Siaran Jalin Merapi tidak hanya menolong korban terdampak, tapi juga bermanfaat bagi masyarakat, tim SAR, relawan dan pemberi bantuan. Saya merasakan langsung hal itu. Pada suatu malam yang gelap disertai hujan pasir, informasi dari Jalin Merapi memandu saya dan tim mengantarkan bantuan ke dua titik pengungsian Merapi di Jumoyo, Magelang.
Warga yang memantau siaran radio komunitas di setiap balai desa menjadi lebih sadar dan siap melakukan penyelamatan. Kondisi ini berbeda dengan saat erupsi Kelud pada 2007. Saat itu radio komunitas belum banyak dimanfaatkan sehingga alur komunikasi kurang baik. Warga pun harus dipaksa untuk mengungsi.
Pemanfaatan radio komunitas saat bencana erupsi Gunung Merapi dan Gunung Kelud menunjukkan bahwa radio komunitas lebih dari sekadar intrumen komunikasi biasa. Radio komunitas bisa dikatakan sebagai "radio penyelamat" karena mampu mengurangi resiko bencana dan menekan jumlah korban.
Humanis dan Efektif
Ada tiga nilai penting dari radio komunitas terkait perannya dalam mitigasi dan penanganan bencana. Pertama, radio komunitas adalah perwujudan kesadaran masyarakat untuk ikut berperan menanggulangi bencana dan mengurangi resikonya. Kesadaran masyarakat sangat penting karena selain berpotensi sebagai korban, mereka juga penyelamat pertama bagi dirinya sendiri.Â
Partisipasi masyarakat merupakan keniscayaan karena penanggulangan bencana bukan hanya tanggung jawab pemerintah dan BNPB atau BPBD di daerah, tapi tanggung jawab bersama. Mind set kebencanaan ini harus ditekankan.Â
Sekuat apapun BNPB, SAR, dan relawan bekerja, tapi jumlah dan kemampuannya tetap terbatas. Apalagi, wilayah Indonesia sangat luas dan potensi bencana yang dihadapi cukup besar. Dengan demikian dibutuhkan kekuatan lain, yaitu masyarakat yang sadar dan berdaya. Radio komunitas adalah salah satu bentuk pemberdayaan masyarakat yang dimaksud.
Kedua, radio komunitas merupakan bentuk pendekatan manajemen bencana yang lebih humanis karena berbasis komunitas lokal. Saat kejadian bencana, arahan dari pemerintah atau BNPB kadang tidak dipahami oleh masyarakat setempat. Strategi penanganan bencana juga sering berbeda dengan persepsi masyarakat sebagai komunitas lokal. Kesenjangan komunikasi tersebut dapat diatasi melalui kerja sama dengan melibatkan masyarakat secara langsung.Â
Komunikasi yang lebih humanis diharapkan mampu mengubah pandangan "tradisional" sebagian masyarakat terhadap ancaman bencana. Terkadang  masyarakat enggan untuk mengungsi karena menurut "keyakinan" mereka bencana tidak akan berdampak serius. Seringkali pula masyarakat lebih percaya pada "petunjuk" tetua kampung untuk memutuskan perlu atau tidaknya mengungsi.Â