Mohon tunggu...
Hendra Wardhana
Hendra Wardhana Mohon Tunggu... Administrasi - soulmateKAHITNA

Anggrek Indonesia & KAHITNA | Kompasiana Award 2014 Kategori Berita | www.hendrawardhana.com | wardhana.hendra@yahoo.com | @_hendrawardhana

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Membumikan Kerukunan di Era Media Sosial, Belajar dari Burung Gereja di Menara Masjid

5 September 2016   14:08 Diperbarui: 6 September 2016   01:33 815
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tugas manusia adalah merawat dan meletakkan perbedaan dalam wadah kokoh bernama kerukunan (dok. pri).

“Di era sosmed dan digital banyak yang merasa gatal. Begitu dermawan berbagi postingan tanpa kesadaran isi dan dampak penyebaran #mawasdiri”. Itulah bunyi cuitan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin di akun twitter miliknya @lukmansaifuddin pada 25 Agustus 2016. Secara tersurat cuitan tersebut mengingatkan setiap orang khususnya pengguna media sosial untuk mawas diri. Hasrat berbagi melalui media sosial (medsos) harus diimbangi dengan kemampuan menakar kebenaran dan manfaatnya.

Namun, cuitan itu juga bisa diterjemahkan sebagai bentuk keresahan Menteri Agama terhadap fenomena penggunaan media sosial yang semakin masif namun tidak disertai tanggung jawab dan kesadaran tentang akibat yang bisa ditimbulkan. Media sosial seperti facebook, twitter, dan path kerap digunakan untuk menyebarkan kebohongan, kebencian, serta intoleransi. Banyak informasi yang disebarkan juga tak jelas sumbernya atau berasal dari situs on line yang cenderung provokatif.

Cuitan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin tentang penggunaan media sosial (twiiter.com).
Cuitan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin tentang penggunaan media sosial (twiiter.com).
Keresahan tersebut tentu dirasakan juga oleh banyak orang. Di era teknologi media sosial saat ini, Indonesia memang menghadapi tantangan yang besar dalam merawat kerukunan akibat penyalahgunaan media sosial oleh sejumlah orang demi kepentingan sempit. Menurut Polri, hingga akhir 2015 terdapat sekitar 180 ribu akun media sosial yang kerap mengumbar kebencian.Tidak hanya sekali dua kali, beberapa di antaranya konsisten menebar “sampah intoleran”  di dunia maya. 

Melalui medsos seseorang dengan mudah melontarkan hasutan dan hujatan. Mudahnya menjadi “anonim” di media sosial membuat orang-orang yang tak bertanggung jawab leluasa membangkitkan kebencian dengan mengangkat masalah perbedaan. Semua kondisi tersebut membuat media sosial berpotensi meniupkan badai yang dapat merusak kerukunan.

Toleransi sesungguhnya bukan hal asing bagi Indonesia. Namun, sejumlah peristiwa kekerasan dan pelanggaran kebebasan akhir-akhir ini seolah menunjukkan ketidakmampuan masyarakat untuk hidup rukun dalam perbedaan. Respon terhadap keberagaman seringkali bertolak belakang dengan karakter bangsa yang masyarakatnya dikenal saling menghormati..

Panji-panji agama adalah yang paling sering diangkat untuk memecah kerukunan. Sentimen negatif terhadap perbedaan keyakinan pun masih ada dalam diri sebagian masyarakat. Ujaran yang menistakan agama tertentu sering dijumpai di facebook. Adu argumentasi yang menyerang penganut agama lain bertebaran di kolom komentar. Twitwar yang sengaja menyinggung agama tertentu juga jamak di lini masa twitter.

Media sosial memang bukan hantu pembunuh kerukunan.Tapi harus diakui bahwa banyak masyarakat belum memiliki wawasan yang baik tentang makna perbedaan dan keberagaman sehingga rentan dimanipulasi dan diprovokasi oleh isu agama di media sosial. Contoh terbaru adalah pembakaran sejumlah tempat ibadah di Tanjung Balai, Medan pada 29 Juli 2016. Kejadian memilukan dan memalukan yang berawal dari provokasi di facebook itu  menegaskan bahwa isu yang menyangkut agama mudah meletupkan emosi serta memancing kekerasan di tengah masyarakat.

Masalah tersebut tidak boleh dibiarkan karena secara perlahan dapat memecah belah persatuan bangsa. Oleh karena itu, meski menurut survey Kementerian Agama dan analisis Litbang Kompas secara umum kondisi toleransi di Indonesia masih baik, kesadaran dan kemauan untuk menangkis segala upaya yang bertujuan menghancurkan kerukunan melalui media sosial harus terus ditingkatkan.

