Mohon tunggu...
Hendra Wardhana
Hendra Wardhana Mohon Tunggu... Administrasi - soulmateKAHITNA

Anggrek Indonesia & KAHITNA | Kompasiana Award 2014 Kategori Berita | www.hendrawardhana.com | wardhana.hendra@yahoo.com | @_hendrawardhana

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Membahagiakan Anak Indonesia, Inspirasi dari Malang dan Yogyakarta

3 Januari 2017   11:28 Diperbarui: 4 Januari 2017   06:12 859
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Anak-anak bermain di Alun-alun Malang dan Rumah KAGEM Yogyakarta. Ketersediaan ruang publik yang ramah anak bisa efektif mencegah kekerasan terhadap anak (Dokumentasi pribadi)

Engeline, namanya masih kuat melekat di pikiran saya setiap kali mendengar dan bicara tentang kekerasan terhadap anak. Bukan karena ia satu-satunya anak korban kekerasan di negeri ini. Tapi hati siapa yang tidak sedih dan teriris saat mengetahui hidup Engeline berakhir dengan cara yang sangat sadis. Gadis kecil itu meninggal di tangan ibu tirinya sendiri dan jenazahnya dikubur di dekat kandang ayam di sekitar rumahnya. Apalagi, sebelum meninggal Engeline telah sering ditelantarkan dan mendapat kekerasan fisik.

Kisah pilu Engeline hanyalah bagian kecil dari gunung es kekerasan terhadap anak yang telah menjadi fenomena sosial memprihatinkan di negeri ini. Komisi Perlindungan Anak Indonesia atau KPAI mencatat sepanjang 2011 sampai 2014 jumlah kekerasan terhadap anak terus meningkat dari 2178 kasus menjadi 5066 kasus. Sampai April 2015 jumlahnya bahkan sudah mencapai 6006 kasus. Di sisi lain laporan UNICEF pada 2015 memperlihatkan 40% anak usia 13-15 tahun di Indonesia pernah mengalami kekerasan secara fisik sedikitnya satu kali dalam setahun. 

Angka dan data di atas hanyalah yang tercatat oleh lembaga terkait termasuk penegak hukum. Jumlah yang sebenarnya diyakini jauh lebih tinggi. Hal itu dikarenakan kekerasan terhadap anak bisa terjadi secara luas di perkotaan hingga pedesaan. Kekerasan terhadap anak juga bisa dilakukan oleh siapapun termasuk orang tua, kerabat, teman sebaya, hingga guru. Lingkungan yang selama ini dianggap paling aman dan menjadi sumber perlindungan seperti keluarga dan sekolah ternyata tak bebas dari ancaman. Hasil pemantauan KPAI pada 2012 menunjukkan bahwa 91% anak menjadi korban kekerasan di lingkungan keluarga, 87,6% di sekolah, dan 17,9% di lingkungan masyarakat. 

Bentuk kekerasan terhadap anak juga beraneka rupa. Kekerasan fisik adalah yang paling sering terjadi. Anak dipukul, ditendang, ditampar, dilukai, dijambak, dijewer, hingga dijemur di bawah panas matahari. Akibatnya bukan hanya rasa sakit dan luka, tapi juga memicu trauma mendalam pada diri sang anak. Bahkan, tak jarang sang korban meninggal dunia.

Selanjutnya adalah kekerasan seksual, yaitu perbuatan pemaksaan hubungan seksual, termasuk pencabulan. Kejahatan seksual pada anak seringkali tidak diawali dengan kekerasan karena pelaku membohongi atau merayu dengan janji-janji yang menyenangkan seperti hadiah sehingga korban tidak merasa dipaksa. Kekerasan seksual terhadap anak sering dilakukan oleh orang dekat yang dikenal seperti anggota keluarga, tetangga, dan guru.

Anak juga dapat mengalami kekerasan psikis, yaitu hinaan, makian, ancaman, dan perlakuan diskriminasi. Kekerasan psikis membuat anak merasa tidak nyaman, ketakutan,  dan kehilangan percaya diri untuk bertindak. 

Bentuk kekerasan anak berikutnya adalah penelantaran. Orang tua atau wali yang seharusnya mengasuh dan memberikan penuh kasih sayang, tidak menjalankan tanggung jawabnya. Sayangnya penelantaran seringkali tidak disadari dan dianggap bukan kekerasan.

Bullying atau intimidasi juga termasuk kekerasan terhadap anak. Aksi bully cukup sering dialami oleh anak-anak dan terjadi di mana saja termasuk saat sedang bermain atau berada di sekolah karena pelaku bullying seringkali adalah teman sepermainan. Bullying bisa berdampak sangat serius karena menyebabkan trauma dan tekanan jiwa pada sang anak. Bullying juga bisa disertai kekerasan fisik dan psikis.

