).
Saat di museum hujan tiba-tiba turun. Sambil menunggu reda sekitar 30 menit saya beristirahat di teras museum untuk melemaskan otot-otot kaki. Geliga Krim saya oleskan di betis dan pergelangan kaki sambil memijatnya perlahan. Cara ini cukup efektif untuk membuat otot kembali rileks.

Setelah hujan reda saya meninggalkan Radya Pustaka dan berjalan lagi menuju Pasar Triwindu. Pasar dua lantai yang diresmikan Jokowi pada 2011 ini memiliki kios-kios yang menyerupai galeri barang-barang antik, unik, dan lawas. Saat saya datang ada beberapa wisatawan lokal dan turis asing yang sedang berkeliling pasar.

Dari Pasar Triwindu saya melanjutkan langkah menapaki Jalan Diponegoro di selatan Pura Mangkunegaran. Sebenarnya saya ingin ke Pura Mangkunegaran, tapi hari sudah beranjak sore. Saya putuskan untuk menuju hotel tempat menginap di kawasan Keprabon dengan berjalan menyusuri Jalan Ronggowarsito lalu ke Jalan Imam Bonjol. Di hotel saya segera memulihkan tenaga karena malam harinya akan mendatangi sebuah tempat menarik lainnya di Solo. 

Pukul 18.15 saya keluar hotel dan berjalan menuju Ngarsopuro Night Market atau Pasar Malam Ngarsopuro. Pasar ini merupakan arena bagi pelaku UMKM di Solo untuk menjual produk mereka.

Menikmati malam di Pasar Malam Ngarsopuro (dok. pri).
Menikmati malam di Pasar Malam Ngarsopuro (dok. pri).
Pasar Malam Ngarsopuro hanya digelar setiap Sabtu malam dari pukul 18.00-22.00 dan menjadi tempat wisata alternatif di Solo. Malam itu tiga kali saya mengelilinginya demi merasakan suasana dan melihat aneka barang yang dijual. Ada batik, lurik, tas, pakaian, aksesoris, barang kebutuhan rumah tangga, hingga makanan. Saya pun mencicipi arem-arem super, martabak, bakso bakar, dan es puter khas Solo. 

Setelah dua jam menikmati malam di Pasar Malam Ngarsopuro, saya kembali ke hotel. Meski baru pukul 20.45 tapi saya ingin istirahat lebih awal untuk mempersiapkan perjalanan esok hari. Sebelum tidur saya mengoleskan Geliga Krim untuk memulihkan kondisi otot kaki yang sudah terasa "berat" setelah berjalan jauh. Pijatan-pijatan kecil saya lakukan di bagian betis hingga pergelangan kaki. Perlahan rasa hangat dari Geliga Krim membuat otot kaki kembali rileks. Bersamaan dengan itu saya pun terlelap dengan nyenyak.

Dari Car Free Day Hingga Taman Buku

Minggu, 17 Desember 2017, saya meninggalkan hotel pukul 06.00. Sebelum check out saya terlebih dahulu melakukan pemanasan dan peregangan otot ringan, lalu mengoleskan Geliga Krim di kedua kaki untuk mencegah rasa pegal karena kali ini akan berjalan lebih jauh.

Museum Bank Indonesia Solo di Jalan Jendral Sudirman menjadi tempat pertama yang saya capai di hari kedua itu. Dari Museum Bank Indonesia saya kemudian berjalan menyeberang ke Jalan Urip Sumohardjo untuk mencapai Pasar Gedhe Hardjonegoro. Saat tiba di depan pasar, muncul keinginan untuk sarapan di sana. Tapi selera makan langsung sirna setelah berkeliling di dalam pasar. Kondisi Pasar Gedhe saat ini ternyata cenderung kumuh, kotor dan bau.

Museum Bank Indonesia Solo (dok. pri).
Museum Bank Indonesia Solo (dok. pri).
Pasar Gedhe Hardjonegoro (dok. pri).
Pasar Gedhe Hardjonegoro (dok. pri).
Tiba di Pasar Klewer (dok. pri).
Tiba di Pasar Klewer (dok. pri).
Meninggalkan Pasar Gedhe, saya lalu menuju Car Free Day (CFD) Jalan Slamet Riyadi. Cukup lama saya berada di CFD karena berjalan mulai dari Simpang Gladhak hingga sebelum Purwosari yang jauhnya hampir 4 km. 

Bersama ribuan orang saya larut dalam suasana CFD Solo. Areanya yang luas dan nyaman memberikan ruang untuk melakukan beragam aktivitas pagi, mulai dari berolahraga, berekreasi, dan mencecap kuliner. Di sini saya pun sarapan dengan Pecel Ddeso dan Cabuk Rambak yang dijajakan Mbah Pardiyem.

