Setelah lulus kuliah, Dita giat mempersiapkan rencananya melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi untuk mendalami ilmu forensik. Ia lalu mengikuti seleksi beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP), Kementerian Keuangan Republik Indonesia. Berbagai tahapan ditempuh hingga akhirnya ia dinyatakan sebagai penerima program tersebut. Kini Dita sedang berburu perguruan tinggi yang memiliki program studi master ilmu forensik dengan kurikulum yang baik. Beberapa universitas di luar negeri menjadi incarannya.
Selain mengejar mimpi menjadi ahli forensik, keputusannya melanjutkan studi tak lepas dari harapannya untuk bisa berperan memajukan pendidikan di Indonesia suatu saat nanti. Pengalamannya tinggal dan bersekolah di beberapa daerah membantunya melihat permasalahan pendidikan di negeri ini. Ia menuturkan bahwa yang didapatkan anak sekolah di luar Jawa seringkali tidak setara dengan yang didapatkan teman-temannya di Jawa. Padahal akses yang merata sangat diperlukan untuk memperbaiki kualitas pendidikan. Bagi Dita Indonesia perlu segera mewujudkan pendidikan yang layak secara merata di seluruh negeri.
Ia lalu menambahkan bahwa pendidikan Indonesia menghadapi tantangan yang besar seiring melesatnya kemajuan teknologi. Generasi muda harus cerdas dan bijak dalam memanfaatkan teknologi agar lebih banyak manfaat yang didapatkan. “Sudah nggak zaman mahasiswa demo nggak jelas. Memanfaatkan teknologi dengan menulis dan menyebarkan hal-hal baik jauh lebih berguna”, katanya.
Berbagi Melalui “Pelangi Berbagi”
Meski bercita-cita menjadi ahli forensik, bukan berarti sejak kuliah Dita mengurung diri dalam kegiatan akademik dan penelitian. Kegiatannya banyak, termasuk aktif di organisasi kemahasiswaan dan menjadi relawan Earth Hour Indonesia sejak tahun 2011 hingga kini.
Anak pertama dari dua bersaudara ini juga terlibat dalam kegiatan sosial untuk membantu sesama. Pada 2012 bersama 6 orang temannya Dita mendirikan Pelangi Berbagi. Ia bercerita bahwa ide komunitas ini bermula dari syukuran ulang tahun salah satu temannya. “Awalnya ada teman yang ulang tahun, tapi bingung mau ngadain acara. Akhirnya kami membagikan nasi bungkus di perempatan (MM) UGM”, ujarnya.
Rupanya, kegiatan tersebut menarik simpati dan menginspirasi teman-temannya yang lain untuk ikut membantu. Untuk menampung niat baik teman-temannya, ia memutuskan membentuk Pelangi Berbagi. Nama “Pelangi” dipilih karena awalnya komunitas ini dijalankan oleh tujuh orang, seperti jumlah warna pelangi. Pelangi Berbagi terbuka bagi siapapun yang ingin membantu sebagai relawan. Para relawan tersebut dibebaskan untuk mengikuti beberapa kegiatan amal atau hanya sekali membantu. “Kami tak mengikat relawan. Tapi banyak yang setelah ikut sekali lalu ingin membantu lagi”, kata Dita.
Untuk menjalankan kegiatannya komunitas ini menggalang dana melalui usaha mandiri seperti menjual merchandise. Mereka juga mendapatkan bantuan dari para donatur. Sebagai pertanggungjawaban, mereka selalu memberikan laporan kegiatan dan penyaluran dana kepada donatur. Menurut Dita itu yang membuat komunitas Pelangi Berbagi berbeda.
Selain atas inisiatif sendiri, Pelangi Berbagi juga menerima saran dari orang-orang sekitar tentang ide kegiatan dan tempat yang bisa dikunjungi. Bermula dari hanya membagikan nasi di persimpangan jalan, komunitas ini kemudian mengadakan kegiatan amal di beberapa tempat, seperti panti jompo dan yayasan kanker. Mereka juga pernah mengadakan pasar murah barang kebutuhan pokok yang ditujukan untuk masyarakat kurang mampu.