***

Negara bukannya tanpa usaha. Berbagai upaya telah dilakukan termasuk membuat peraturan dan kebijakan untuk melindungi anak. Bahkan, belum lama ini pemerintah menerbitkan Perppu Nomor 1 Tahun 2016 tentang perlindungan anak untuk mendorong penegak hukum memberikan hukuman berat kepada pelaku kekerasan terhadap anak, termasuk dengan menerapkan hukuman kebiri. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) hingga Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) juga tak kenal lelah mengatasi kekerasan terhadap anak.

Namun, kekerasan masih terus terjadi dan berulang. Tak hanya jumlahnya yang meningkat, kekerasan terhadap anak juga semakin brutal. Contoh terkini adalah peristiswa penyerangan terhadap tujuh siswa SD Negeri 1 Seba, Kabupaten Sabu Raijua, Nusa Tenggara Timur, pada Selasa 13 Desember 2016. Di dalam sekolah ketujuh siswa itu ditikam oleh seorang pria menggunakan pisau hingga mengalami luka di leher, kaki, dan tangan.

Oleh karena itu, kekerasan terhadap anak di Indonesia sesungguhnya adalah krisis yang hanya akan dapat ditangani jika semua unsur masyarakat turun tangan. Melindungi anak tidak cukup hanya dilakukan oleh negara atau penegak hukum. Pemerintah daerah dan masyarakat sebagai lingkungan terdekat juga harus ikut berperan aktif, terutama melalui upaya-upaya pencegahan dan memberikan hak-hak anak.

Alun-alun Malang, contoh ruang publik yang berpihak pada anak (Dokumentasi pribadi).
Alun-alun Malang, contoh ruang publik yang berpihak pada anak (Dokumentasi pribadi).
Arena permainan anak di Alun-alun Malang. Anak-anak leluasa bermain didampingi dan diawasi oleh orang tua mereka (Dokumentasi pribadi).
Arena permainan anak di Alun-alun Malang. Anak-anak leluasa bermain didampingi dan diawasi oleh orang tua mereka (Dokumentasi pribadi).
Seorang ibu bersantai dengan anaknya di Alun-alun Malang. Ruang publik sangat dibutuhkan untuk membangun kedekatan antara orang tua dan anak sehingga memperkecil potensi kekerasan terhadap anak (Dokumentasi pribadi).
Seorang ibu bersantai dengan anaknya di Alun-alun Malang. Ruang publik sangat dibutuhkan untuk membangun kedekatan antara orang tua dan anak sehingga memperkecil potensi kekerasan terhadap anak (Dokumentasi pribadi).
Upaya yang dilakukan pemerintah Malang dengan menjadikan alun-alun sebagai tempat ramah anak patut ditiru. Alun-alun Malang menjadi tempat yang nyaman untuk berkumpul sekaligus menyenangkan untuk anak-anak bermain dan menyalurkan bakat kreatif mereka. Sarana permainan seperti ayunan hingga trek skateboard yang tersedia menjadi favorit anak-anak.

Selain itu mereka bisa bermain dengan burung merpati. Orang tua pun bisa mendampingi sekaligus mengawasi anak-anaknya bermain. Agar semakin aman para petugas keamanan dan Satpol PP selalu berada di sekitar alun-alun. Senyum dan tawa anak-anak pun menjadi pemandangan yang lumrah dijumpai di alun-alun Malang. 

Memang apa yang diterapkan di alun-alun Malang terlihat biasa. Namun, kenyataannya  selama ini hal tersebut sering dilupakan dan jarang ditemukan di ruang publik lain yang sekadar menjadi tempat berkumpul tanpa memperhatikan hak serta kebutuhan anak. Padahal, salah satu pemicu kekerasan terhadap anak, baik yang dilakukan oleh orang dewasa maupun sesama anak adalah kurangnya ruang publik yang layak.

Anak-anak yang tidak mendapatkan ruang berekspresi cenderung melakukan pelampiasan dengan berbuat nakal sehingga timbul potensi melakukan kekerasan kepada teman sepermainan. Ruang publik yang nyaman juga bermanfaat bagi orang tua untuk mempererat hubungan dengan sang anak. Orang tua bisa memanfaatkannya sebagai tempat rekreasi untuk mengurai rasa penat sehingga memperkecil kemungkinan pelampiasan emosi kepada anak. 

Alun-alun Malang adalah contoh nyata keberpihakan pemerintah daerah dan masyarakat kepada anak-anak. Tempat ini berusaha menciptakan kebahagiaan dalam diri anak dan orang tua yang merupakan salah satu kunci penting dalam pencegahan kekerasan terhadap anak.

Seorang anak bermain skateboard di arena yang tersedia di Alun-alun Malang (Dokumentasi pribadi).
Seorang anak bermain skateboard di arena yang tersedia di Alun-alun Malang (Dokumentasi pribadi).
Upaya memberikan hak-hak anak sekaligus menjauhkannya dari kekerasan juga dilakukan oleh seorang Ibu bernama Susi Farid di Yogyakarta. Pada 2012 wanita yang biasa disapa Bu Ayik tersebut mendirikan Rumah Belajar Kreatif Kaki Gunung Merapi (KAGEM) di Jetis Baran, Kecamatan Ngaglik, Kabupaten Sleman. Nalurinya sebagai ibu   merasa khawatir melihat anak-anak SD di sekitar tempat tinggalnya banyak menghabiskan waktu tanpa pendampingan yang cukup dari orang tua. Anak-anak itu sebagian besar berasal dari keluarga buruh, petani, dan tukang cuci. Orang tua mereka umumnya juga berpendidikan rendah.