Tuntas menyusuri CFD, saya bersantai di dekat halte bus Batik Solo Trans. Sambil beristirahat dan meminum es teh, saya mengoleskan Geliga Krim di kedua kaki disertai pijatan-pijatan kecil. Setelah cukup beristirahat, saya kembali melangkah. Kali ini menyusuri Jalan Perintis Kemerdekaan, Jalan Radjiman dan kawasan Penumping hingga sampailah saya di Pasar Klewer. Meski jaraknya lumayan jauh, tapi efek hangat di kaki yang ditimbulkan oleh Geliga Krim membuat saya tetap nyaman melangkah.

Larut dalam keramaian CFD Solo (dok. pri).
Larut dalam keramaian CFD Solo (dok. pri).
Berkeliling Pasar Klewer membuat mata saya senang. Saya sempat menawar selembar Batik Kesikan, tapi gagal mendapatkannya. Saat berada di lantai tiga atau lantai teratas saya mengobati haus dengan semangkuk Dawet Telasih Bu Suliyem. 

Keluar meninggalkan Pasar Klewer, saya singgah sebentar di Masjid Kraton Surakarta, lalu bergeser ke Taman Buku dan Majalah di Jalan Pakubuwono, sekitar 150 m dari Masjid Kraton. Di sini saya melihat-lihat tumpukan buku dan majalah bekas. Banyak di antaranya adalah buku lawas berbahasa Belanda dan Indonesia ejaan lama.

Masjid Kraton Surakarta (dok. pri).
Masjid Kraton Surakarta (dok. pri).
Taman Buku di Jalan Pakubuwono (dok. pri).
Taman Buku di Jalan Pakubuwono (dok. pri).
Taman Buku dan Majalah menjadi tempat terakhir yang singgahi. Dari tempat ini saya bergegas menuju Stasiun Purwosari dengan menyusuri lagi Jalan Slamet Riyadi. Mendekati pukul 14.00 langkah kaki saya mencapai stasiun. Sesaat kemudian kereta api Prameks membawa saya meninggalkan Solo. Sepanjang perjalanan saya berdiri di dalam kereta karena tak kebagian tempat duduk. Untungnya sebelum naik kereta saya sudah  mengoleskan Geliga Krim sehingga rasa lelah dan pegal di kedua kaki lumayan teratasi.

"Terapi Hangat" Geliga Krim

Dua hari menjelajah Solo dengan berjalan kaki sangat mengasyikkan bagi saya. Jika dihitung langkah kaki ini telah menempuh jarak sekitar 29 km. Melelahkan memang, tapi saya menikmatinya. Selalu ada sensasi dan pengalaman berbeda yang saya dapatkan dengan berjalan kaki.

Lagipula ini bukan pertama kali saya melakukannya. Akhir tahun 2016 saya menjelajahi Kota Malang selama 9 jam juga dengan berjalan kaki. Saya pun pernah berjalan kaki berkeliling Kota Cirebon, Semarang, dan Surabaya. 

Krim Geliga menemani saya selama menjelajah Solo (dok. pri).
Krim Geliga menemani saya selama menjelajah Solo (dok. pri).
Selama atau setelah berjalan, apalagi jarak yang ditempuh lumayan jauh, rasa pegal dan nyeri kadang datang menyerang, terutama pada bagian betis dan pergelangan kaki. Meski tenaga sebenarnya masih mampu, tapi kaki terasa "berat" dan tidak nyaman untuk melangkah lagi. Itu tandanya otot sudah terlalu lelah karena terus berkontraksi, memanjang dan memendek mengikuti intensitas gerakan. 

Jika sudah demikian saya pasti akan beristirahat. Tapi saya tidak buru-buru meminum obat penghilang rasa pegal atau nyeri karena pemulihan kondisi otot bisa saya lakukan sendiri dengan "terapi hangat" menggunakan Geliga Krim. Berdasarkan pengalaman, krim otot ini efektif mengatasi nyeri dan pegal pada otot. Efek hangatnya tidak berlebihan tapi mampu bertahan lama. Geliga Krim juga tidak lengket dan memiliki aroma yang harum sehingga nyaman digunakan.

Terapi hangat dengan Geliga Krim membuat saya nyaman dan asyik menjelajah Solo (dok. pri).
Terapi hangat dengan Geliga Krim membuat saya nyaman dan asyik menjelajah Solo (dok. pri).
Senyawa Metil Salisilat dan Mentol dalam Geliga Krim menghasilkan rasa hangat yang baik untuk proses relaksasi otot yang sebelumnya mengejang dan memendek. Kehangatan Geliga Krim juga melancarkan peredaran darah sehingga timbunan asam laktat yang dihasilkan selama otot bekerja keras bisa dialirkan lebih lancar. Rasa nyeri dan pegal pun bisa cepat teratasi. 

Karenanya saya mengandalkan Geliga Krim sebagai teman perjalanan, termasuk saat berlibur ke Solo kemarin. Berkat Geliga Krim saya bisa menjelajah Solo dengan  nyaman dan mengasyikkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun