Mohon tunggu...
Hendra Wardhana
Hendra Wardhana Mohon Tunggu... Administrasi - soulmateKAHITNA

Anggrek Indonesia & KAHITNA | Kompasiana Award 2014 Kategori Berita | www.hendrawardhana.com | wardhana.hendra@yahoo.com | @_hendrawardhana

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Asam Manis Non-Tunai, Uang Elektronik Jangan Setengah Hati

15 Desember 2016   16:34 Diperbarui: 15 Desember 2016   16:43 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jajan Soto kini bisa dengan uang elektronik (dok. pri).

Pengalaman saya bersentuhan dengan uang elektronik (e-money) dimulai pada 2013. Saat itu saya mendapatkan BNI Prepaid secara cuma-cuma sebagai nasabah bank tersebut. Melihat bentuknya saya sempat menganggap uang elektronik tak beda dengan kartu debet. Namun, setelah menggunakannya pertama kali saya segera mengerti perbedaannya sekaligus memahami manfaatnya. 

Setahun kemudian saya menggunakan kartu uang elektronik lainnya yaitu Gramedia Card-Flazz yang merupakan co-branding Flazz BCA dengan Penerbit Gramedia. Gramedia Card-Flazz cukup sering saya keluarkan dari dompet karena banyak kebutuhan yang bisa saya penuhi dengan menggunakannya. Supermarket tempat saya biasa belanja bulanan, toko buku favorit, gerai makanan di bandara dan stasiun, serta beberapa cafe yang sering saya datangi menerima pembayaran dengan Gramedia Card-Flazz. Bahkan seringkali mendapatkan diskon karena membayar secara non-tunai.

Saya juga menggunakan Gramedia Card-Flazz setiap kali menumpang Trans Jogja. Dengannya saya bisa menghemat Rp900 dari tarif yang jika dibayar secara tunai sebesar Rp3500. Bahkan pada saat-saat tertentu, saya cukup membayar Rp1000 dengan uang elektronik tersebut. Karena sering menggunakan Trans Jogja, saya bisa menghemat saldo uang elektronik lebih banyak.

BNI Tapcash dan Gramedia Card-Flazz, dua kartu uang elektronik yang saya gunakan saat ini (dok. pri).
BNI Tapcash dan Gramedia Card-Flazz, dua kartu uang elektronik yang saya gunakan saat ini (dok. pri).
Pada 2015 saya mengganti BNI Prepaid dengan BNI Tapcash. Saat itu BNI Prepaid sudah tidak berlaku. Meski berbeda nama tapi keduanya memiliki fungsi dan manfaat yang sama sebagai uang elektronik. BNI Tapcash saya dapatkan di customer service kantor cabang BNI dengan membayar Rp25000. Hanya butuh waktu kurang dari 10 menit untuk mengaktifkannya sekaligus melakukan isi ulang pertama. 

Dalam dua tahun terakhir BNI Tapcash selalu saya gunakan untuk jajan di UGM Foodpark, sebuah kantin terpadu kolaborasi antara BNI dan Universitas Gadjah Mada. Tempat yang diresmikan pada 2013 tersebut menjadi fasilitas percontohan dan edukasi non-tunai untuk memperkenalkan penggunaan uang elektronik di lingkungan kampus. 

UGM Foodpark diharapkan dapat memperluas penetrasi uang elektronik yang selama ini masih didominasi  sektor  transportasi dan ritel seperti swalayan dan minimarket. Padahal potensi besar juga ada di kampus sebagai pusat pendidikan yang dihuni banyak generasi muda. Warga kampus terutama mahasiswa yang telah merasakan keuntungan menggunakan uang elektronik diharapkan dapat menularkan pengalamannya ke lingkungan terdekat. Dengan demikian ada efek berantai yang bisa menunjang terwujudnya Less Cash Society (LCS).

Dengan menggunakan uang elektronik saya bisa bertransaksi sekaligus mendapat keuntungan di UGM Foodpark. Pertama, pembayaran berlangsung cepat dan mudah. Saya hanya menempelkan kartu BNI Tapcash selama 5 detik pada mesin tap yang tersambung dengan Electronic Data Capture (EDC). Saat itu pula pembayaran langsung dilakukan dengan memotong saldo di dalam kartu. Kedua, saya tidak kehilangan uang kembalian sehingga bisa menghemat meski dalam jumlah yang kecil. 

