100% Yogyakarta sangat unik karena tidak sekadar merefleksikan cara pikir, tingkah laku dan keseharian warga Yogyakarta. Namun, juga mengangkat pandangan dan jawaban mereka terhadap masalah yang berkembang di Yogyakarta dalam berbagai perspektif. Apa yang mereka pentaskan sesuai dengan angka-angka statistik tentang Yogyakarta.
100% Yogyakarta memanggungkan realitas Yogyakarta dengan sangat apik. Setiap orang memerankan diri dan kehidupannya sendiri di atas panggung. Di awal pembukaan 100 orang aktor muncul satu demi satu mendeskripsikan keseharian mereka. Dengan gaya stand up, secara mereka bertutur secara natural. Mereka antara lain seorang dosen yang bangga sebagai penggemar Liverpool meski untuk itu ia harus rela dibully mahasiswanya setiap Senin. Kemudian seorang gadis kecil yang hobi menari dan punya boneka kesayangan pemberian nenek. Ada juga petani yang sudah puluhan tahun menanam tembakau namun ia tak pernah merokok. Tak ketinggalan seorang mahasiswi pariwisata yang dengan percaya diri mengaku tak pandai bahasa Inggris.
[caption caption="Mereka adalah sebagian dari wajah dan realitas Yogyakarta saat ini."]
Pengakuan beberapa aktor juga disambut tepuk tangan. Keberanian mereka mengungkap jati diri mendapat apresiasi. Seperti pengakuan seorang pria anggota ormas Islam radikal namun ia bangga berbangsa Indonesia. Kemudian seorang ibu pengidap HIV AIDS yang tak minder dan membawa anaknya ke atas panggung. Ada juga seorang transgender yang meninggalkan tempat asalnya dan merasa diterima di Yogyakarta. Lalu seorang anak laki-laki yang mantap bercita-cita menjadi Presiden RI.
[caption caption="100 orang sedang menggambarkan rutinitas harian warga dalam hiruk pikuknya Yogyakarta saat ini."]
[caption caption="100 orang sedang "menikmati" Yogyakarta."]
Setelah mendeskripsikan diri, 100 aktor selanjutnya memainkan teatrikal tentang kehidupan Yogyakarta setiap jamnya dalam sehari. Diiringi latar suara seperti adzan dan keramaian lalu lintas, mereka menggambarkan aktivitas sekolah, beribadah, bekerja, jalan-jalan, makan, tidur dan dugem.
Panggung yang minimalis dan hanya berlatar sebuah lingkaran cahaya yang merefleksikan adegan dan realita Yogyakarta, membuat penyampaian pesan 100 orang tersebut sangat mengena. Sejumlah lontaran kritik yang terduga membuat tepuk tangan pecah seketika. Apalagi saat mereka tanpa canggung mengkritisi daerahnya sendiri dan menganggap pemerintahan kota Yogyakarta yang harus segera diganti karena penuh korupsi. Seorang wartawan juga mengaku pernah didatangi walikota dan stafnya karena berita dan kritik yang dibuatnya dianggap menyudutkan.
[caption caption="Siapa yang pernah mengkonsumsi narkoba?."]
[caption caption=""Open Mic" tentang masalah Yogyakarta dalam stastik."]
Mereka juga menjawab pertanyaan-pertanyaan menggelitik seputar kehidupan dan masalah sosial. “Apakah kamu penah menyuap polisi saat kena tilang?”. “Siapa yang menganggap seks bebas adalah hal wajar?”. “Siapa yang pernah mencoba narkoba?”. Hasilnya banyak di antara mereka yang menyuap polisi, beberapa menganggap seks bebas wajar dan tak sedikit yang pernah mencoba narkoba.