Mohon tunggu...
Hendra Wardhana
Hendra Wardhana Mohon Tunggu... Administrasi - soulmateKAHITNA

Anggrek Indonesia & KAHITNA | Kompasiana Award 2014 Kategori Berita | www.hendrawardhana.com | wardhana.hendra@yahoo.com | @_hendrawardhana

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Membumikan Kerukunan di Era Media Sosial, Belajar dari Burung Gereja di Menara Masjid

5 September 2016   14:08 Diperbarui: 6 September 2016   01:33 815
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tugas manusia adalah merawat dan meletakkan perbedaan dalam wadah kokoh bernama kerukunan (dok. pri).
Tugas manusia adalah merawat dan meletakkan perbedaan dalam wadah kokoh bernama kerukunan (dok. pri).
Perilaku burung gereja memperlihatkan bawah perbedaan bukanlah penghalang untuk hidup rukun. Meski tidak menutup kemungkinan terjadi gesekan, namun sikap saling mengerti mampu mengatasinya. Bahkan, mereka berbagi kenyamanan yang dirasakan di menara masjid.

Kehidupan burung gereja yang rukun mencerminkan konsep kebhinekaan Indonesia. Hal itu semestinya selalu menjadi acuan dalam berinteraksi, termasuk di media sosial. Walaupun ada banyak agama dan keyakinan berkembang di Indonesia, namun hakikatnya sama-sama mengakui keberadaan Tuhan.  Semua agama juga mengajarkan untuk membina kerukunan.

Dengan media sosial setiap orang bisa menjadi pembawa pesan damai untuk memupuk kerukunan (dok. pri).
Dengan media sosial setiap orang bisa menjadi pembawa pesan damai untuk memupuk kerukunan (dok. pri).
Menanamkan kembali prinsip dasar toleransi beragama sangat diperlukan di tengah gencarnya penggunaan media sosial. Tidak hanya untuk mengurangi gesekan atau konflik, tapi untuk merekatkan keberagaman dalam bingkai kebersamaan. Etika dan nilai-nilai kemanusiaan yang terdapat di setiap agama perlu digali dan disosialisasikan kembali agar dipahami lebih mendalam. Hal itu bisa menjadi norma dalam berinteraksi di media sosial.

Sudah saatnya meniupkan kembali ruh kerukunan di tengah-tengah masyarakat. Toleransi lebih dari sekadar mengakui ada Islam, Kristen, Hindu, Budha dan sebagainya. Namun juga kesadaran dan kesediaan untuk menerimanya sebagai anugerah Tuhan. Di era media sosial Indonesia butuh energi dan perekat yang lebih kuat untuk tetap bersatu. Agama sebagai pedoman hidup sudah sewajarnya mampu menumbuhkan rasa persatuan.

Meniadakan perbedaan dan keberagaman bukanlah tugas manusia di dunia. Manusia justru harus merawat dan meletakkannya dalam wadah kokoh bernama kerukunan.  Oleh karena itu, jangan biarkan teknologi maju bernama media sosial membuat peradaban Indonesia kembali mundur karena masyarakatnya gemar mencaci dan saling benci. Seperti burung gereja yang hinggap nyaman di menara masjid, selamanya hidup rukun harus terus menjadi kesepakatan bersama masyarakat Indonesia.

***

Teks dan foto: Hendra Wardhana

Twitter | Facebook

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun