Mohon tunggu...
Hendra Wardhana
Hendra Wardhana Mohon Tunggu... Administrasi - soulmateKAHITNA

Anggrek Indonesia & KAHITNA | Kompasiana Award 2014 Kategori Berita | www.hendrawardhana.com | wardhana.hendra@yahoo.com | @_hendrawardhana

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Mencecap Simfoni yang Manis di Toko Oen yang Legendaris

17 Oktober 2016   14:37 Diperbarui: 17 Oktober 2016   19:26 646
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cuaca Semarang cukup menyengat ketika saya berjalan menyusuri Jalan Pemuda pada Jumat (2/9/2016) sore itu. Rencana untuk berkeliling dan mengunjungi beberapa destinasi terpaksa direvisi. Lagipula rasa lelah belum sirna karena baru satu jam tiba di Semarang.

Sambil terus berjalan, saya memutuskan menuju sebuah tempat di kota lumpia ini. Trotoar Jalan Pemuda lumayan luang untuk ditapaki. Meski minim pepohonan dan peneduh, namun masih lebih baik dibanding beberapa trotoar di Kota Jogja yang hampir tak ramah bagi pejalan kaki.

Asyik berjalan membuat saya lupa memperhatikan penanda tempat yang hendak dituju. Beruntung ada seorang ibu yang dengan baik hati menunjukkan lokasinya. Rupanya, sudah terlewat sekitar 20 meter di belakang. Saya pun berbalik arah.

Tiba di depan pintunya yang menyudut di sisi trotoar, pandangan saya arahkan ke atas untuk meyakinkan tidak salah tempat. Rangkaian huruf balok  di atap bangunannya meyakinkan saya bahwa telah sampai di “TOKO OEN”.

Bagian depan dan pintu masuk Toko Oen yang berada di pinggir Jalan Pemuda No. 52 Kota Semarang (dok. pri).
Bagian depan dan pintu masuk Toko Oen yang berada di pinggir Jalan Pemuda No. 52 Kota Semarang (dok. pri).
Toko Oen adalah satu ikon kuliner legendaris di Kota Semarang. Letaknya di Jalan Pemuda No.52, sekitar satu kilometer dari Kantor Walikota Semarang. Tak sulit sebenarnya menemukan toko ini karena posisinya tepat di pinggir jalan. Namun, pintunya yang kecil dan tidak sejajar dengan sisi jalan membuatnya seolah tersembunyi. Selain itu tak ada papan nama mencolok di tembok atau pintunya. Hanya tulisan “TOKO OEN” di atas atap yang jadi tanda dari luar. Itupun agak terhalang oleh tiang listrik yang menjulang dan rangkaian kabel listrik yang kurang teratur.

Toko Oen mungkin satu dari sedikit restoran bergaya kolonial yang masih bertahan di Indonesia selama puluhan tahun. Sejarahnya dimulai sekitar 1910 ketika Liem Gien Nio mendirikan toko kue kering di Yogyakarta. Nama “Oen” diambil dari nama sang suami, Oen Tjoen Hok.

Seiring waktu Toko Oen tidak hanya menjual kue kering. Aneka hidangan yang mengangkat resep khas perpaduan dapur Indonesia, Tiongkok, dan Belanda juga disediakan. Selain itu, Toko Oen memiliki pusaka kulinernya yang khas yaitu dessert.

Toko Oen kemudian membuka cabang di Malang dan Jakarta pada 1934. Namun, kedua cabang tersebut tidak berumur lama. Toko Oen Jakarta tutup pada 1973 dan Toko Oen di Malang berganti pemilik. Toko di Malang tetap mempertahankan nama Oen meski tidak lagi dikelola oleh keluarga Oen. Pada 1936 Toko Oen membuka cabang di Semarang. Toko Oen Semarang inilah yang menjadi pewaris resep original dari sang pemilik pertama, yaitu keluarga Oen.

Puluhan tahun berselang, nuansa tempo dulu masik kental ditemui di Toko Oen. Tidak hanya fasad luar bangunannya, tapi di dalam ruangannya juga menghadirkan suasana kuno. Memasuki Toko Oen setelah melewati pintu kayunya yang tak terlalu besar, saya langsung dihadapkan dengan barisan meja dan kursi berbahan rotan serta kayu yang terlihat sudah berumur. Di meja dan kursi  itulah para tamu menikmati setiap hidangan yang disajikan.

Ruangan di dalam Toko Oen masih menyimpan jejak kekunoan (dok. pri).
Ruangan di dalam Toko Oen masih menyimpan jejak kekunoan (dok. pri).
Puluhan jenis kue kering dan roti yang dibuat dengan resep original Toko Oen.
Puluhan jenis kue kering dan roti yang dibuat dengan resep original Toko Oen.
Kursi dan meja dari kayu dan rotan menghadirkan nuansa vintage yang kental di Toko Oen (dok. pri).
Kursi dan meja dari kayu dan rotan menghadirkan nuansa vintage yang kental di Toko Oen (dok. pri).
Hanya beberapa langkah dari pintu masuk ada puluhan toples berbahan kaca berukuran besar berjejer di atas etalase kaca. Di dalamnya berisi aneka kue kering dan roti mengundang nasfu untuk mencicipinya. Semua  kue dan roti tersebut dibuat sendiri oleh Toko Oen dengan resep warisan yang sama selama bertahun-tahun.

Toko Oen memiliki tiga ruangan. Selain ruangan pertama yang besar dan terhubung langsung dengan pintu masuk, dua ruangan lainnya berada di sebelah dalam kasir dan di samping ruang pertama. Ruangan ini dibatasi oleh dinding dan jendela kayu dengan kaca yang agak gelap. Saat mengintip ke dalam, ruangan tersebut mungkin dikhususkan untuk tamu rombongan yang menginginkan suasana lebih privat seperti rapat, acara keluarga atau arisan.

Sore itu saya memilih duduk di ruangan utama dekat deretan toples kue. Seorang pelayan berbaju hitam putih segera menghampiri dan memberikan buku menu. Cukup banyak menu yang dimiliki Toko Oen. Ada nasi goreng, bakmi goreng,  spaghetti hingga macaroni schotel. Cemilan seperti risoles juga ada. Namun, saya tertarik dengan list dessert-nya yang mengundang penasaran.

“Kami ada Tutti frutti dan Oen’s Symphony”. Jawab sang pelayan saat saya bertanya dessert andalan Toko Oen. Keduanya adalah es krim homemade yang menjadi penanda keunggulan rasa Toko Oen. Pelayan lalu  menjelaskan secara singkat kedua dessert tersebut. Saya pun memutuskan memilih Oen’s Syimphony (Rp37.500).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun