Mohon tunggu...
Hendra Wardhana
Hendra Wardhana Mohon Tunggu... Administrasi - soulmateKAHITNA

Anggrek Indonesia & KAHITNA | Kompasiana Award 2014 Kategori Berita | www.hendrawardhana.com | wardhana.hendra@yahoo.com | @_hendrawardhana

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Bencana Mengintai di Balik Godaan Kemilau Emas

10 Maret 2017   17:55 Diperbarui: 11 Maret 2017   18:00 3027
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kolam penampungan limbah dari kegiatan pengolahan batuan di pertambangan emas tradisional di Ratatotok, Minahasa Tenggara, Sulawesi Utara (dok. pri).

Mata saya terbelalak melihat kolam berwarna cokelat keruh pada sore itu. Dahi ini pun berkerut saat mengamatinya dari dekat. Warna air di kolam benar-benar pekat.

Kolam tersebut merupakan penampungan air limbah dari kegiatan pertambangan emas tradisional di Ratatotok, Kabupaten Minahasa Tenggara, Sulawesi Utara. Tidak hanya satu, ada sejumlah kolam serupa yang umumnya berada di samping gubug atau bangunan-bangunan berdinding kayu. Bangunan tersebut didirikan dan dioperasikan oleh para petambang tradisional sebagai tempat pengolahan tanah dan batuan cikal bakal emas. Beberapa bangunan terlihat berdiri di dekat bukit.

Saya juga sempat berpapasan dengan para petambang yang baru pulang dan hendak berangkat mencari emas. Di antara mereka ada yang terlihat masih berusia belasan tahun. Namun, nyali mereka pasti sudah digantungkan antara keinginan kuat mendapatkan emas atau kehilangan nyawa. Menggali batuan dan masuk ke dalam lubang tambang jelas penuh resiko. Kapan saja musibah bisa terjadi. Apalagi, mereka bekerja tanpa perlengkapan dan prosedur keselamatan yang memadai.

Para petambang umumnya bekerja berkelompok. Mereka mengendarai sepeda motor dan jeep terbuka yang dimodifikasi agar bisa melalui medan berat sekaligus mampu membawa karung-karung berisi batuan cikal bakal emas. Oleh para petambang mobil jeep itu dinamai “rambo”.

Para petambang berangkat mencari emas di lokasi pertambangan emas tradisional (dok. pri).
Para petambang berangkat mencari emas di lokasi pertambangan emas tradisional (dok. pri).
Para petambang emas tradisional banyak menggunakan mobil jeep
Para petambang emas tradisional banyak menggunakan mobil jeep
Batuan cikal bakal emas kemudian dibawa dan dikumpulkan di tempat pengolahan. Jumlahnya bisa puluhan karung. Alat yang digunakan untuk mengekstraksi emas berupa rangkaian tabung atau molen sederhana yang ukurannya tidak terlalu besar. Selanjutnya batuan dan air perak dimasukkan ke dalaman tabung-tabung tersebut. Air perak adalah sebutan yang digunakan oleh para petambang emas tradisional untuk air raksa atau merkuri.

Dengan tenaga dari mesin penggerak, rangkaian tabung akan berputar dan menghancurkan batuan di dalamnya. Jika ada emas yang terkandung, merkuri akan memisahkannya dari unsur batuan.

Kemilau emas di bumi Minahasa, khususnya di Ratatotok memang sudah lama menggoda manusia. Kegiatan pertambangan emas di tempat ini sudah ada sejak masa penjajahan Belanda. Ketika perusahaan tambang besar seperti Newmont Minahasa Raya berhenti berproduksi lebih dari 10 tahun lalu, mesin-mesin milik pertambangan emas tradisional tetap beroperasi.

Menurut informasi jumlah total emas mentah yang bisa didulang oleh para petambang tradisional di Ratatotok mencapai belasan hingga puluhan gram setiap hari. Tentu saja nilainya tidak sedikit dan sepintas menjanjikan kemakmuran  bagi para petambang. Namun, tanpa pemanfaatan dan pengelolaan keuangan yang baik, uang hasil mencari emas dengan bertaruh nyawa tak bertahan lama. Kadang sebagian uang tersebut juga harus digunakan untuk membayar hutang atau justru dibelanjakan barang-barang selain kebutuhan pokok.

Inilah yang akhirnya membuat para petambang tradisional terus mencari emas. Seolah tak punya pilihan lain, saat uangnya habis mereka kembali ke lokasi pertambangan. Mencari emas dianggap cara paling cepat untuk mendapat banyak uang.

Bangunan tempat pengolahan batuan yang diduga mengandung emas berada tak jauh dari lokasi Kebun Raya Minahasa (dok. pri).
Bangunan tempat pengolahan batuan yang diduga mengandung emas berada tak jauh dari lokasi Kebun Raya Minahasa (dok. pri).
Karung-karung berisi batuan bercampur tanah yang diduga mengandung emas mentah (dok. pri).
Karung-karung berisi batuan bercampur tanah yang diduga mengandung emas mentah (dok. pri).
Keberadaan pertambangan emas tradisional seperti di Ratatotok memang sering menjadi permasalahan yang dilematis. Masyarakat petambang tradisional menjadikannya sebagai penopang hidup. Pada saat yang sama kegiatan tersebut menghadirkan ancaman yang nyata bagi lingkungan dan masyarakat, terutama para petambang itu sendiri.

Penggunaan bahan-bahan kimia seperti merkuri atau air raksa dalam pertambangan emas tradisional tidak bisa dipantau dan dikendalikan jumlahnya. Kondisi diperparah dengan tidak adanya sistem pengolahan dan pengelolaan limbah yang dihasilkan. Limbah langsung dialirkan ke kolam-kolam terbuka sehingga langsung mengontaminasi tanah dan lingkungan sekitar.

Daya racun limbah pertambangan emas tradisional sangat berbahaya. Merkuri yang terkandung di dalamnya mudah terserap dan terakumulasi pada perairan, tanah, maupun tubuh makhluk hidup. 

Petambang emas tradisional bertelanjang dada mengolah batuan hasil tambang (dok. pri).
Petambang emas tradisional bertelanjang dada mengolah batuan hasil tambang (dok. pri).
Tak jelas apakah pertambangan emas tradisional di Ratatotok ini ilegal atau “direstui” oleh aparat dan pemerintah daerah. Terlepas dari masalah izin, kegiatan eksploitasi alam yang dilakukan tanpa memperhatikan kaidah lingkungan seperti ini semestinya menjadi perhatian serius pemerintah daerah Kabupaten Minahasa Tenggara dan Provinsi Sulawesi Utara.  

Jika kegiatan pertambangan dilakukan tanpa izin, maka pemerintah daerah dan aparat harus segera menutupnya. Selanjutnya pemerintah daerah perlu memfasilitasi para petambang emas tradisional untuk mendapatkan mata pencaharian baru dengan bekal pelatihan keterampilan. Perkebunan dan sektor wisata pantai di Ratatotok terlihat cukup potensial untuk dikembangkan.

Namun, jika pertambangan emas tradisional tersebut direstui maka pemerintah daerah wajib melakukan pengawasan dan pemantauan yang ketat, khususnya terkait penggunaan bahan kimia berbahaya. Pemerintah daerah harus memastikan tersedianya fasilitas penanganan dan pengendalian limbah yang aman. Para petambang juga harus dibina agar mematuhi peraturan lingkungan, seperti tidak menebang  pohon di hutan dan dilarang membuka lahan untuk pertambangan baru.

Mesin-mesin penghancur batuan dan pemisah emas yang menjadi tumpuan hidup petambang emas tradisional di Ratatotok (dok.pri).
Mesin-mesin penghancur batuan dan pemisah emas yang menjadi tumpuan hidup petambang emas tradisional di Ratatotok (dok.pri).
Tidak seharusnya ada kompromi yang mempertaruhkan keselamatan lingkungan hidup dan kehidupan masyarakat. Jika hanya demi kemilau emas dan godaan uang sampai membiarkan alam rusak, maka itu sama artinya mengundang bencana untuk datang mendekat. Satu hal lagi yang juga menjadi ironi, lokasi pertambangan emas tradisional di Ratatotok berada tak jauh dari Kebun Raya Minahasa yang sedang dikembangkan oleh LIPI dan Pemerintah sebagai kawasan konservasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun