Bulan Mei 2017, matahari masih rajin bersinar terik. Sejak pagi hingga sore sorotnya terasa menyengat. Perjalanan saya berkendara menuju Klaten, Jawa Tengah, pada Minggu (14/5/2017) siang itu pun menjadi lebih berat dari biasanya.
Jalan Jogja-Solo yang dilalui memang lurus dan relatif rata. Tapi panas yang merambat di udara serta menguap dari aspal jalanan menimbulkan rasa gerah. Keringat pun mengalir lebih banyak meski badan hingga ujung kaki dan tangan sudah dilapisi pakaian. Belum lagi ditambah debu yang diterbangkan oleh hembusan angin serta hempasan laju iring-iringan truk dan bus besar.
Beruntung saat memasuki Jalan Wedi-Klaten ada banyak penjual es dawet yang bisa disinggahi untuk melepas dahaga. Para penjual itu umumnya kaum ibu dan mereka berjualan di warung atau gubug sederhana di pinggir jalan. Kebanyakan tempat berjualanan itu hanya terbuat dari beberapa bilah bambu atau kayu dengan atap seng atau terpal. Beberapa penjual malah hanya menggunakan satu buah payung lebar dan memanfaatkan kanopi pohon di sekitarnya.
Meski jarang ada yang memasang papan nama, para penjual dawet di sepanjang Jalan Wedi-Klaten tetap mudah dikenali. Selain berada di pinggir jalan yang tak terlalu lebar, “etalase” mereka juga mencolok yaitu berupa gentong/gerabah tanah liat sebagai wadah dawet sebelum diracik.
Baru sebentar duduk dan meluruskan kaki, segelas es dawet sudah disodorkan kepada saya. Setelah menyentuh gelasnya yang dingin dan dipenuhi uap air yang mengembun, dengan cepat saya menghabiskan isinya. Kerongkongan pun seperti tanah kering yang mendadak diguyur hujan. Dingin, segar, dan saya ketagihan. Kepada Bu Aminah saya lalu meminta dibuatkan satu gelas es dawet lagi.
Sambil menikmati gelas kedua, saya mengajak ngobrol Bu Aminah tentang es dawet yang dijualnya. Wanita itu pun dengan ramah bercerita. Menurutnya dawet yang ia jual adalah dawet khas Klaten yang berbeda dengan dawet lainnya di Jawa seperti Dawet Ayu khas Banjarnegara atau Dawet Ireng khas Purworejo.
“Kalau orang sini (Klaten) nyebutnya Dawet Onggok”, katanya. Onggok adalah hasil ektraksi serat pohon Aren yang ditepungkan.
Dalam sehari Bu Aminah menghabiskan 1 kg epung onggok untuk membuat dawet. Ia tak menggunakan bahan tambahan lainnya kecuali ekstrak daun pandan untuk memberi aroma. Dawet yang dibuat dari tepung onggok cenderung bening atau sedikit tranparan.
Dawet onggok buatan Bu Aminah sedikit lebih besar dibanding dawet sejenis yang dibuat penjual lainnya. Untuk hal ini ia punya alasan sendiri. “Kalau kecil memang di gelas kelihatan banyak, tapi lembek dan kurang kenyal”, ungkapnya.
Pantas saja ketika mencicipi Es Dawet Onggok racikannya, saya mendapati tekstur dawet yang kenyal namun lembut di lidah. Rasanya cenderung tawar dan hanya sedikit jejak manis yang terlacak. Tapi saat diaduk bersama santan kelapa dan sirup gula jawa yang kental, segera terbit rasa manis yang kuat.
Selama ini di Klaten tape beras memang lebih populer dibanding tape singkong. Selain dijajakan di pasar-pasar tradisional, oleh masyarakat Klaten tape beras juga sering dijadikan kudapan untuk menjamu tamu yang berkunjung ke rumah.
Dalam beberapa tahun terakhir Pemerintah Kabupaten Klaten juga berupaya mengangkat dan mempromosikan Es Dawet Onggok sebagai salah satu kuliner khas daerahnya. Salah satunya dengan membagikan peralatan seperti gerabah atau gentong kepada masyarakat yang ingin berjualan Es Dawet Onggok. Sayangnya, menurut Bu Aminah, upaya itu kurang tepat sasaran. Beberapa warga penerima bantuan memilih menjual kembali peralatan tersebut.
Meskipun demikian, sejak 2015 penjual Es Dawet Onggok di Klaten terus bertambah, termasuk di sekitar Jalan Wedi-Klaten tempat Bu Aminah berjualan. Penjual Es Dawet Onggok juga banyak dijumpai di Cawas, Bayat, serta di beberapa ruas Jalan Jogja-Solo dan di dalam kota Klaten. Beberapa di antara mereka menyajikan Es Dawet Onggok dengan gelas. Tapi tidak sedikit pula yang menggunakan mangkuk kecil.
Meminum segelas atau dua gelas Es Dawet Onggok rasanya sudah wajib dilakukan saat melintas di Klaten mulai sekarang. Selain rasanya unik dan segar, harganya pun murah. Segelas Es Dawet Onggok buatan Bu Aminah dihargai Rp3500 sudah termasuk tambahan tape beras. Yuk ke Klaten dan buktikan segarnya Es Dawet Onggok!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H