Penurunan kualitas Malioboro sebagai ruang publik juga disebabkan minimnya fasilitas pendukung seperti tempat duduk, toilet dan tempat sampah. Beberapa tempat duduk yang disediakan untuk warga dan pengunjung bersantai atau beristirahat seringkali menjadi tempat berjualan pedagang. Selain itu, banyak kursi ditempatkan di lokasi yang panas. Hal ini mendorong pengunjung bertindak sesukanya untuk mendapatkan kenyamanan sendiri di Malioboro.
Terbatasnya ruang publik semakin terasa karena tempat-tempat di sekitar Malioboro susah diakses. Misalnya, monumen Serangan Umum 1 Maret lebih sering ditutup. Padahal, tempat ini menyediakan alternatif ruang dan taman yang dapat dimanfaatkan.
Gagasan revitalisasi untuk mengembalikan kenyamanan Malioboro sebagai ruang publik sudah lama dicanangkan. Namun, beberapa pembenahan yang telah dilakukan justru mengalami disfungsi dan menimbulkan masalah baru. Pemasangan beton dan tiang besi di trotoar yang semula bertujuan menghalau pengguna sepeda motor justru menghalangi kaum difabel. Block pemandu jalan menjadi kurang dirasakan manfaatnya oleh kaum difabel. Penindakan terhadap PKL liar Malioboro juga tidak tegas dilakukan. Akibatnya, ruang publik di Malioboro semakin berkurang.
[caption caption="Pemasangan tiang besi yang disfungsi telah mengurangi aksesibilitas ruang publik bagi kaum difabel."]
Malioboro adalah gambaran dari ruang publik yang terdesak oleh kepentingan ekonomi dan pembangunan yang kurang berkelanjutan. Inilah yang menjadi tantangan. Pembangunan ruang parkir baru dan penataan kawasan Nol kilometer yang sedang berlangsung diharapkan menjadi awal mengembalikan ruang publik Malioboro.
Dalam konteks Yogyakarta, komitmen pemerintah daerah dalam menyediakan ruang pantas dipertanyakan karena mengalami disorientasi. Selain Malioboro, kawasan Stadion Kridosono yang pernah direncanakan sebagai ruang publik justru diisi oleh deretan café dan resto.
[caption caption="Anak-anak memanfaatkan ruang car free day di Jalan Jendral Sudirman Kota Yogyakarta untuk melukis."]
Penyelenggaraan car free day (CFD) Kota Yogyakarta juga memiliki tantangan. Saat ini Kota Yogyakarta memiliki tiga CFD yaitu di Jalan Jenderal Sudirman, Jalan Mangkubumi, dan sebagian Jalan Malioboro. Sepintas hal itu menjadi solusi bagi kelangkaan ruang publik. Setiap digelar masyarakat ramai berdatangan ke CFD. Para keluarga membawa anak-anak mereka menikmati berbagai acara sambil berolahraga. Anak-anak sekolah bersemangat unjuk bakat seperti melukis, menari dan bermain teater. Antusiasme itu menandakan bahwa selama ini warga sangat merindukan ruang publik.
Sayangnya, CFD Kota Yogyakarta belum konsisten diselenggarakan. Kegiatan akhir pekan ini juga sering didominasi acara-acara sponsor sehingga terkesan digelar hanya untuk memfasilitasi kepentingan bisnis tertentu. Car free day bukan solusi penyediaan ruang publik di kota Yogyakarta karena setelah kegiatan selesai, maka hilanglah “ruang publik” itu.
[caption caption="Bersepeda santai bersama anak menjadi salah satu kerinduan masyarakat tentang ruang publik di Yogyakarta."]
Bagi Kota Yogyakarta ruang publik adalah habitat warga. Budaya berinteraksi “wong Jogja” yang spontan dan tanpa sekat, serta nilai-nilai keterbukaan di antara mereka, hidup di ruang publik. Sebagai kota budaya dan pendidikan, ruang publik juga diperlukan sebagai ruang kritis dan ruang apresiasi. Bagi kehidupan kota yang dinamis, ruang publik mutlak diperlukan untuk meningkatkan kualitas hidup bersama.