Mohon tunggu...
Hendra Wardhana
Hendra Wardhana Mohon Tunggu... Administrasi - soulmateKAHITNA

Anggrek Indonesia & KAHITNA | Kompasiana Award 2014 Kategori Berita | www.hendrawardhana.com | wardhana.hendra@yahoo.com | @_hendrawardhana

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Ketika Sate Klathak Khas Yogyakarta Bertransformasi Lebih Kekinian

21 Januari 2017   10:37 Diperbarui: 21 Januari 2017   11:06 1016
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sate Klathak kekinian di Warung Nglathak. Daging kambingnya dipilih langsung dari peternak di Bantul dan nasinya berasal dari beras organik petani di Magelang (dok. pribadi).

Mulut Mas Ken (kompasianer Ken Shara Izda) tak berhenti mengunyah. Di depannya tersaji hidangan sate beserta nasi, kuah gulai, dan beberapa pelengkap lainnya.  Cuaca dingin akibat gerimis yang masih turun di luar seolah melipatgandakan nafsu makannya. Selain itu, melihat air muka mas Ken dan caranya bersantap yang penuh semangat, sate yang dimakannya sepertinya memang istimewa.

“Enak!” Itulah jawaban Mas Ken saat ditanya kesannya menikmati sate klathak di Warung Nglathak, pada Selasa (17/1/2017) sore kemarin. Saat itu kami berdua dan 11 Kompasianer Jogja (Kjog) lainnya sedang dolan kuliner di tempat makan yang tergolong masih baru tersebut.

Warung Nglathak beralamat di Jalan Gambiran Karangasem Baru, Gang Seruni No. 7, Kabupaten Sleman, DIY. Jaraknya sekitar 300 meter dari Fakultas Teknik UNY dan Fakultas Peternakan UGM. Dari sisi utara kedua kampus itu, gapura Jalan Gambiran Karangasem Baru sudah terlihat. Ikuti saja jalannya hingga menjumpai spanduk merah bertuliskan “Nglathak Sate Klathak Kekinian”. Gang Seruni berada di sisi kanan spanduk tersebut dan Warung Nglathak hanya berjarak sekitar 40 meter dari mulut gang. Jika spanduk tersebut nantinya dilepas, papan nama Pesantren Sulaimaniyah yang berada di pinggir Jalan Gambiran dan ujung Gang Seruni  bisa menjadi patokan. 

Lokasi Warung Nglathak cukup dekat dengan kampus UGM dan UNY (dok. pribadi).
Lokasi Warung Nglathak cukup dekat dengan kampus UGM dan UNY (dok. pribadi).
Pemiliknya, seorang pria berusia 33 tahun bernama Muhammad Subroto atau Mas To, mengemukakan bahwa Warung Nglathak sudah dibukanya sejak 27 Mei 2015. Saat itu hanya berupa warung tenda kaki lima di daerah Ngampilan, utara kawasan Malioboro. Namun, sejak 3 Desember 2016 Warung Nglathak menempati lokasinya yang baru saat ini.

Brand “Nglathak” sengaja dipilih untuk membuatnya berbeda dari kebanyakan warung sate yang berlabel nama penjualnya. Selain itu, “Nglathak” juga mewakili sebutan untuk aktivitas berkumpul sambil menyantap sate klathak.

Keberadaan Warung Nglathak di kawasan kampus UGM dan UNY ini bisa dikatakan tidak biasa karena sate klathak bukanlah makanan yang populer di kalangan warga kampus, terutama mahasiswa. Meski dianggap sebagai salah satu kuliner khas Yogyakarta, sate klathak lebih umum dijumpai di kawasan selatan Kota Yogyakarta, seperti Bantul. Menyantap sate klathak juga belum menjadi budaya makan sehari-hari mahasiswa atau anak muda. 