Perlu diketahui bahwa hampir semua harga makanan dan minuman di UGM Foodpark memiliki nominal yang tidak biasa, seperti Rp13.545, Rp16.170 dan sebagainya. Kasir menerima pembayaran secara tunai tapi dengan konsekuensi harga akan dibulatkan ke atas untuk memudahkan uang kembalian. Sementera saya yang menggunakan uang elektronik tidak dikenakan pembulatan. 

Ketiga, pengguna BNI Tapcash mendapat diskon pada saat-saat tertentu sehingga membayar lebih murah. Keempat, UGM Foodpark memiliki mesin ATM yang dilengkapi reader untuk membaca saldo uang elektronik BNI Tapcash. Cukup menempelkan kartu pada sisi luar mesin ATM maka saldo akan muncul di layar. Selanjutnya jika akan melakukan isi ulang uang elektronik, saya cukup menggunakan kartu debet dengan cara transfer yang sederhana.

Menggunakan uang elektronik untuk membeli makanan di UGM Foodpark (dok. pri).
Menggunakan uang elektronik untuk membeli makanan di UGM Foodpark (dok. pri).
Kasir non-tunai melayani traksaksi pembayaran saya menggunakan uang elektronik BNI Tapcash (dok. pri).
Kasir non-tunai melayani traksaksi pembayaran saya menggunakan uang elektronik BNI Tapcash (dok. pri).
Memanfaatkan Gramedia Card-Flazz untuk membeli buku (dok. pri).
Memanfaatkan Gramedia Card-Flazz untuk membeli buku (dok. pri).
Pengalaman menggunakan BNI Prepaid, BNI Tapcash dan Gramedia Card-Flazz membuat saya paham mengapa uang elektronik disebut sebagai alat pembayaran yang aman dan praktis, terutama untuk transaksi yang nilainya tidak terlalu besar namun sering dilakukan. Manfaat uang elektronik mampu melengkapi instrumen non-tunai lainnya seperti kartu debet. 

Selain bisa diisi ulang secara leluasa, memiliki dan menggunakannya juga tidak dikenakan biaya administasi atas rekening saya di bank. Uang elektronik bisa mengurangi resiko kerusakan uang, peredaran uang palsu serta pungutan liar. Ke depan uang elektronik akan semakin berguna untuk mendukung pertumbuhan ekonomi digital dan kreatif.

Di antara sederet keuntungan menggunakan uang elektronik selama ini, ada satu pelajaran paling berharga yang saya dapatkan. Saya belajar untuk bijak memanfaatkan uang, berhitung lebih cermat menghemat pengeluaran sekaligus menghargai uang dengan nominal yang sangat kecil sekalipun. 

Akan tetapi, hampir empat tahun berteman dengan uang elektronik saya juga mengalami beberapa hambatan serta menjumpai kejadian kurang menyenangkan tentang praktik penggunaan uang elektronik. Salah satu yang sangat disayangkan adalah tutupnya UGM Foodpark. Senin, 14 November 2016 saat melangkah ke sana untuk terakhir kali saya disambut sejumlah pegawai yang sedang membereskan meja dan kursi. Salah seorang pegawai menyampaikan permintaan maaf karena tempatnya berjualan berhenti beroperasi.

UGM Foodpark yang hanya bertahan selama tiga tahun adalah sebuah ironi bagi kampanye non-tunai. Apalagi, pertanda surutnya tempat tersebut telah terlihat sejak setahun sebelumnya. Saya menyaksikan sendiri satu per satu merchant dan penjual menghilang dari UGM Foodpark hingga pada pertengahan 2016 hanya menyisakan satu penjual makanan. 

Selama ini UGM Foodpark kurang menarik minat karena harganya yang kurang bersahabat, terutama bagi mahasiswa. Sebagai tempat percontohan dan edukasi non-tunai, UGM Foodpark juga menerapkan strategi yang tidak produktif dan kurang efektif karena hanya menerima satu jenis uang elektronik yaitu BNI Tapcash. 

Padahal, selama ini warga kampus UGM, terutama mahasiswa memiliki kartu uang elektronik lainnya yang telah terintegrasi dengan kartu mahasiswa dan kartu pembayaran Trans Jogja. Pada saat yang sama infrastruktur pendukung BNI Tapcash masih sangat terbatas. Berdasarkan pengalaman saya mencoba sejumlah ATM BNI yang tersebar di penjuru UGM, hanya satu mesin ATM yang dilengkapi reader BNI Tapcash. Oleh karena itu, UGM Foodpark semestinya bisa menerima pembayaran dengan uang elektronik dari bank lain meski tempat tersebut awalnya dibangun oleh satu bank. 

UGM Foodpark, tempat percontohan non-tunai di UGM yang hanya seumur jagung (dok. pri).
UGM Foodpark, tempat percontohan non-tunai di UGM yang hanya seumur jagung (dok. pri).
Di tempat lainnya seperti minimarket dan swalayan, komitmen terhadap uang elektronik juga perlu dipertanyakan. Saya beberapa kali harus kecewa karena tidak bisa menggunakan uang elektronik meski tulisan di pintu dan meja kasir menyebutkan melayani pembayaran dengan uang elektronik. Banyak penjual atau kasir lebih suka menerima uang tunai karena dianggap lebih menguntungkan secara langsung. Mereka pun enggan melayani pembayaran dengan uang elektronik dengan alasan EDC rusak atau jaringan off line. 

Padahal sebenarnya tidak terjadi gangguan sistem. Saya pun pernah mengalami kesan tap reader serta EDC sengaja disembunyikan dan baru dikeluarkan oleh kasir ketika saya berkata akan membatalkan belanja karena tidak membawa cukup uang tunai. Bahkan, penggunaan uang elektronik juga terkesan kurang konsisten dan setengah hati di Toko Buku Gramedia Yogyakarta yang hanya menerima Gramedia Card-Flazz untuk transaksi normal pada hari-hari biasa. Sementara pada saat digelar bazar atau pameran buku murah kasir tidak melayani pembayaran dengan Gramedia Card-Flazz meski penjualan digelar di tempat yang sama.

Hal-hal seperti di atas bisa membuat orang ragu sekaligus mempertanyakan ulang fungsi dan keuntungan menggunakan elektronik. Belajar dari UGM Foodpark yang hanya seumur jagung serta hambatan-hambatan lain yang terjadi, sudah saatnya upaya kampanye penggunaan intrumen pembayaran non-tunai, terutama uang elektronik, dilakukan dengan strategi yang tepat, mengutamakan sinergi, dan tidak boleh setengah hati.

Jangan sampai gencarnya sosialiasi Gerakan Nasional Non Tunai hingga  ke banyak tempat dan daerah hanya menjadi sekadar kampanye tanpa diikuti dengan manisnya praktik di lapangan. Bagaimana mungkin bisa mengajak masyarakat untuk gemar menggunakan uang elektronik sementara tempat yang melayani uang elektronik sangat terbatas.

Praktis, aman dan hemat menggunakan uang elektronik untuk membayar ongkos transportasi publik (dok. pri).
Praktis, aman dan hemat menggunakan uang elektronik untuk membayar ongkos transportasi publik (dok. pri).
Hal lain yang perlu diwujudkan adalah keterpaduan atau integrasi serta standarisasi infrastruktur non-tunai, terutama reader dan EDC, agar berbagai jenis uang elektronik yang saat ini beredar di Indonesia dapat digunakan dan diterima di manapun tanpa membeda-bedakan penerbitnya. Saat ini setiap bank penerbit memiliki reader dan EDC yang berbeda untuk memfasilitasi penggunaan uang elektronik masing-masing. Idealnya jika uang tunai fisik bisa digunakan dan diterima di manapun, maka uang elektronik juga harus demikian karena nilainya sama dengan uang fisik.

Era non-tunai memang sudah saatnya dijelang dan akan menjadi keniscayaan di masa depan. Oleh karena itu, kemudahan memanfaatkan uang elektronik harus ditingkatkan agar masyarakat bergairah menggunakannya. Semua pihak terutama otoritas penerbit uang elektronik perlu menghilangkan ego dan segera berbenah untuk meningkatkan sinergi. Tanpa hal itu Gerakan Nasional Non Tunai yang dicanangkan oleh Bank Indonesia pada 14 Agustus 2014 akan butuh waktu lebih lama untuk benar-benar menjadi budaya baru di Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun