Di antara sederet keuntungan menggunakan uang elektronik selama ini, ada satu pelajaran paling berharga yang saya dapatkan. Saya belajar untuk bijak memanfaatkan uang, berhitung lebih cermat menghemat pengeluaran sekaligus menghargai uang dengan nominal yang sangat kecil sekalipun.Â
Akan tetapi, hampir empat tahun berteman dengan uang elektronik saya juga mengalami beberapa hambatan serta menjumpai kejadian kurang menyenangkan tentang praktik penggunaan uang elektronik. Salah satu yang sangat disayangkan adalah tutupnya UGM Foodpark. Senin, 14 November 2016 saat melangkah ke sana untuk terakhir kali saya disambut sejumlah pegawai yang sedang membereskan meja dan kursi. Salah seorang pegawai menyampaikan permintaan maaf karena tempatnya berjualan berhenti beroperasi.
UGM Foodpark yang hanya bertahan selama tiga tahun adalah sebuah ironi bagi kampanye non-tunai. Apalagi, pertanda surutnya tempat tersebut telah terlihat sejak setahun sebelumnya. Saya menyaksikan sendiri satu per satu merchant dan penjual menghilang dari UGM Foodpark hingga pada pertengahan 2016 hanya menyisakan satu penjual makanan.Â
Selama ini UGM Foodpark kurang menarik minat karena harganya yang kurang bersahabat, terutama bagi mahasiswa. Sebagai tempat percontohan dan edukasi non-tunai, UGM Foodpark juga menerapkan strategi yang tidak produktif dan kurang efektif karena hanya menerima satu jenis uang elektronik yaitu BNI Tapcash.Â
Padahal, selama ini warga kampus UGM, terutama mahasiswa memiliki kartu uang elektronik lainnya yang telah terintegrasi dengan kartu mahasiswa dan kartu pembayaran Trans Jogja. Pada saat yang sama infrastruktur pendukung BNI Tapcash masih sangat terbatas. Berdasarkan pengalaman saya mencoba sejumlah ATM BNI yang tersebar di penjuru UGM, hanya satu mesin ATM yang dilengkapi reader BNI Tapcash. Oleh karena itu, UGM Foodpark semestinya bisa menerima pembayaran dengan uang elektronik dari bank lain meski tempat tersebut awalnya dibangun oleh satu bank.Â
Padahal sebenarnya tidak terjadi gangguan sistem. Saya pun pernah mengalami kesan tap reader serta EDC sengaja disembunyikan dan baru dikeluarkan oleh kasir ketika saya berkata akan membatalkan belanja karena tidak membawa cukup uang tunai. Bahkan, penggunaan uang elektronik juga terkesan kurang konsisten dan setengah hati di Toko Buku Gramedia Yogyakarta yang hanya menerima Gramedia Card-Flazz untuk transaksi normal pada hari-hari biasa. Sementara pada saat digelar bazar atau pameran buku murah kasir tidak melayani pembayaran dengan Gramedia Card-Flazz meski penjualan digelar di tempat yang sama.
Hal-hal seperti di atas bisa membuat orang ragu sekaligus mempertanyakan ulang fungsi dan keuntungan menggunakan elektronik. Belajar dari UGM Foodpark yang hanya seumur jagung serta hambatan-hambatan lain yang terjadi, sudah saatnya upaya kampanye penggunaan intrumen pembayaran non-tunai, terutama uang elektronik, dilakukan dengan strategi yang tepat, mengutamakan sinergi, dan tidak boleh setengah hati.
Jangan sampai gencarnya sosialiasi Gerakan Nasional Non Tunai hingga  ke banyak tempat dan daerah hanya menjadi sekadar kampanye tanpa diikuti dengan manisnya praktik di lapangan. Bagaimana mungkin bisa mengajak masyarakat untuk gemar menggunakan uang elektronik sementara tempat yang melayani uang elektronik sangat terbatas.
Era non-tunai memang sudah saatnya dijelang dan akan menjadi keniscayaan di masa depan. Oleh karena itu, kemudahan memanfaatkan uang elektronik harus ditingkatkan agar masyarakat bergairah menggunakannya. Semua pihak terutama otoritas penerbit uang elektronik perlu menghilangkan ego dan segera berbenah untuk meningkatkan sinergi. Tanpa hal itu Gerakan Nasional Non Tunai yang dicanangkan oleh Bank Indonesia pada 14 Agustus 2014 akan butuh waktu lebih lama untuk benar-benar menjadi budaya baru di Indonesia.