Mohon tunggu...
Hendra Wardhana
Hendra Wardhana Mohon Tunggu... Administrasi - soulmateKAHITNA

Anggrek Indonesia & KAHITNA | Kompasiana Award 2014 Kategori Berita | www.hendrawardhana.com | wardhana.hendra@yahoo.com | @_hendrawardhana

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Oktavianus Etapuka, Merawat Mahakarya Suku Kamoro Papua

4 Juni 2016   14:18 Diperbarui: 4 Juni 2016   14:31 414
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Oktavianus Etapuka, seorang pengukir kayu dari Suku Kamoro, Papua (dok. pri).

Dua belas tahun yang lalu, Oktavianus Etapuka (55) kembali ke Kekwa, Timika, Papua. Ia pulang kampung setelah lama mengikuti orang tuanya merantau dan menempuh pendidikan di Jayapura.  Sebagai orang Kamoro ia kemudian menekuni seni ukir kayu khas Kamoro.

Kamoro adalah suku seminomaden yang mendiami pesisir selatan Papua. Masyarakat Suku Kamoro yang berjumlah kurang lebih 18.000 orang tersebar di sekitar 45 kampung, termasuk Kekwa.

Sebagian besar orang Kamoro hidup dengan budaya meramu. Hutan dan rawa di sekitar tempat tinggal mereka menjadi “supermarket” yang menyediakan semua kebutuhan hidup. Sagu, ikan, daging dan lain sebagainya mereka peroleh langsung dari alam. Tak heran jika orang Kamoro sangat mahir memancing dan berburu hewan dengan cara menyergap atau menjerat.

Suku Kamoro juga telah lama melahirkan mahakarya berupa seni ukir kayu yang unik. Mereka membuat ukiran di banyak peralatan yang digunakan sehari-hari. Kebiasaan itu diwariskan dari satu generasi ke generasi. Saat ditemui di Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjo Soemantri Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, pada Jumat (3/6/2016) lalu, Oktavianus menunjukkan hasil ukiran kayu khas Kamoro. Beberapa di antaranya adalah Oteka yang berbentuk tongkat, Yamate (perisai), Pekaro (piring), dan Waki (alat pukul).

Bukan dari Keluarga Pengukir

Tidak semua orang Kamoro bisa mengukir. Dulu biasanya hanya keluarga pengukir yang mewarisi keahlian tersebut. “Kalau ke kampung, lihat saja rumah-rumahnya. Kalau banyak ukiran, berarti dia pengukir”, terang Oktavianus.

Seni ukir Kamoro sempat hampir tenggelam karena orang yang mengukir semakin sedikit. Minat anak muda Suku Kamoro untuk menekuni seni ukir juga berkurang. Kenyataan itulah yang kemudian turut menggerakkan Oktavianus untuk mengukir meski ia bukan berasal dari keluarga pengukir. Ayahnya adalah seorang mantan polisi yang beberapa kali berpindah tugas sehingga ia dan sang ibu harus mengikutinya.

Tanpa warisan ilmu mengukir dari orang tua bukan halangan bagi Oktavianus untuk menekuni seni ukir khas Kamoro. Tiga tahun sebelum kembali ke Kekwa, pria lulusan Sekolah Pendidikan Guru Taruna Bhakti Jayapura ini sudah mulai mempelajari ukiran Kamoro. Meski memiliki keterampilan menggambar dan melukis, namun menguasai teknik mengukir khas Kamoro ternyata tidak mudah. Saat belajar akurasi menggunakan alat ukir dan membolak-balik kayu, Oktavianus mengaku tangannya beberapa kali terluka terkena alat ukir.

Beradaptasi dengan Zaman

Pada awalnya orang Kamoro membuat ukiran hanya di waktu tertentu dengan tujuan utama merawat budaya suku mereka. Namun, sejak kehadiran community development (comdev) PT. Freeport Indonesia, orang Kamoro mulai menyadari bahwa selain memiliki nilai budaya yang tinggi, ukiran kayu buatan mereka juga bisa dijual. Upaya yang digagas comdev PT. Freeport Indonesia dalam menggalakkan seni ukir Kamoro diakui oleh Oktavianus membuat pengukir Kamoro semakin bergairah. Anak-anak muda di suku tersebut sedikit demi sedikit juga mulai tertarik menekuni seni ukir yang diwariskan leluhurnya. “Sekarang mereka tahu kalau mengukir juga bisa dapat uang”, kata Oktavianus.

Beberapa bentuk ukiran kayu yang dibuat Suku Kamoro dipamerkan dalam acara Bicara Papua dan Kompasiana Coverage di Universitas Gadjah Mada pada 2-3 Juni 2016 (dok. pri).
Beberapa bentuk ukiran kayu yang dibuat Suku Kamoro dipamerkan dalam acara Bicara Papua dan Kompasiana Coverage di Universitas Gadjah Mada pada 2-3 Juni 2016 (dok. pri).
Sebuah ukiran kayu buatan orang Kamoro yang berfungsi sebagai tempat makanan (dok. pri).
Sebuah ukiran kayu buatan orang Kamoro yang berfungsi sebagai tempat makanan (dok. pri).
Kesadaran itu juga telah “menghidupkan” kembali beberapa perkakas tradisional Kamoro yang sudah lama ditinggalkan. Oktavianus mencontohkan ukiran kayu pada sebuah perkakas  menyerupai piring yang lebar. Sisi cekung para perkakas tersebut dahulu digunakan sebagai tempat makan, sementara sisi cembungnya digunakan sebagai pengganjal kepala saat tidur. Orang Kamoro kemudian meninggalkan perkakas itu setelah mengenal piring. Namun, kini pengukir Kamoro kembali membuatnya sebagai cenderamata.

Orang Kamoro banyak menggunakan kayu besi untuk membuat ukiran. Ketika mendapat inspirasi, seorang pengukir bisa menghabiskan waktunya dari pagi hingga sore. Menurut Oktavianus rata-rata pengukir Kamoro membutuhkan waktu 3-5 hari untuk menyelesaikan satu bentuk ukiran.

Ukiran Yamate menggambarkan seorang ibu yang menjelma menjadi ikan layar. Cerita ini diyakini secara turun temurun oleh Suku Kamoro (dok. pri).
Ukiran Yamate menggambarkan seorang ibu yang menjelma menjadi ikan layar. Cerita ini diyakini secara turun temurun oleh Suku Kamoro (dok. pri).
Yamate dengan ukiran yang menggambarkan kebiasaan berburu biawak dan pernikahan antar marga yang dianut orang Kamoro (dok. pri).
Yamate dengan ukiran yang menggambarkan kebiasaan berburu biawak dan pernikahan antar marga yang dianut orang Kamoro (dok. pri).
Kehidupan Suku Kamoro yang sangat dekat dengan alam dan menghormati leluhurnya  menjadi sumber inspirasi utama pengukir Kamoro. Bentuk binatang seperti ikan, biawak, burung, dan buaya juga banyak dijumpai dalam ukiran kayu buatan orang Kamoro. Oktavianus lalu menunjukkan sebuah ukiran Yamate berbentuk ikan layar dengan ukiran menyerupai manusia di dalamnya. Ukiran tersebut memuat cerita seorang ibu yang berubah menjadi ikan layar. Cerita tersebut diyakini secara turun temurun oleh orang Kamoro sehingga bagi mereka ikan layar sangat dilindungi dan tidak boleh diburu. “Jika orang Kamoro tidak sengaja menangkap ikan layar, pasti akan dilepaskannya lagi”, tuturnya.

Ukiran pada Yamate lainnya menggambarkan kebiasaan orang Kamoro berburu biawak. Pada Yamate itu juga diukir bentuk seekor ikan dan buaya yang sedang bersetubuh. Hal itu merupakan kiasan untuk menunjukkan aturan pernikahan antar marga yang dianut oleh orang Kamoro.

Oktavianus Etapuka berharap seni ukir kayu Kamoro bisa semakin berkembang dan lestari (dok. pri).
Oktavianus Etapuka berharap seni ukir kayu Kamoro bisa semakin berkembang dan lestari (dok. pri).
Dahulu pengukir kayu Kamoro hanya membuat ukiran dengan corak dan bentuk yang sesuai dengan marga keluarganya. Oktavianus  mencontohkan ia yang memiliki marga api seharusnya tidak membuat ukiran dengan corak marga ikan. Alasannya untuk menjaga kekhasan dan menghindari kerusakan karena setiap bentuk ukiran dianggap hanya bisa dibuat oleh marga yang bersangkutan.

Ukiran kayu khas Kamoro berbentuk Garuda Pancasila (dok. pri).
Ukiran kayu khas Kamoro berbentuk Garuda Pancasila (dok. pri).
Ukiran Oteka dan Yamate buatan orang Kamoro (dok. pri).
Ukiran Oteka dan Yamate buatan orang Kamoro (dok. pri).
Namun, batasan itu kini tidak ada lagi. Setiap orang Kamoro bisa mempelajari dan membuat semua ukiran kayu dari marga apapun. Teknik mengamplas yang dulu tidak digunakan, kini perlahan mulai diterapkan untuk meningkatkan mutu hasil ukiran dan nilai komersialnya. Bentuk ukiran yang lebih kontemporer juga dibuat oleh orang Kamoro. Ukiran berbentuk  burung Garuda Pancasila menjadi salah satu contohnya. 

Menurut Oktavianus seni ukir kayu Kamoro telah beradaptasi dengan zaman dan tidak lagi kaku. Bahkan, ia sedang mencoba memadukan sentuhan corak budaya daerah lain dengan ukiran kayu Kamoro. “Saya mengamati bentuk ukiran Bali untuk menambah referensi”, katanya.

Meskipun demikian, unsur budaya lokal tetap menjadi elemen utama dalam seni ukir Kamoro. Orang-orang Kamoro tetap mempertahankan ciri utama ukiran mereka. Salah satunya ukiran Kamoro tidak pernah menggambarkan bentuk tubuh secara telanjang. Dalam seni ukir Kamoro organ vital selalu ditutup atau disamarkan dalam bentuk lain. Menurut Oktavianus itu yang membedakan ukiran Kamoro dengan ukiran Papua lainnya.

Oktavianus Etapuka menunjukkan sebuah perisai kayu yang diukir dengan corak khas Kamoro (dok. pri).
Oktavianus Etapuka menunjukkan sebuah perisai kayu yang diukir dengan corak khas Kamoro (dok. pri).
Kini sudah 15 tahun Oktavianus Etapuka menjadi pengukir kayu Kamoro. Ia juga sering diminta untuk mengajar di beberapa tempat, berbagi ilmu seputar seni dan budaya yang dikuasainya selama ini. Ia yang dulu sempat khawatir mahakarya ini akan punah karena anak-anak muda suku Kamoro enggan menekuninya, sekarang mulai merasa lega. Ia berharap seni ukir kayu khas Kamoro akan lestari seiring bertambahnya orang bersedia yang merawatnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun