Tenang dan cenderung sepi. Begitulah suasana yang saya rasakan saat memasuki Desa Ratatotok Timur, Minahasa Tenggara, Sulawesi Utara, Jumat itu. Untuk menuju ke sana saya lebih dulu mencapai Pantai Lakban di Teluk Buyat. Desa Ratatotok Timur sendiri berada di tepi Teluk Buyat.Â
Jarak perkampungan terdekat tak sampai 200 meter dari bibir pantai sehingga beberapa rumah warga sudah terlihat dari pantai. Dari pantai itu pula saya melihat sebuah bangunan masjid yang terlihat menonjol di antara rumah-rumah warga yang lebih kecil dan sederhana. Sepintas bentuk masjidnya tak berbeda dengan masjid lain yang lazim dijumpai di Indonesia. Atapnya berbentuk limas bersusun dua dengan sebuah kubah kecil berada di tengah-tengah atap. Namun, ada yang menarik dari kubah tersebut. Puncak atap kubah masjid berupa tanda salib. Bagaimana mungkin rumah ibadah umat Islam memuat simbol agama lain?.
Ternyata apa yang saya lihat dari pantai hanyalah efek arah pandang. Sebenarnya tak ada salib yang tertancap di atas atap masjid tersebut. Sebaliknya, setelah tiba di halaman masjid saya justru dihadapkan pada sesuatu yang sangat menakjubkan. Masjid An-Namira yang semula terlihat seperti memiliki salib di atapnya, ternyata berdiri berdampingan dengan sebuah rumah ibadah lainnya, yaitu Gereja Masehi Injili. Tanda salib yang terlihat adalah bagian dari gereja tersebut.
Tak hanya berdampingan, masjid dan gereja yang dibangun pada 2004 tersebut juga hampir saling menghadap. Salah satu pengeras suara Masjid An-Namira menghadap ke arah gereja. Bahkan, kubah masjid An-Namira berhadapan dengan menara salib Gereja Masehi Injili. Itulah sebabnya jika dilihat dari arah tertentu puncak kubah masjid seperti tanda salib.
Masjid An-Namira dan Gereja Masehi Injili yang berdiri kokoh berdampingan di tengah kesunyian suasana Teluk Buyat bukanlah tanpa makna. Kedua bangunan tersebut menyampaikan pesan kerukunan yang tak ternilai.
Tingkat toleransi kehidupan beragama di Desa Ratatotok Timur memang kuat. Sejak lama umat Islam dan Kristen di desa tersebut memupuk rasa saling pengertian. Perbedaan keyakinan sama sekali tak menjadi penghalang untuk merajut kebersamaan.
Menurut Salamun dan Abidin, dua pemuka agama Islam yang saya temui seusai sholat Jumat di Masjid An-Namira waktu itu, umat Islam dan Kristen di Ratatotok Timur sejak dulu sudah saling menghormati satu sama lain. Hampir tak pernah ada gesekan yang dipicu masalah agama di desa tersebut. Masjid dan gereja yang berdampingan sangat dekat dan berbagi halaman tak pernah dipersoalkan oleh masyarakat. Jika di hari yang sama ada kegiatan ibadah di masjid dan gereja dalam waktu yang hampir bersamaan, masing-masing umat sudah mengerti apa yang harus dilakukan.Â
Misalnya, masjid akan mengecilkan volume pengeras suara dan sebaliknya ibadah di gereja akan diusahakan selesai sebelum waktu sholat. Semua dilakukan dengan penuh kesadaran. Saat hari raya Idul Adha dan Idul Fitri, masyarakat yang beragam Kristen juga mendatangi umat islam dan berkumpul di halaman masjid An-Namira untuk bersilaturahmi. Sebaliknya saat hari raya Natal atau Paskah, umat kristen yang datang ke gereja Masehi Injili leluasa menggunakan halaman hingga ke depan masjid.Â
Selain perbedaan keyakinan, warga masyarakat Ratatotok timur juga berasal dari berbagai suku. Desa tersebut didiami beragam suku seperti Gorontalo, Minahasa, Bugis, Bolaang Mongondow, dan Jawa. Meskipun demikian tali persaudaraan di antara mereka cukup kuat.Â