Kondisi tersebut tidak menguntungkan bagi anak-anak karena mereka menjadi rentan ditelantarkan. Selain itu, anak-anak berpotensi mengalami kekerasan jika orang tua mereka tidak mampu mengelola tekanan hidup dan pekerjaan yang harus dihadapi setiap hari sehingga melampiaskannya kepada sang anak.

Oleh karena itu KAGEM berusaha mendampingi kegiatan belajar anak-anak di luar jam sekolah. Dengan sejumlah relawan mahasiswa, Bu Ayik menjadikan KAGEM sebagai teman belajar yang menyenangkan.  Kini ada sekitar 50 anak SD yang terdaftar di KAGEM. Mereka adalah siswa kelas 1-6 dari sejumlah sekolah di sekitar KAGEM.

Susi Farid atau Bu Ayik menggagas dan mendirikan KAGEM sebagai rumah belajar sekaligus ruang yang ramah bagi anak-anak dari keluarga marginal di sekitar tempat tinggalnya di Yogyakarta (Dokumentasi pribadi).
Susi Farid atau Bu Ayik menggagas dan mendirikan KAGEM sebagai rumah belajar sekaligus ruang yang ramah bagi anak-anak dari keluarga marginal di sekitar tempat tinggalnya di Yogyakarta (Dokumentasi pribadi).
Seorang anak sedang belajar di KAGEM didampingi oleh relawan mahasiswa (Dokumentasi pribadi).
Seorang anak sedang belajar di KAGEM didampingi oleh relawan mahasiswa (Dokumentasi pribadi).
KAGEM juga berusaha menyediakan ruang bermain, bersosialisasi sekaligus berkreasi untuk anak-anak. Keterbatasan ruang publik yang ramah anak mendorong Bu Ayik menyulap tanah kosong di dekat rumahnya sebagai tempat belajar, pondok bacaan sekaligus taman bermain. Ia mengaku bercita-cita menjadikan KAGEM sebagai tempat yang ramah dan nyaman untuk anak-anak.

Menciptakan kebahagiaan anak memang menjadi prinsip utama KAGEM. Oleh karena itu di KAGEM semua anak bisa belajar dengan cara masing-masing. Anak-anak juga bisa datang kapan saja untuk bermain. Namun, mereka tetap diajarkan untuk bersikap baik dan sopan. Dalam kebebasan anak-anak dibimbing untuk bergaul secara baik dan menghargai teman.

Lebih dari 4 tahun berdiri, keberadaan KAGEM semakin dirasakan manfaatnya. Prestasi anak-anak di sekolah membaik. Mereka tumbuh dengan sikap positif dan terjaga dari pergaulan yang salah serta tindakan kekerasan. Sekolah dan para orang tua pun kini menjadikan KAGEM sebagai mitra dalam memenuhi hak-hak anak.

***

Kebutuhan dan hak dasar anak adalah mendapatkan pengasuhan, perhatian, serta perlindungan.  Untuk memenuhinya bukan hanya menjadi tugas negara dan orang tua. Semua anggota masyarakat juga perlu berkontribusi.

Alun-alun Malang dan KAGEM tidak sekadar mencerminkan kepedulian dan keberpihakan terhadap anak. Tetapi juga diharapkan mampu membangun kesadaran dan menjadi inspirasi bagi setiap anggota masyarakat untuk ikut bergerak menciptakan kebahagiaan bagi anak-anak. 

Di KAGEM anak-anak terhindar dari penelantaran. Mereka bisa belajar, bermain dan bersosialisasi dengan baik (Dokumentasi pribadi).
Di KAGEM anak-anak terhindar dari penelantaran. Mereka bisa belajar, bermain dan bersosialisasi dengan baik (Dokumentasi pribadi).
Masyarakat, komunitas, serta pemerintah daerah harus bekerja sama menyediakan lebih banyak ruang publik yang ramah anak di daerahnya masing-masing. Ruang  ramah anak tidak harus besar. Tapi bisa dibuat kecil-kecil di daerah atau pemukiman yang padat.  Ruang publik ramah anak juga bisa dikembangkan dari tempat yang sudah ada seperti alun-alun, taman kota serta taman bermain dan belajar. Semua itu sangat bermanfaat dan efektif untuk mencegah kekerasan terhadap anak. 

Anak adalah awal mata rantai yang sangat menentukan kehidupan suatu bangsa di masa depan. Mereka adalah pewaris dan pemilik negeri indah ini. Oleh karena itu, sudah seharusnya kita membuat anak-anak Indonesia bahagia dengan melindunginya dari segala bentuk kekerasan. 

Facebook      : Hendra Wardhana
Twitter           : @_hendrawardhana

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun