[caption caption="Poster peluncuran Go-Jek di Yogyakarta pada 16 November 2015 (dok. twitter Go-Jek)."][/caption]“Mas, saya dari Go-Jek. Mas nggak usah tunggu di jalan ya, biar saya yang masuk. Di jalan banyak tukang ojek”. Begitulah kurang lebih pesan yang disampaikan driver Go-Jek melalui telepon setelah saya melakukan order pada Rabu, 23 Desember 2015. Hari itu untuk pertama kalinya saya menggunakan layanan Go-Jek yang belum lama beroperasi di Yogyakarta, tepatnya mulai 16 November 2015.
Sekitar 5 menit kemudian sang bapak driver Go-Jek tiba. Tak terlalu lama menunggu karena ternyata ia biasa beroperasi di sekitar kampus UGM. Untuk alasan tertentu namanya saya rahasiakan.
Dalam perjalanan saya membuka percakapan. Terus terang ada yang mengganjal di pikiran tentang pesan sang bapak sebelumnya. Sambil mengemudi agak pelan, sang bapak pun memberi jawaban. “Di sekitar situ kan banyak tukang ojek. Saya nggak enak, mas”, ujarnya yang kemudian diikuti sejumlah cerita pengalamannya menjadi driver Go-Jek. Salah satu yang agak mengejutkan adalah penuturannya tentang percikan masalah yang mulai terjadi antara driver Go-Jek seperti dirinya dengan beberapa tukang ojek pangkalan.
Sebulan lebih beroperasi, belum pernah terdengar berita mengenai konflik antara Go-Jek dan “Opang” di Yogyakarta seperti yang terjadi di Jadetabek. Akan tetapi, cerita sang bapak mengungkap hal yang berbeda.
“Di (RSUP) Sardjito nggak berani. Saya pernah dihadang waktu mau ambil penumpang”, ujarnya. Menurutnya kejadian kurang mengenakkan juga dialami oleh driver Go-Jek lainnya. Seorang rekannya hampir dilempar batu saat berniat menjemput penumpang di kawasan Sardjito.
Sejak kejadian kurang mengenakkan tersebut, ia selalu berpikir ulang jika hendak menerima order dari calon penumpang di sekitar RSUP Sardjito. “Saya sih orang tua, mas. Pilih yang aman saja”, katanya.
Untuk mengantisipasi kejadian yang tidak diinginkan, ia mempunyai cara menjemput calon penumpang di tempat-tempat yang masih banyak terdapat tukang ojek pangkalan. Biasanya ia menyarankan sang penumpang untuk tidak menunggu di dekat pangkalan ojek. Ia mencontohkan jika menjemput penumpang di klaster Sains-Farmako UGM (Biologi, MIPA, Farmasi, Kedokteran) yang berdekatan dengan RSUP Sardjito, ia memilih untuk masuk langsung ke dalam kampus.
Meskipun demikian, menurutnya tidak banyak ojek pangkalan yang terganggu dengan kehadiran Go-Jek di Yogyakarta. Ia pun mencoba memahami kekesalan sejumlah tukang ojek jika potensi penumpang di daerahnya tiba-tiba “diambil”. Sebagai mantan tukang ojek pangkalan ia tahu rasanya lama menunggu penumpang.
Selain dihalang-halangi tukang ojek pangkalan, ia juga memiliki pengalaman tak terlupakan lainnya. Suatu hari ia mendapatkan order Go-Food pada jam 11 malam. Menu yang dipesan adalah ayam geprek. Saat tiba di tempat makan tujuan rupanya menu tersebut sudah habis. Ia pun beralih ke warung lainnya di sekitar kampus UNY. Akan tetapi, tempat itupun ternyata sudah tutup. Lama mencari, ia memutuskan untuk menghubungi sang pemesan. “Akhirnya saya telepon dan diganti nasi padang 24 jam di dekat UGM itu”, ujarnya
Bapak itu adalah satu dari sejumlah driver Go-Jek yang sebelumnya berprofesi sebagai tukang ojek pangkalan. Ketika ada penawaran dari Go-Jek, ia dan empat rekannya di satu pangkalan memutuskan bergabung dengan korps ojek on-line tersebut. Menurutnya sistem Go-Jek membuatnya lebih nyaman karena fleksibel. Ketika ditanya penghasilannya setelah menjadi driver Go-Jek, ia hanya menjawab diplomatis. “Rata-rata per hari sekarang lebih baik”, katanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H