Cuaca Semarang cukup menyengat ketika saya berjalan menyusuri Jalan Pemuda pada Jumat (2/9/2016) sore itu. Rencana untuk berkeliling dan mengunjungi beberapa destinasi terpaksa direvisi. Lagipula rasa lelah belum sirna karena baru satu jam tiba di Semarang.
Sambil terus berjalan, saya memutuskan menuju sebuah tempat di kota lumpia ini. Trotoar Jalan Pemuda lumayan luang untuk ditapaki. Meski minim pepohonan dan peneduh, namun masih lebih baik dibanding beberapa trotoar di Kota Jogja yang hampir tak ramah bagi pejalan kaki.
Asyik berjalan membuat saya lupa memperhatikan penanda tempat yang hendak dituju. Beruntung ada seorang ibu yang dengan baik hati menunjukkan lokasinya. Rupanya, sudah terlewat sekitar 20 meter di belakang. Saya pun berbalik arah.
Tiba di depan pintunya yang menyudut di sisi trotoar, pandangan saya arahkan ke atas untuk meyakinkan tidak salah tempat. Rangkaian huruf balok di atap bangunannya meyakinkan saya bahwa telah sampai di “TOKO OEN”.
Toko Oen mungkin satu dari sedikit restoran bergaya kolonial yang masih bertahan di Indonesia selama puluhan tahun. Sejarahnya dimulai sekitar 1910 ketika Liem Gien Nio mendirikan toko kue kering di Yogyakarta. Nama “Oen” diambil dari nama sang suami, Oen Tjoen Hok.
Seiring waktu Toko Oen tidak hanya menjual kue kering. Aneka hidangan yang mengangkat resep khas perpaduan dapur Indonesia, Tiongkok, dan Belanda juga disediakan. Selain itu, Toko Oen memiliki pusaka kulinernya yang khas yaitu dessert.
Toko Oen kemudian membuka cabang di Malang dan Jakarta pada 1934. Namun, kedua cabang tersebut tidak berumur lama. Toko Oen Jakarta tutup pada 1973 dan Toko Oen di Malang berganti pemilik. Toko di Malang tetap mempertahankan nama Oen meski tidak lagi dikelola oleh keluarga Oen. Pada 1936 Toko Oen membuka cabang di Semarang. Toko Oen Semarang inilah yang menjadi pewaris resep original dari sang pemilik pertama, yaitu keluarga Oen.
Puluhan tahun berselang, nuansa tempo dulu masik kental ditemui di Toko Oen. Tidak hanya fasad luar bangunannya, tapi di dalam ruangannya juga menghadirkan suasana kuno. Memasuki Toko Oen setelah melewati pintu kayunya yang tak terlalu besar, saya langsung dihadapkan dengan barisan meja dan kursi berbahan rotan serta kayu yang terlihat sudah berumur. Di meja dan kursi itulah para tamu menikmati setiap hidangan yang disajikan.
Toko Oen memiliki tiga ruangan. Selain ruangan pertama yang besar dan terhubung langsung dengan pintu masuk, dua ruangan lainnya berada di sebelah dalam kasir dan di samping ruang pertama. Ruangan ini dibatasi oleh dinding dan jendela kayu dengan kaca yang agak gelap. Saat mengintip ke dalam, ruangan tersebut mungkin dikhususkan untuk tamu rombongan yang menginginkan suasana lebih privat seperti rapat, acara keluarga atau arisan.
Sore itu saya memilih duduk di ruangan utama dekat deretan toples kue. Seorang pelayan berbaju hitam putih segera menghampiri dan memberikan buku menu. Cukup banyak menu yang dimiliki Toko Oen. Ada nasi goreng, bakmi goreng, spaghetti hingga macaroni schotel. Cemilan seperti risoles juga ada. Namun, saya tertarik dengan list dessert-nya yang mengundang penasaran.
“Kami ada Tutti frutti dan Oen’s Symphony”. Jawab sang pelayan saat saya bertanya dessert andalan Toko Oen. Keduanya adalah es krim homemade yang menjadi penanda keunggulan rasa Toko Oen. Pelayan lalu menjelaskan secara singkat kedua dessert tersebut. Saya pun memutuskan memilih Oen’s Syimphony (Rp37.500).
Sambil menunggu pesanan datang, saya melempar pandangan ke beberapa sudut ruang. Selain deretan toples serta meja dan kursi yang bergaya kuno, kesan vintage juga dihadirkan melalui beberapa pajangan berupa lukisan dan foto di dinding. Bahkan, belakangan saya menyadari hampir semua pelayan dan pegawai toko ini mengenakan kemeja putih dan celana panjang atau rok hitam. Secara keseluruhan suasana Toko Oen mudah membuat orang betah berada di dalamnya.
Tak berapa lama pelayan sudah datang membawa dua gelas untuk saya. Ternyata Oen’s Syimphony cukup cepat disajikan. Satu gelas berukuran kecil berisi air putih. Sementara gelas lainnya bentuknya unik dengan bagian atas mengembang seperti perhiasan bunga yang mekar. Empat skop es krim berwarna hijau, kuning, pink dan coklat disusun bertumpuk di gelas tersebut.
Di atasnya ditambahkan krim berwarna putih dan siraman sirup berwarna merah. Lalu ada dua buah kue lidah kucing berwarna keemasan diletakkan di pinggir es krim.
Sensasi dinginnya terasa segar saat melewati kerongkongan. Saya juga suka dengan tekstur es krimnya yang agak kasar sehingga setiap cecapannya sangat mengena di lidah. Saat meleleh es krim ini tak kehilangan cita rasanya.
Tak salah memang racikan ini diberi nama Oen’s Symphony. Seperti halnya simfoni musik yang menggabungkan berbagai instrument serta genre berbeda, namun hasilnya tercipta repertoir yang istimewa dalam komposisi yang manis. Oleh karena itu, jika ke Semarang, jangan pulang dulu sebelum mencecap Oen’s Symphony di Toko Oen.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H