Warung Nglathak menyulap bangunan yang awalnya rumah kos menjadi tempat makan yang unik (dok. pribadi).
Warung Nglathak menyulap bangunan yang awalnya rumah kos menjadi tempat makan yang unik (dok. pribadi).
Interior Warung Nglathak dipenuhi wallpaper dan lampu yang membuat suasanya semakin nyaman (dok. pribadi).
Interior Warung Nglathak dipenuhi wallpaper dan lampu yang membuat suasanya semakin nyaman (dok. pribadi).
Warung Nglathak menyediakan buku bacaan di setiap meja untuk menemani pengunjung selama bertandang. Membaca tak ubahnya dengan makan, sama-sama menghidupi (dok. pribadi).
Warung Nglathak menyediakan buku bacaan di setiap meja untuk menemani pengunjung selama bertandang. Membaca tak ubahnya dengan makan, sama-sama menghidupi (dok. pribadi).
Namun, Mas To punya alasan sendiri membuka Warung Nglathak di kawasan kampus. Baginya keberadaan warung sate klathak yang masih jarang sesungguhnya adalah peluang. Sementara segmen mahasiswa untuk jenis kuliner sate klathak dianggap potensial. Setidaknya hal itu mulai terlihat setelah beberapa bulan Warung Nglathak buka di Jalan Gambiran. Beberapa mahasiswa bertandang ke warungnya. Sekali datang mereka biasanya bertiga atau berempat. Sementara di akhir pekan pengunjung sering datang bersama keluarga.

Demi mendekatkan diri dengan anak muda dan mahasiswa, Warung Nglathak pun bertransormasi. Sate Klathak Kekinian diangkat menjadi label untuk menarik perhatian. Tempat berjualan hingga penyajian sate klathak diatur sedemikian rupa agar lebih sesuai dengan selera kekinian. Mas To menyebut Warung Nglathak miliknya kini lebih “ramah" anak muda dengan menyuguhkan sesuatu yang “instagramable”.

Ruang makan Warung Nglathak yang sebenarnya tidak terlalu besar dibuat senyaman mungkin dengan menempatkan sejumlah ornamen. Beberapa lampu ditempel di dinding maupun langit-langit ruangan. Ada juga dibungkus dengan anyaman rotan untuk menambah kesan estetis. Fasilitas internet dengan akses wifi pun disediakan.

Di dalam ruangan terpasang wallpaper berukuran besar berwarna merah yang bertuliskan sejumlah kutipan menarik. Sementara beberapa potongan kayu bertuliskan nasihat, pengingat, dan ajakan, ditempel di dekta jendela. 

Meja dan kursinya yang dipilih  berwarna polos yang memperlihatkan guratan alur serat kayu. Untuk memberikan pengalaman tersendiri kepada pengunjung, pada setiap meja terdapat kantung kain berisi buku. Harapannya buku-buku tersebut bisa dibaca oleh pengunjung sambil menunggu pesanannya tiba atau di sela-sela bersantap. Warung Nglathak ingin sekalian mengajak masyarakat melakukan hal-hal positif, seperti membaca.

Warung Nglathak juga menggratiskan harga bagi pengunjung yang datang untuk keperluan berbuka puasa Senin-Kamis. Mereka yang dalam sehari bisa mengaji Al Quran sebanyak dua juz juga bisa makan gratis di Warung Nglathak. Menurut cerita Mas To, sudah ada beberapa mahasiswa yang datang untuk berbuka puasa dan bersantap secara cuma-cuma.

Agar lebih ramah lingkungan, daging sate dibakar dengan briket tempurung kelapa (dok. pribadi).
Agar lebih ramah lingkungan, daging sate dibakar dengan briket tempurung kelapa (dok. pribadi).
Warung Nglathak mengandalkan tiga varian sate klathak sebagai signature dish. Ada sate klathak original, sate klathak manis, dan sate klathak mozarela. Setiap porsinya disantap bersama nasi, kuah gulai, serta pelengkap berupa irisan cabe rawit, kobis dan tomat. Khusus sate klathak manis diberi tambahan kecap yang disajikan terpisah. Sementara sate klathak mozarela, dagingnya berlumur keju leleh yang gurih.

Minuman andalannya adalah Teh Biru dan Yoghurt Moringa. Teh biru diracik dari Bunga Telang yang dikeringkan. Sedangkan Yoghurt Moringa dibuat dengan mencampur yoghurt susu sapi dengan serbuk daun kelor yang memiliki sensasi serupa rasa mactha.

Sore itu saya memilih Sate Klathak Original dan segelas Teh Biru. Karena pembakaran sate dilakukan di samping ruang makan, proses pembuatannya pun bisa dilihat. Daging yang digunakan berasal daging domba betina berusia lima tahun atau lebih. Pemilihan daging domba yang sudah tua dimaksudkan untuk menjaga populasi jenisnya. Jika terus domba atau kambing betina yang masih muda terus disembelih, populasi hewan tersebut akan semakin berkurang karena domba dan kambing betina yang mudah semestinya dibiarkan beranak lebih dulu.

Teh Biru seduhan bunga Telang. Pigmen biru dalam kelopak bunga tersebut mengandung antioksidan yang baik bagi tubuh (dok. pribadi).
Teh Biru seduhan bunga Telang. Pigmen biru dalam kelopak bunga tersebut mengandung antioksidan yang baik bagi tubuh (dok. pribadi).
Teh Biru berubah warna menjadi ungu setelah ditetesi air jeruk nipis (dok. pribadi).
Teh Biru berubah warna menjadi ungu setelah ditetesi air jeruk nipis (dok. pribadi).
Daging tersebut kemudian diiris kotak dan ditusuk menggunakan besi jeruji lazimnya sate klathak. Arang yang digunakan untuk membakar adalah jenis briket yang terbuat dari tempurung kelapa. Selain lebih ramah lingkungan, nyala panas pembakaran briket juga bertahan lebih lama hingga dua jam.

Selagi dibakar, tusukan daging diputar beberapa kali agar matang secara merata. Tak ada bumbu yang ditambahkan selama dibakar. Saat disajikan pun tampilannya polos. Hanya warnanya yang berubah menjadi kecoklatan dengan sedikit jejak hitam akibat gosong.

Potongan dagingnya lumayan besar. Saat digigit teksturnya sangat empuk meski daging yang digunakan berasal domba yang sudah tua. Selain karena penggunaan jeruji besi yang meratakan panas hingga ke dalam daging, rupanya Mas To sudah memberi perlakuan khusus di dapur sebelum daging dibakar.

Menu olahan daging kambing di Warung Nglathak. Selain Sate Klathak, ada juga gulai, tengkleng, dan tongseng (dok. pribadi).
Menu olahan daging kambing di Warung Nglathak. Selain Sate Klathak, ada juga gulai, tengkleng, dan tongseng (dok. pribadi).
Tengkleng (atas) dan Tongseng (bawah) dengan tambahan irisan sayur dan cabe rawit siap meneror lidah (dok. pribadi).
Tengkleng (atas) dan Tongseng (bawah) dengan tambahan irisan sayur dan cabe rawit siap meneror lidah (dok. pribadi).
Tidak usah khawatir terganggu dengan bau prengus karena aroma tersebut tidak tercium sama sekali. Menurut Mas To kuncinya adalah pada perlakukan domba atau kambing saat dipelihara hingga disembelih. Warung Nglathak memilih daging dari peternak di Bantul sehingga bisa memastikan kambing dipelihara dengan baik dan disembelih secara benar.

Seporsi sate klathak yang disantap dengan kuah gulai yang ringan, serta tambahan potongan cabe rawit, tomat dan kobis sungguh merupakan kenikmatan. Apalagi bagi saya yang sudah setahun lebih tidak menyantap daging kambing. Bukan karena pantangan tapi karena saya sedang berusaha mengutamakan sayur dan buah. Sebelumnya saya bahkan seorang penikmat sate kambing. Jadi bisa dibayangkan kenikmatan yang saya rasakan saat menyantap sate klathak ini seperti seseorang yang melepas rindu dengan sosok yang dinantikannya selama bertahun-tahun. Kenikmatannya semakin terasa saat potongan daging kambingnya disuap bersama-sama nasi yang ditanak dari beras organik yang didatangkan oleh Warung Nglathak dari petani di Magelang. 

Signature dish Warung Nglathak adalah Sate Klathak yang disajikan bersama kuah gulai yang ringan (dok. pribadi).
Signature dish Warung Nglathak adalah Sate Klathak yang disajikan bersama kuah gulai yang ringan (dok. pribadi).
Sate Klathak dengan daging yang sangat empuk dan tidak menyisakan aroma prengus sama sekali (dok. pribadi).
Sate Klathak dengan daging yang sangat empuk dan tidak menyisakan aroma prengus sama sekali (dok. pribadi).
Sate Klathak dengan balutan mozarela yang lembut dan gurih menghadirkan pengalaman rasa tersendiri (dok. pribadi).
Sate Klathak dengan balutan mozarela yang lembut dan gurih menghadirkan pengalaman rasa tersendiri (dok. pribadi).
Setelah puas menghabiskan sepiring sate, giliran mencoba Teh Biru yang unik. Warna biru berasal dari antosianin atau pigmen warna pada Bunga Telang. Teh Biru dibuat dengan menyeduh Bunga Telang yang sudah dikeringkan. Bunga kering tersebut didapatkan dari pembudidaya Bunga Telang di Kediri. 

Teh Biru bisa dinikmati hangat atau ditambahkan es. Jika tanpa gula rasanya akan tawar. Warung Nglathak menyertakan potongan jeruk nipis sebagai pendamping Teh Biru. Saat perasan jeruk nipis ditambahkan ke dalam Teh Biru dan diaduk, warna biru seketika akan berubah menjadi ungu. Reaksi asam basa antara perasan jeruk nipis dengan komponen kimia warna Bunga Telang menjadi pemicunya. Meski demikian, Teh Biru yang sudah berubah warna tetap aman diminum. Kandungan antioksidannya juga bermanfaat bagi tubuh. Jejak masam jeruk nipis dan dinginnya es batu membuatnya semakin terasa menyegarkan. 

Warung Nglathak membaca Sate Klathak lebih dekat dengan anak muda sekaligus memberi nilai tambah pada identitas kuliner khas Yogyakarta (dok. pribadi).
Warung Nglathak membaca Sate Klathak lebih dekat dengan anak muda sekaligus memberi nilai tambah pada identitas kuliner khas Yogyakarta (dok. pribadi).
Racikan daging dari peternak Bantul dan nasi dari petani Magelang, ditemani Teh Biru yang bahan dasarnya didatangkan dari Kediri, menjadikan sajian Sate Klathak di Warung Nglathak penuh cita rasa lokal. Kreativitas penyajiannya yang menarik dan tempatnya unik memberikan nilai tambah baru pada identitas Sate Klathak.

Sebagai cemilan pembuka dan pencuci mulut, ada american risoles, pieces of pastry, dan homemade ice cream yang bisa dipilih. Soal harga, Warung Sate Nglathak bisa dikatakan terjangkau. Di daftar menunya harga termurah adalah Rp3000 dan termahal Rp20000. Jadi, jIka sedang berada di Yogyakarta, tak ada salahnya mencicipi Sate Klathak kekinian ini. Sekali lagi markasnya ada di jalan Gambiran Karangasem Baru, Gang Seruni, No. 7, yang buka mulai pukul 12.00 WIB-21.00 WIB setiap hari kecuali hari Jumat. 

Cerita terkait: Kisah Mas To, Berdakwah dan Memberdayakan Potensi Lokal dengan Sate Klathak

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun