Mohon tunggu...
Hendra Wardhana
Hendra Wardhana Mohon Tunggu... Administrasi - soulmateKAHITNA

Anggrek Indonesia & KAHITNA | Kompasiana Award 2014 Kategori Berita | www.hendrawardhana.com | wardhana.hendra@yahoo.com | @_hendrawardhana

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

"100% Yogyakarta" dan Suara Lantang Warga Yogya di Jerman Fest 2015

2 November 2015   07:09 Diperbarui: 2 November 2015   09:38 636
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Tukang parkir berusia lanjut dalam "100% Yogyakarta" yang dipentaskan pada 31 Oktober & 1 November 2015 di Taman Budaya Yogyakarta. Pementasan ini bagian dari Jerman Fest 2015. "][/caption]

Pertunjukan istimewa bertajuk “100% Yogyakarta” digelar di Taman Budaya Yogyakarta pada 31 Oktober dan 1 November 2015. Pertunjukkan ini merupakan bagian dari Jerman Fest 2015, sebuah festival bersama Jerman-Indonesia yang diprakarsai oleh Kementerian Luar Negeri Jerman dan didukung oleh Goethe Istitut.

100% Yogyakarta adalah pementasan seni teater yang diadaptasi dari konsep unik Rimini Protokoll Berlin, sebuah kelompok teater besar di Jerman. Konsep ini telah sukses dipanggungkan di Berlin, Wina, Zurich, London, Tokyo, dan Melbourne. Kali ini di Indonesia konsep tersebut dikembangkan secara inovatif oleh Teater Garasi.

Yogyakarta dipilih karena merupakan miniatur Indonesia. Nilai-nilai demokrasi dan toleransi di Yogyakarta, serta keterikatan masyarakat dengan daerahnya dianggap mampu mengangkat suara-suara yang penting.

Yang menarik, kolaborasi Rimini Protokoll dan Teater Garasi ini tidak menampilkan aktor teater professional. Sebanyak 100 orang warga biasa yang merupakan penduduk Yogyakarta dipilih sebagai partisipan aktor untuk mengisi panggung.

[caption caption="100 warga biasa yang mewakili demografi dan entitas Yogyakarta menjadi aktor utama dalam "100% Yogyakarta"."]

[/caption]

Pemilihan 100 orang tersebut dilakukan dengan cara yang unik melalui audisi dan wawancara oleh aktor-aktor teater profesional. Persiapan yang dilakukan selama 5 bulan dimulai memilih 1 orang partisipan pertama. Peserta itu lalu diminta merekomendasikan orang yang ia kenal untuk menjadi partisipan selanjutnya. Partisipan yang terpilih kemudian juga diminta untuk merekomendasikan orang-orang selanjutnya.

Penentuan 100 orang terpilih dilakukan berdasarkan 5 kriteria statistik utama yang mewakili demografi Yogyakarta yaitu umur, agama, jenis kelamin, komposisi keluarga dan lokasi tempat tinggal. Selain itu ada 8 kriteria tambahan yaitu etnis, perbedaan budaya dan bahasa, tingkat pendidikan, pekerjaan, pendapatan dan kemampuan yang beragam.

Hasilnya didapatkan 100 partisipan aktor yang mewakili populasi demografi dan entitas Yogyakarta. Mereka terdiri dari balita, anak-anak hingga orang tua berusia 90 tahun. Laki-laki, perempuan hingga transgender. Latar belakang mereka mulai dari penjual angkringan, petani, tukang parkir, tukang gali kubur, mahasiswa, wartawan, pemilik hotel, hingga dosen. Warga pendatang dari Sumatera hingga Papua, juga dari Eropa dan Amerika. Ada juga mantan pejuang dan penderita HIV AIDS.

[caption caption="Seorang ODHA memperkenalkan diri dan anaknya sebagai bagian dari 100% Yogyakarta."]

[/caption]

[caption caption="Syafira Diva Ayunissa, pelajar kelas 4 SD yang hobi menari dan memiliki boneka kesayangan bernama Pinky."]

[/caption]

100% Yogyakarta sangat unik karena tidak sekadar merefleksikan cara pikir, tingkah laku dan keseharian warga Yogyakarta. Namun, juga mengangkat pandangan dan jawaban mereka terhadap masalah yang berkembang di Yogyakarta dalam berbagai perspektif. Apa yang mereka pentaskan sesuai dengan angka-angka statistik tentang Yogyakarta.

100% Yogyakarta memanggungkan realitas Yogyakarta dengan sangat apik. Setiap orang memerankan diri dan kehidupannya sendiri di atas panggung. Di awal pembukaan 100 orang aktor muncul satu demi satu mendeskripsikan keseharian mereka. Dengan gaya stand up, secara mereka bertutur secara natural. Mereka antara lain seorang dosen yang bangga sebagai penggemar Liverpool meski untuk itu ia harus rela dibully mahasiswanya setiap Senin. Kemudian seorang gadis kecil yang hobi menari dan punya boneka kesayangan pemberian nenek. Ada juga petani yang sudah puluhan tahun menanam tembakau namun ia tak pernah merokok. Tak ketinggalan seorang mahasiswi pariwisata yang dengan percaya diri mengaku tak pandai bahasa Inggris.

[caption caption="Mereka adalah sebagian dari wajah dan realitas Yogyakarta saat ini."]

[/caption]

Pengakuan beberapa aktor juga disambut tepuk tangan. Keberanian mereka mengungkap jati diri mendapat apresiasi. Seperti pengakuan seorang pria anggota ormas Islam radikal namun ia bangga berbangsa Indonesia. Kemudian seorang ibu pengidap HIV AIDS yang tak minder dan membawa anaknya ke atas panggung. Ada juga seorang transgender yang meninggalkan tempat asalnya dan merasa diterima di Yogyakarta. Lalu seorang anak laki-laki yang mantap bercita-cita menjadi Presiden RI.

[caption caption="100 orang sedang menggambarkan rutinitas harian warga dalam hiruk pikuknya Yogyakarta saat ini."]

[/caption]

[caption caption="100 orang sedang "menikmati" Yogyakarta."]

[/caption]

Setelah mendeskripsikan diri, 100 aktor selanjutnya memainkan teatrikal tentang kehidupan Yogyakarta setiap jamnya dalam sehari. Diiringi latar suara seperti adzan dan keramaian lalu lintas, mereka menggambarkan aktivitas sekolah, beribadah, bekerja, jalan-jalan, makan, tidur dan dugem.

Panggung yang minimalis dan hanya berlatar sebuah lingkaran cahaya yang merefleksikan adegan dan realita Yogyakarta, membuat penyampaian pesan 100 orang tersebut sangat mengena. Sejumlah lontaran kritik yang terduga membuat tepuk tangan pecah seketika. Apalagi saat mereka tanpa canggung mengkritisi daerahnya sendiri dan menganggap pemerintahan kota Yogyakarta yang harus segera diganti karena penuh korupsi. Seorang wartawan juga mengaku pernah didatangi walikota dan stafnya karena berita dan kritik yang dibuatnya dianggap menyudutkan.

[caption caption="Siapa yang pernah mengkonsumsi narkoba?."]

[/caption]

[caption caption=""Open Mic" tentang masalah Yogyakarta dalam stastik."]

[/caption]

Mereka juga menjawab pertanyaan-pertanyaan menggelitik seputar kehidupan dan masalah sosial. “Apakah kamu penah menyuap polisi saat kena tilang?”. “Siapa yang menganggap seks bebas adalah hal wajar?”. “Siapa yang pernah mencoba narkoba?”. Hasilnya banyak di antara mereka yang menyuap polisi, beberapa menganggap seks bebas wajar dan tak sedikit yang pernah mencoba narkoba.

100 orang tersebut juga menanggapi pertanyaan-pertanyaan seputar politik dan kemasyarakatan seperti perlakuan terhadap pendatang dari Indonesia timur di Yogyakarta, pemilihan gubernur langsung, dana keistimewaan hingga kebutuhan ruang publik.

[caption caption=""Kami mendukung hukuman mati"."]

[/caption]

[caption caption="Masalah apa yang mendesak untuk ditangani oleh pemerintah Indonesia saat ini?."]

[/caption]

[caption caption=""Yang pernah menyuap polisi silakan angkat tangan!""]

[/caption]

Selanjutnya mereka bersuara tentang permasalahan bangsa. Ketika seorang nenek bercerita tentang masa lalunya yang pernah ditangkap dan dituduh terlibat G30S PKI, lalu dipenjara tanpa diadili, 99 orang lainnya menyampaikan persetujuan dan ketidaksetujuannya tentang permohonan maaf pemerintah. Mereka juga menanggapi rencana penerapan syariat Islam, hukuman mati dan kondisi ekonomi saat ini.

Semua pendapat, jawaban dan suara disampaikan secara teatrikal melalui gerakan berpindah-pindah ke sisi “saya” dan “bukan saya”. Untuk menjawab mereka juga mengangkat kertas berwarna yang setiap warnanya mewakili jawaban tertentu. Meski dilakukan dengan cara sederhana dan minim kata, namun kejujuran yang disampaikan sangat mengena.

Tak hanya mengangkat masalah sensitif dan menjawab pertanyaan serius, 100 orang tersebut juga memainkan teatrikal untuk fakta-fakta ringan seperti anak kecil yang sudah mengenal pacaran, abg yang sedang mencari pasangan hingga orang tua yang suka dangdut. Dengan gimmick yang lucu, aksi mereka di atas panggung tak hanya mampu mengundang tawa dan tepuk tangan, tapi juga menyadarkan penonton tentang kenyataan hidup di Yogyakarta.

[caption caption="Nenek Sarjiyah yang pernah ditahan tanpa diadili atas tuduhan G30S PKI."]

[/caption]

[caption caption=""Yogyakarta lebih butuh taman dan transportasi publik dibanding hotel!""]

[/caption]

Pertunjukkan selama 2 jam akhirnya ditutup dengan hentakan syair “Jogja Ora Didol”. Seketika itu para penonton pun berdiri memberi tepuk tangan dan penghormatan kepada 100 orang yang telah berhasil mewakili suara dan kegelisahan warga Yogyakarta.

Bahkan, malam itu 100% Yogyakarta sesungguhnya tak hanya memanggungkan realitas kehidupan Yogyakarta saat ini. Akan tetapi, juga menjadi cermin untuk mempertanyakan kembali realitas Yogyakarta dan Indonesia yang sesungguhnya.

*semua foto adalah dokumentasi pribadi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun