Ukuran bakpia dari "Bakpiaku" sedikit lebih tebal dibanding dengan beberapa bakpia lain yang pernah saya nikmati. Ketebalan itu berasal dari isiannya yang padat. Sementara kulitnya tipis. Sayangnya kulit yang tipis itu juga terlalu kering sehingga mudah hancur dan terkelupas. Menurut saya ini adalah kekurangan pertama dari produk "Bakpiaku" yang terlalu menonjolkan isiannya, sementara kulitnya kurang bisa dinikmati. Padahal, kulit adalah bagian dari pembentuk cita rasa bakpia.
Bukan hanya kulitnya yang terlalu kering, isian "Bakpiaku" ternyata juga tidak terlalu istimewa. Sebagai penyuka bakpia kacang hijau, saya tidak mendapatkan kenikmatan terbaik dari "Bakpiaku". Jejak rasa khas kacang hijaunya bisa dikatakan lemah. Butirannya juga terlalu halus seperti tepung sehingga gampang membuat "seret" di kerongkongan. Padahal, kunci kenikmatan dari semua bakpia adalah pada varian kacang hijaunya. Produk bakpia, jika varian kacang hijaunya sangat mengena, maka pada varian lainnya bisa dimaklumi jika rasanya tidak sebaik varian kacang hijau. Sayangnya isian kacang hijau dari "Bakpiaku" tidak senikmat itu.
Bahkan, saat mencicipi varian rasa keju, saya mendapatkan jejak rasa yang hampir sama dengan kacang hijau, kecuali isian kejunya lebih asin. Tekstur isian yang terlalu halus sepertinya menjadi kelemahan dari semua varian "Bakpiaku" yang saya cicipi.Â
"Bakpiaku" memang menarik untuk dicicipi bagi yang suka penasaran dengan sentuhan modern pada penganan khas Jogja. Varian rasa dan isi yang ditawarkan boleh dikatakan kekinian. Tapi, "Bakpiaku" barangkali hanya menarik untuk didatangi sekali atau dua kali saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H