Pertambangan dan lingkungan. Keduanya yang tak mungkin dipisahkan. Pertambangan adalah upaya untuk memanfaatkan sumber daya alam sehingga hampir semua kegiatannya mulai dari eksplorasi hingga pascatambang selalu bersinggungan dengan alam dan lingkungan. Oleh karena itu pula kegiatan pertambangan seringkali menyebabkan “luka” pada jantung alam. Bahkan, ada yang lebih tegas menyebutkan bahwa tidak ada pertambangan yang tidak menyebabkan kerusakan alam.
Pembukaan lahan dan hutan untuk membangun fasilitas tambang, penggalian, serta kegiatan lainnya yang terkait kegiatan pertambangan memang mengguncang keseimbangan alam beserta fungsi kehidupannya. Tumbuhan dan hewan kehilangan habitatnya. Kemudian, penurunan kualitas lingkungan tersebut seringkali diikuti dampak turunannya seperti banjir, tanah longsor, hingga pencemaran air dan tanah. Semakin besar skala kegiatan pertambangan, semakin besar pula kemungkinan luka yang ditimbulkan. Dan, pada akhirnya masyarakat sekitar yang harus merasakan dampak terbesar dari kegiatan tambang.
Lalu apakah kegiatan pertambangan harus dihentikan selamanya?. Hal itu tidak mungkin dilakukan karena pertambangan telah menjadi sebuah keniscayaan. Apalagi, bagi Indonesia yang buminya menyimpan banyak kekayaan alam dan setiap kekayaan itu perlu dimanfaatkan untuk kebutuhan manusia yang semakin hari terus bertambah.
Hampir semua barang kebutuhan hidup sehari-hari mengandung komponen yang berasal dari barang tambang. Mulai dari alat makan, kendaraan, hingga perangkat gadget yang saat ini tak bisa dilepaskan dari kehidupan manusia. Tak bisa dibayangkan jika manusia hidup tanpa semua peralatan tersebut dan harus kembali ke zaman batu. Pertambangan juga memacu efek berantai bagi pembangunan nasional karena menjadi sumber devisa dan penerimaan negara, menyerap tenaga kerja hingga mendorong perkembangan daerah.
***
Kedua realitas yang bertolak belakang di atas barangkali disebabkan oleh paradigma kuno pertambanganyang menganggap kekayaan alam sebagai sumber pendapatan. Akibatnya seluruh kegiatan pertambangan mulai dari tahap eksplorasi, eksploitasi hingga pascatambang hanya diarahkan untuk memenuhi pundi-pundi keuntungan ekonomi. Pada saat yang sama kelestarian lingkungan dikorbankan.
“Tambang untuk Kehidupan”bisa menjadi jalan tengah sekaligus paradigma baru sehingga kegiatan pertambangan untuk memenuhi kebutuhan manusia tidak menimbulkan kerusakan lingkungan yang lebih besar.Paradigma tersebut mendorong praktik pertambangan secara baik dan benar agar sumber daya alam dapat dimanfaatkan secara optimal. Di sisi lain resiko dampak yang ditimbulkan dapat ditekan seminimal mungkin. Kegiatan pertambangan tetap dibutuhkan, tapi dengan cara yang memenuhi kaidah-kaidah lingkungan hidup.
Sementara itu di Papua tindakan etis pada lingkungan juga dilupayakan oleh PT. Freeport Indonesia (PTFI) dengan beberapa cara. Menerapkan sistem manajemen lingkungan standar nasional dan internasional, PTFI melakukan pemantauan lingkungan terutama terkait dampak tailing terhadap kualitas air permukaan, air bawah tanah, udara, sedimen, hewan, tumbuhan, dan produk pertanian. Semua dilakukan untuk mengendalikan dampak kegiatan pertambangan.
Pengelolaan limbah dan air asam tambang juga dilakukan. Selanjutnya hingga 2014 PTFI telah melakukan reklamasi pada area yang terdampak tailing seluas 791 hekatr dan seluas 107 hektar di sekitar muara Sungai Ajkwa. Di tempat yang sama PTFI menanam 800.000 pohon mangrove untuk meningkatkan fungsi ekosistem. Upaya-upaya tersebut diikuti dengan pemantauan keanekaragaman hewan dan tumbuhan untuk mengukur suksesi alami yang berlangsung. PTFI juga bermitra dengan masyarakat untuk meningkatkan kesadaran lingkungan.