“Jatuh cintalah kepada Tuhan, maka kau takkan pernah kecewa”. Tak ada yang menolak quote dan anjuran bijak tersebut. Mencintai Tuhan memang takkan pernah membuat seorang manusia menyesal. Dekat dengan sang pencipta membuat manusia senantiasa bahagia dan tenang hidupnya.
Tapi bagi saya, selain jatuh cinta pada Tuhan, ada satu lagi perihal "mencintai" yang nyaris takkan menghadirkan penyesalan, yaitu ketika seseorang telah jatuh cinta pada buku.
Saya bukanlah seorang kutu buku yang betah menghabiskan waktu berjam-jam hanya untuk tertunduk menatap lembaran-lembaran buku. Saya bukan ahli buku yang sanggup mengeja banyak kata dan menyimpannya di kepala untuk diceritakan lagi. Hanya saja ada perubahan yang lebih baik yang saya alami tahun ini.
Sepanjang 5 bulan pertama pada 2017, atau 6 bulan sejak Desember 2016, saya sudah membeli sekitar 30 buku dan 14 di antaranya sudah tuntas saya baca.
Untuk ukuran saya pribadi hal ini adalah rekor. Apalagi jika dibandingkan pada sepanjang 2016 saat saya hanya membeli dan membaca sekitar 5 buah buku saja!
Hampir sama dengan kebanyakan orang, kesukaan saya membaca dimulai sejak SD. Majalah Bobo dan buku-buku teks pelajaran sekolah adalah yang paling sering saya jumpai saat itu. Akan tetapi, secara perlahan kebiasaan membaca saya surut sebelum akhirnya kembali menjadi hobi ketika usia semakin dewasa.
Jumlah buku bacaan saya mulai kembali bertambah dalam 6 tahun terakhir. Mulai dari novel, catatan perjalanan, hingga buku biografi dan kisah hidup yang akhir-akhir ini semakin saya gemari.
Sekarang buku juga menjadi benda yang selalu ada di dalam tas ke manapun saya pergi. Kini aktivitas menunggu sering saya isi dengan membaca buku. Bahkan, dalam konser-konser KAHITNA yang saya tonton tahun ini, saya memilih membaca buku di depan panggung saat KAHITNA belum muncul.
Sejarah peradaban mencatat andil besar buku/kitab dalam perjalanan kemajuan dunia. Ilmu dan pengetahuan yang dimiliki para cendekiawan serta pemikir besar pada setiap zaman bisa dirasakan dampak serta manfaatnya, salah satunya karena diabadikan, disalin, dan dialihbahasakan ke dalam buku. Oleh karena itu, sukar dibayangkan bagaimana masa depan manusia dan bangsa-bangsa di dunia ini jika generasi penerusnya terasing dan menjauhkan jaraknya dari buku.
Buku adalah kolam inspirasi dan ide. Buku juga penyelaras yang baik bagi pemikiran dan imajinasi manusia. Melalui buku kita dibimbing untuk lebih peka dengan kejadian-kejadian di sekeliling kita.
Membaca buku membuat mata kita terbuka lebih lebar sehingga menatap lebih luas dunia ini. Buku menghadirkan kesadaran kita tentang Indonesia yang alamnya megah, penuh sejarah, bertabur keragaman, sekaligus punya banyak masalah.
Saat membuka halaman-halaman buku, semangat dan kesadaran kita dibangkitkan kembali. Seberapa jauh kita mengenal tempat kita lahir dan hidup?. Dan seberapa kepedulian kita terhadap permasalahan yang ada?.
Pada akhirnya buku akan mengetuk kesadaran kita untuk bersama-sama menjaga Indonesia beserta segenap isi. Membaca buku membuat manusia lebih mencintai tanah airnya. Maka, hal yang yang wajar jika orang akhirnya jatuh cinta pada buku.
Banyak orang "tahu" tapi tidak sama banyaknya dengan mereka yang bisa "memahami". Membaca buku membuat orang naik level dari hanya tahu menjadi lebih memahami. Buku mengantar pembacanya menjemput pengetahuan, kebenaran, sekaligus kemanusiaan.
Seperti "sumber gizi" yang esensial, bagi saya membaca buku bukanlah aktivitas mengeja aksara. Lebih dari itu, membaca buku adalah ikhtiar untuk menghadirkan kehidupan bersama yang lebih baik.
*cerita sebelumnya: 9 Kali ke Gramedia di 3 Kota Demia Sebuah Buku
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H