“Di era sosmed dan digital banyak yang merasa gatal. Begitu dermawan berbagi postingan tanpa kesadaran isi dan dampak penyebaran #mawasdiri”. Itulah bunyi cuitan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin di akun twitter miliknya @lukmansaifuddin pada 25 Agustus 2016. Secara tersurat cuitan tersebut mengingatkan setiap orang khususnya pengguna media sosial untuk mawas diri. Hasrat berbagi melalui media sosial (medsos) harus diimbangi dengan kemampuan menakar kebenaran dan manfaatnya.
Namun, cuitan itu juga bisa diterjemahkan sebagai bentuk keresahan Menteri Agama terhadap fenomena penggunaan media sosial yang semakin masif namun tidak disertai tanggung jawab dan kesadaran tentang akibat yang bisa ditimbulkan. Media sosial seperti facebook, twitter, dan path kerap digunakan untuk menyebarkan kebohongan, kebencian, serta intoleransi. Banyak informasi yang disebarkan juga tak jelas sumbernya atau berasal dari situs on line yang cenderung provokatif.
Melalui medsos seseorang dengan mudah melontarkan hasutan dan hujatan. Mudahnya menjadi “anonim” di media sosial membuat orang-orang yang tak bertanggung jawab leluasa membangkitkan kebencian dengan mengangkat masalah perbedaan. Semua kondisi tersebut membuat media sosial berpotensi meniupkan badai yang dapat merusak kerukunan.
Toleransi sesungguhnya bukan hal asing bagi Indonesia. Namun, sejumlah peristiwa kekerasan dan pelanggaran kebebasan akhir-akhir ini seolah menunjukkan ketidakmampuan masyarakat untuk hidup rukun dalam perbedaan. Respon terhadap keberagaman seringkali bertolak belakang dengan karakter bangsa yang masyarakatnya dikenal saling menghormati..
Panji-panji agama adalah yang paling sering diangkat untuk memecah kerukunan. Sentimen negatif terhadap perbedaan keyakinan pun masih ada dalam diri sebagian masyarakat. Ujaran yang menistakan agama tertentu sering dijumpai di facebook. Adu argumentasi yang menyerang penganut agama lain bertebaran di kolom komentar. Twitwar yang sengaja menyinggung agama tertentu juga jamak di lini masa twitter.
Media sosial memang bukan hantu pembunuh kerukunan.Tapi harus diakui bahwa banyak masyarakat belum memiliki wawasan yang baik tentang makna perbedaan dan keberagaman sehingga rentan dimanipulasi dan diprovokasi oleh isu agama di media sosial. Contoh terbaru adalah pembakaran sejumlah tempat ibadah di Tanjung Balai, Medan pada 29 Juli 2016. Kejadian memilukan dan memalukan yang berawal dari provokasi di facebook itu menegaskan bahwa isu yang menyangkut agama mudah meletupkan emosi serta memancing kekerasan di tengah masyarakat.
Masalah tersebut tidak boleh dibiarkan karena secara perlahan dapat memecah belah persatuan bangsa. Oleh karena itu, meski menurut survey Kementerian Agama dan analisis Litbang Kompas secara umum kondisi toleransi di Indonesia masih baik, kesadaran dan kemauan untuk menangkis segala upaya yang bertujuan menghancurkan kerukunan melalui media sosial harus terus ditingkatkan.
Cerdas dan Tegas
Kebebasan memiliki dan menggunakan media sosial membuat semua orang bisa memproduksi konten apa saja. Sayangnya, tidak sedikit masyarakat Indonesia yang menjadikan media sosial sebagai “guru”. Informasi menyesatkan sering dijadikan rujukan dan dipercaya begitu saja. Jumlah like dan retweet yang banyak dianggap sebagai legitimasi bahwa ada mayoritas yang mendukung. Kemudian, mayoritas dianggap sebagai ukuran kebenaran sehingga tidak perlu toleransi kepada kelompok lain.
Oleh karena itu, hal pertama yang perlu dilakukan untuk merawat kerukunan di era media sosial adalah dengan menjadi pengguna medsos yang cerdas. Masyarakat perlu membekali diri dengan literasi media sosial yang baik. Apalagi, dari 88 juta pengguna internet di Indonesia, 79 juta di antaranya adalah pengguna aktif media sosial. Orang yang tidak mampu merenungkan manfaat serta kebenaran setiap informasi di medsos akan mudah termakan kabar sesat.