Cerdas dan Tegas

Kebebasan memiliki dan menggunakan media sosial membuat semua orang bisa memproduksi konten apa saja. Sayangnya, tidak sedikit masyarakat Indonesia yang menjadikan media sosial sebagai “guru”. Informasi menyesatkan sering dijadikan rujukan dan dipercaya begitu saja. Jumlah like dan retweet yang banyak dianggap sebagai legitimasi bahwa ada mayoritas yang mendukung. Kemudian, mayoritas dianggap sebagai ukuran kebenaran sehingga tidak perlu toleransi kepada kelompok lain.

Oleh karena itu, hal pertama yang perlu dilakukan untuk merawat kerukunan di era media sosial adalah dengan menjadi pengguna medsos yang cerdas. Masyarakat perlu membekali diri dengan literasi media sosial yang baik. Apalagi, dari 88 juta pengguna internet di Indonesia, 79 juta di antaranya adalah pengguna aktif media sosial. Orang yang tidak mampu merenungkan manfaat serta kebenaran setiap informasi di medsos akan mudah termakan kabar sesat.

Gunakan jarimu untuk merawat kerukunan! (dok. pri).
Gunakan jarimu untuk merawat kerukunan! (dok. pri).
Selain cerdas menilai kebenaran dan bijak menentukan informasi yang layak dibagikan, pengguna medsos juga perlu tegas menolak akun-akun penyebar kebencian dan propaganda. Salah satunya dengan tidak mengikuti akun-akun tersebut. Para pemilik akun intoleran akan senang jika pengikutnya bertambah sehingga semakin berani menyebar kebencian atau provokasi. Jangan segan atau khawatir untuk unfollow/unfriend meski pemilik akun adalah orang yang kita kenal. Hak sekaligus tanggung jawab kita untuk membersihkan media sosial dari hal yang kurang bermanfaat, apalagi yang mengusik kedamaian.

Sangat penting untuk tidak memberikan nafas kepada penyebar kebencian dan provokasi. Hal itu juga berguna untuk melindungi diri dan pikiran karena media sosial mampu mengarahkan perilaku. Seseorang yang membiarkan dirinya terpapar dan mengkonsumsi muatan kebencian di media sosial akan menerima intoleransi sebagai hal yang biasa. Dari hanya mengkonsumsi informasi, lama kelamaan seseorang akan terpengaruh untuk bersikap intoleran.

Berikutnya, masyarakat  perlu melakukan upaya yang lebih nyata secara bersama untuk menghukum akun-akun intoleran dengan melaporkannya kepada penegak hukum.  Di sisi lain, tidak boleh lagi ada kesan pembiaran atau ketidaktegasan aparat kepada para penyebar kebencian dan provokasi. Penegakkan aturan dan hukum yang tegas sangat penting sebagai upaya menciptakan ruang yang kondusif untuk mengembangkan kerukunan di era media sosial. Upaya merusak kerukunan melalui media sosial sudah semestinya dianggap sebagai kejahatan yang mendesak untuk diatasi.

Media Sosial Sebagai Pencerah

Meski ujaran kebencian, provokasi dan berita bohong marak di media sosial, namun toleransi juga bisa diperkuat di ruang yang sama. Media sosial mampu menjadi pencerah yang memberikan dampak positif bagi kerukunan. Teknologi ini bisa didorong sebagai sarana komunikasi yang efektif sekaligus pencegah konflik. Caranya dengan memanfaatkannya untuk menggalang interaksi yang intensif dan dialog yang akomodatif sehingga tercipta rasa pengertian. Selain itu, medsos bisa menjadi ruang diskusi untuk menemukan solusi dari masalah yang muncul di tengah-tengah masyarakat.

Daripada menyebarkan provokasi, lebih baik menjadi pembawa pesan damai dengan menceritakan teladan-teladan di balik keberagaman Indonesia (dok. pri).
Daripada menyebarkan provokasi, lebih baik menjadi pembawa pesan damai dengan menceritakan teladan-teladan di balik keberagaman Indonesia (dok. pri).
Untuk membumikan kerukunan, pengguna media sosial juga perlu memperbanyak konten positif. Membagikan kabar-kabar baik sangat berguna untuk membuka mata masyarakat tentang indahnya kerukunan. Daripada mengkonsumsi berita bohong atau menyebarkan provokasi, lebih baik menjadi pembawa pesan damai dengan menceritakan teladan-teladan positif di balik keberagaman Indonesia. Contohnya kehidupan selaras antara umat Islam dan Kristen di NTT yang bergotong royong membangun rumah dan memperbaiki rumah ibadah. Para ibu rumah tangga di sana bahu-membahu menyiapkan hidangan untuk Paskah.

Di pelosok Minahasa Tenggara juga ada sebuah masjid dan gereja yang berdiri berdampingan dalam satu pagar yang sama. Para umat di tempat tersebut senantiasa menjalin silaturahmi dan saling mengucapkan selamat saat hari raya agama masing-masing. Atau cerita bagaimana warga Hindu di Bali memberikan pengamanan Idul fitri dan Natal. Semua itu dijumpai di Indonesia dan perlu disebarkan melalui media sosial sebagai inspirasi.

Kampanye kerukunan melalui media sosial perlu digencarkan. Pemerintah melalui Kementerian Agama serta Kementerian Komunikasi dan Informatika bisa bekerja sama dengan facebook atau twitter untuk melakukannya. Selain mengedukasi masyarakat, kampanye tersebut juga berguna untuk menciptakan iklim toleransi yang lebih baik.

Belajar dari Burung Gereja di Menara Masjid

Upaya mengusik kerukunan adalah tindakan yang bertolak belakang dengan fitrah manusia sebagai makhluk sosial. Perilaku asosial di media sosial diperparah dengan pemaknaan ajaran agama yang sempit. Tampaknya kita memang perlu belajar pada sebuah fenomena yang dekat dengan kehidupan, namun jarang diamati, yaitu kebiasaan burung gereja hinggap di menara masjid.

Burung gereja adalah kerabat dekat burung pipit yang gemar terbang dalam kelompok yang besar. Burung gereja juga bisa “berisik” karena kicauannya. Meski dalam kelompoknya sering terdapat jenis yang berbeda, namun burung ini tidak menyerang satu sama lain. Burung yang habitat alaminya berada di pepohonan rindang ini juga memiliki kemampuan adaptasi yang baik sehingga sering hinggap dan tinggal di tempat-tempat teduh seperti atap gereja serta kubah atau menara masjid.

Tugas manusia adalah merawat dan meletakkan perbedaan dalam wadah kokoh bernama kerukunan (dok. pri).
Tugas manusia adalah merawat dan meletakkan perbedaan dalam wadah kokoh bernama kerukunan (dok. pri).
Perilaku burung gereja memperlihatkan bawah perbedaan bukanlah penghalang untuk hidup rukun. Meski tidak menutup kemungkinan terjadi gesekan, namun sikap saling mengerti mampu mengatasinya. Bahkan, mereka berbagi kenyamanan yang dirasakan di menara masjid.

Kehidupan burung gereja yang rukun mencerminkan konsep kebhinekaan Indonesia. Hal itu semestinya selalu menjadi acuan dalam berinteraksi, termasuk di media sosial. Walaupun ada banyak agama dan keyakinan berkembang di Indonesia, namun hakikatnya sama-sama mengakui keberadaan Tuhan.  Semua agama juga mengajarkan untuk membina kerukunan.

Dengan media sosial setiap orang bisa menjadi pembawa pesan damai untuk memupuk kerukunan (dok. pri).
Dengan media sosial setiap orang bisa menjadi pembawa pesan damai untuk memupuk kerukunan (dok. pri).
Menanamkan kembali prinsip dasar toleransi beragama sangat diperlukan di tengah gencarnya penggunaan media sosial. Tidak hanya untuk mengurangi gesekan atau konflik, tapi untuk merekatkan keberagaman dalam bingkai kebersamaan. Etika dan nilai-nilai kemanusiaan yang terdapat di setiap agama perlu digali dan disosialisasikan kembali agar dipahami lebih mendalam. Hal itu bisa menjadi norma dalam berinteraksi di media sosial.

Sudah saatnya meniupkan kembali ruh kerukunan di tengah-tengah masyarakat. Toleransi lebih dari sekadar mengakui ada Islam, Kristen, Hindu, Budha dan sebagainya. Namun juga kesadaran dan kesediaan untuk menerimanya sebagai anugerah Tuhan. Di era media sosial Indonesia butuh energi dan perekat yang lebih kuat untuk tetap bersatu. Agama sebagai pedoman hidup sudah sewajarnya mampu menumbuhkan rasa persatuan.

Meniadakan perbedaan dan keberagaman bukanlah tugas manusia di dunia. Manusia justru harus merawat dan meletakkannya dalam wadah kokoh bernama kerukunan.  Oleh karena itu, jangan biarkan teknologi maju bernama media sosial membuat peradaban Indonesia kembali mundur karena masyarakatnya gemar mencaci dan saling benci. Seperti burung gereja yang hinggap nyaman di menara masjid, selamanya hidup rukun harus terus menjadi kesepakatan bersama masyarakat Indonesia.

***

Teks dan foto: Hendra Wardhana

Twitter | Facebook

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun